Wednesday, December 19, 2007

RUMI

Sudah berkali-kali bunga tidur itu bermekaran, membentuk taman malam penuh duri yang menusukkan teror pada jiwanya. Sebagai perempuan yang perasa Rumi menjadi selalu khawatir dengan segala hal. Jiwanya menjadi ciut dan senantiasa diselimuti rasa takut. Tak ayal lagi, wajahnya yang hitam manis menjadi pucat pasi. Bercampuran warna rasa terlukis di wajahnya, resah, lelah, takut, dan bimbang.
Dalam satu mimpinya Rumi membunuh Sulaiman, suaminya. Kala itu Rumi membantai Sulaiman saat mencoba merayunya di tempat tidur. Dalam mimpinya yang lain Rumi mendorong suaminya yang nelayan itu dari atas perahu ke tengah badai laut utara. Dalam setiap mimpinya Rumi mendengar suara yang membisikinya untuk melakukan perlawanan, kekerasan yang berujung pembunuhan itu. Parahnya, si pembisik mimpi itu datang pula pada mimpinya yang lain. Kali ini yang menjadi sasaran adalah bayi kecilnya, Putra. Namun, untuk mimpinya yang terakhir ini Rumi tak sangguip menggambarkannya. Singkatnya, Rumi membunuh Putra dengan cara di luar batas kemanusiaan. Mimpi itu seolah nyata, dan Rumi selalu menolaknya. Namun semua itu terus terjadi dalam mimpi. Dalam mimpi.
Memang hanya mimpi. Akan tetapi mimpi yang terus menghujam ke hampir setiap tidurnya sangat menggoncangkan jiwa Rumi. Ia merasa tak enak makan, tak enak tidur. Bahkan tak enak berjumpa dengan orang-orang. Mulailah perasaan-perasaan itu membuat Rumi menjadi sensitif, rapuh, hingga akhirnya mengalienasi diri dari lingkungan. Namun pada sisi lain ia tak bisa ditolak. Segala keinginannya harus segera diikuti. Sulaiman yang paling mengerti selalu mengikuti permintaan Rumi walaupun hatinya kadang bergumam.
Hari ini Rabu, awal musim hujan bulan September. Sejak subuh mula Rumi terus merajuk pada suaminya. Ia minta diantar ke tengah laut berdua, melihat matahari tenggelam dari tengah laut. Sebuah permintaan aneh dan merepotkan. Siapa pula yang menunggu Putra bila anak itu ditinggalkan di rumah.
“Mas, sudah siang nih, sana geh siapkan perahu, minjem sama Mas Topik!” Rumi kembali mendesak.
“Iya, iya, tenang saja. Perahu mas topik itu banyak. Yang biasa dipake Anis bisa kita pakai hari ini. Aku Wis ngomong karo Anis, dia dan grupnya nda melaut malam ini.”
“Yo wis, aku masak nasi dulu, masak sayur, netekin Si Putra, nanti abis ashar, abis si Putra dikelonin, kita cepet-cepet pergi ya, Mas.”
“Iya, iya,” jawab Sulaiman jengkel, “ya... beginilah punya bini lagi Suetress.”
Ashar pun tibasetelah siap dan bersiap diri, Rumi merapikan rumah, menutup jendela, memeriksa dapur: kompor sudah dimatikan. Terakhir ia meyakinkan Si Putra sudah tidur. Ia juga sudah sejak tadi berpesan pada Umi, tetangganya agar menengoki Si Putra bila ia dan suaminya sedang ke laut. Sementara Sulaiman memeriksa onkelnya yang sudah tua.
“Ayo, Mas!” Rumi duduk menyamping di bagasi onkel.
“Si Putra wiss turu?”
“Wiss, ayo jalan!”dalam perjalanan di atas onkel Rumi memeluk pinggang Sulaiman erat-erat. Kepalanya bersandar pada punggung suaminya yang berkeringat. Tubuh mereka lekat seolah tak ingin terpisah satu sama lain. Sementara dalam kayuhan yang lelah Sulaiman merasakan sesuatu menusuk-nusuk hatinya. Sedih, takut sesuatu akan hilang, terenggut darinya.

Di tengah laut.
Angin menderu. Ombak mendayu. Sulaiman mematikan motor perahu. Matahari sebesar meja makan memerah di tepi fatamorgana laut. Warnanya merah merayu. Rumi berdiri merenung di tepi belakang perahu. Ia menarik nafas panjang. Ada sesuatu yang ia lepas ke udara bersama hembusan nafasnya.
“Mas, bila aku tak pulang hari ini, jaga anak kita baik-baik.”
Rumi mulai terbata-bata sambil meneteskan air mata.
“Apa maksudmu? Memangnya kamu mau ke mana?” Sulaiman keheranan.
“Pulang, Mas.”
“Pulang ke mana? Hmm kita sama-sama pulang ke rumah, sama-sama menjaga dan membesarkan Putra, menyekolahkannya hingga kelak ia jadi orang besar.”
“Tapi aku takut, Mas.”
“Takut apa?”
“Aku takut, Mas.”
“Kenapa?”
Rumi tak menjawab. Ia menyusupkan wajahnya pada dada Sulaiman yang bidang, memeluknya erat-erat.
Gelap mulai datang. Angin makin kencang, ombak berkejaran menuju tepi pantai, berdebur sebelum pecah di sela-sela batu karang. Kapal motor itu mneraung menuju bibir pantai. Rumi masih di tempatnya, di belakang kapal. Sementara Sulaiman sibuk dengan kemudi. Tanpa alat navigasi ia tahu jalan pulang, namun ombak semakin besar, dan lagi banyak karang yang merintang yang dapat membuat kapalnya karam setiap waktu.
Dalam riuh ombak, deru angin, dan raung kapal motor, perlahan Rumi mendekati bibir kapal. Dengan lirih ia celupkan kedua ujung kakinya ke air laut. Tubuhnya mengikuti. Rumi telah menyatukan dirinya dengan laut.
Sulaiman masih memegang kemudi. Sinar petromak mulai kelihatan, berderet seolah memagari desanya.

Tuesday, December 18, 2007

the power of loss

Pernahkah Anda sadar?
Saat kita kehilangan sesuatu yang sangat berarti,
Jiwa kita merayakannya.
Ada euforia dan gejolak jiwa yang mengobarkan
semangat kemenangan saat kita kalah.