Friday, November 30, 2007

daftar pustaka

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: PT Sinar Baru Algensindo
Bratawidjaja. 2002. Perkawianan Adat Sunda. Bandung: Pustaka Setia
Danandjaya, James. 2002. Folklor Indonesia ilmu gosip dongeng dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Garafiti
Danandjaya, James. “Pendekatan Folklor dalam Penelitian Bahan-bahan Tradisi Lisan” dalam Pudentia. Ed. 1998. Metodologi Kajian Sastra Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Danandjaya, James dalam Sutrisno, Sulastin. dkk. 1991. Bahasa, Sastra, Budaya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Departemen Agama RI. 2002. Al Quran dan Terjemahnya Al Aliyy. Bandung: Diponegoro
Durkheim, Emile. 2005. Sejarah Agama, The Elementary forms of the religious (terjemahan Muzir). Yogyakarta: IRCiSoD
Ekadjati, Edi Suhardi. 1982. Ceritera Dipati Ukur Karya Sastra Sejarah Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya
Eliade, Mircea. 2002. Sakral dan Profan. (terjemahan Nuwanto). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru
Endraswara, Suwardi. 2004. Dunia Hantu Orang Jawa: Alam Misteri, Magis, dan Fantasi Kejawen. Yogyakarta: Narasi
Faruk. 2005. Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Postmodernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Finnegan, Ruth. 1992. Oral Tradition and The Verbal Art. A Guide ro Research and Practices. London: Routledge.
Hardjasaputra, A. Sobana. 2004 Bupati di Priangan. Bandung: Pusat Studi Sunda
Isnendes, Retty. “Semiotika Siliwangi pada Masyarakat Sunda” dalam Bahasa dan Sastra, Oktober 2005
Jabrohim. 1996. Pasar dalam Perspektif Greimas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka
Koentjaraningrat. 2002. Pengantar Antropologi Pokok-Pokok Etnografi II. Jakarta: Rineka Cipta
Lembaga Sejarah dan Antropologi Departremen Pendidikan dan Kebudayaan. 1972. Tjerita Rakjat IV. Jakarta: Balai Pustaka
Lubis, Nina Herlina. Dkk. 2003. Sejarah Tatar Sunda Jilid I. Bandung: Satya Historika
Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yagyakarta: Gadjah Mada University Press
Ong, Walter J. 1982. Orality And Literacy The Technologizing of The Word. London: Mathuen
Ranggawaluya, H.S dan Darkat Darjusman. 1980. Wawacan Pangeran Dipati Ukur. Jakarta : Proyek Penerbitan Buku Bacaan Sastra Indonesia dan Daerah
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rusyana, Yus. 1981. Cerita Rakyat Nusantara Kumpulan Makalah tentang Cerita Rakyat. Bandung: Fakultas keguruan sastra dan seni IKIP Bandung
________ 1970. Bagbagan Puisi Mantra Sunda. Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan Folklor Sunda
________ dan Ami Raksanagara. 1978. Sastra Lisan Sunda: Cerita Karuhun, Kajajaden, dan Dedemit. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
________ dkk. 2000. Prosa Tradisional: Pengertian, Klasifikasi dan Teks. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
________. “Perlu dilakukan talaah perbandingan terhadap sastra nusantara” makalah disajikan dalam konferensi nasional I Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI), Jakarta, tanggal 2-4 Februari 1987
________. “Pare di dalam Sastra Sunda” Makalah Disampaikan dalam Seminar Sastra Nusantara mengenai Makanan Rakyat, di Denpasar, 22-24 Februari 1991
Sarup, Madan. 2003. Post Structuralism and Post Modernism. Yogyakarta: Jendela
Sumardjo, Jakob. 2004. Hermeuneutika Sunda: Simbol-Simbol Babad Pakuan Guru Gantangan. Bandung: Kelir
Sutarto. 1997. Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Sweeney, Amin. “Surat Naskah Angka Bersuara ke Arah Mencari Kelisanan” dalam Pudentia. Ed. 1998. Metodologi Kajian Sastra Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Tarno, dkk. 2000. Tuturan Ritual dalam Sastra Lisan Lio. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional
Teeuw, A. 1988. Sastra Dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya
Todorov, Tzvetan. 1985. Tata Sastra (diterjemahkan oleh Okke K.S Zaimar, dkk). Jakarta: Djambatan
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1993. Teori Kesusastraan (diterjemahkan oleh Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Winangun, Darpan A dkk. 2004. Ensiklopedi Alit Garut. Garut: Dinas Pendidikan Kabupaten Garut
Zaimar, Okke KS. “Wayang Wong Betawi” makalah untuk Seminar Asosiasi Tradisi Lisan, Jakarta, 14-16 Oktober 1999.
Zaimar, Okke KS. “Penelitian tentang Wayang Golek” makalah untuk Seminar Asosiasi Tradisi Lisan, Jakarta, 14-16 Oktober 1999.

bab 6

BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan
Menurut stukturnya CCB dapat dikelompokkan ke dalam legenda pembangun masyarakat dan budaya. C-1 sampai C-5 menceritakan asal mula penamaan suatu tempat, menjelaskan kondisi geografis suatu tempat, pemberian gelar, dan pada akhirnya menciptakan aturan-aturan adat yang harus diikuti oleh keturunan Eyang Batuwangi. Sementara itu, C-4 yang mengisahkan Eyang Batuwangi dikejar-kejar musuh dapat pula dikelompokkan sebagai legenda penyebar agama Islam.
Struktur CCB tidaklah rumit. Setiap cerita terbangun sederhana dan tidak terlalu panjang. Latar CCB seluruhnya terjadi pada masa Eyang Batuwangi masih hidup. Masa ini bila dibandingkan terhadap hubungannya dengan Dipati Ukur pada C-1, maka harusnya terjadi pada akhir kekuasaan Majapahit, dan mulai berkembangnya kesultanan Islam (Mataram) di pulau Jawa. Oleh karena itu wajar bila masyarakat menganggap Eyang Batuwangi sebagai salah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang sebanding dengan seorang wali. Di samping itu, Eyang Batuwangi adalah nenek moyang masyarakat Batuwangi yang telah banyak berjasa kepada masyarakat di masa lalu. Dalam analisis struktur telah terungkap bahwa Eyang Batuwangi lebih sering menjadi pengirim dan subjek daripada sebagai penerima.
Di sisi lain, bila dilihat dari lingkungan penceritaannya, CCB dapat pula dikelompokkan sebagai legenda perseorangan (personal legend) maupun legenda setempat (local legend). Dalam hal ini CCB selalu mengisahkan seorang tokoh utama, yaitu Eyang Batuwangi yang mempunyai pengaruh besar bagi masyarakat. Lingkungan penceritaan serta latar setiap cerita selalu tidak jauh dari lingkungan masyarakat Batuwangi, sehingga unsur-unsur lokal sangat kuat dalam setiap cerita.
Masyarakat Batuwangi memperlakukan CCB dengan cukup istimewa, meskipun tidak selamanya CCB dianggap sakral. Pada kenyataannya masyarakat tidak sembarangan menceritakan CCB kepada setiap orang. Selain itu, hanya orang yang sudah tua yang benar-benar menguasai cerita. Jadi, merekalah yang diangap berwenang untuk mewariskan cerita. Adapun CCB hanya diwariskan kepada keturunan baik anak-anak maupun orang yang telah dewasa, terutama laki-laki. Itupun tidak sebatas cerita, ada hal-hal lain yang juga diwariskan seperti larangan memakan kepala ayam, serta pengamalan asihan Batuwangi.
Begitulah CCB dapat terus bertahan di masyarakat. CCB diperlakukan istimewa oleh masyarakat, dan sebaliknya, CCB pun sedikit banyak mempengaruhi corak hidup, alam pikiran, serta aktivitas masyarakat pemiliknya. Dengan kata lain CCB mempunyai fungsi sosial yang cukup signifikan bagi masyarakatnya. Fungsi-fungsi tersebut di antaranya adalah membentuk identitas dan mendasari tatanan sosial masyarakat Batuwangi, membentuk pandangan dan kepribadian masyarakat Batuwangi, dan menyebarkan kaidah ritual yang kini masih berlaku di kalangan masyarakat Batuwangi.


6.2 Saran
Untuk kemajuan dunia sastra, terutama penelitian sastra lisan dan folklor, maka perlu diperhatikan hal-hal berikut.
a. Terus menerus melakukan penelitian sastra lisan dan folklor, khususnya folklor lokal yang relatif lebih mudah dikenali sehingga memudahkan penelitian.
b. Memanfaatkan hasil penelitian tentang Batuwangi ini untuk berbagai keperluan lainnya terutama penelitian. Selain itu, perlu pula melakukan penelitian tentang Batuwangi dari segi keilmuan yang lain.
c. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai cerita-cerita rakyat yang berlatar era peralihan Majapahit (Hindu-Budha) ke Mataram sampai munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa. Hal ini akan menjadi pekerjaan besar dengan asumsi bahwa cerita rakyat, terutama legenda seperti ini jumlahnya paling banyak dibandingkan dengan legenda-lehenda pada waktu lain.
d. Membuat karya transformasi dari cerita-cerita rakyat ke dalam sastra modern, film, kartun, dan sebagainya dengan penuh inovasi sehingga cerita rakyat tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga memiliki nilai jual.

bab 5

BAB V
KONTEKS PENCERITAAN DAN FUNGSI SOSIAL

5.1 Konteks Penceritaan
5.1.1 Lingkungan Penceritaan
5.1.1.1 Penutur Cerita
Tidak semua masyarakat Batuwangi bersedia untuk menuturkan cerita. Mereka yang usianya lebih muda pada suatu desa atau kampung akan menunjuk seseorang yang lebih tua di lingkungannya untuk diwawancarai. Orang yang sudah tua diyakini mengetahui CCB dengan baik. Selain mereka merupakan penduduk asli, mereka juga dianggap paling berwenang menuturkan cerita kepada orang lain. Semua cerita dikumpulkan melalui wawancara di tempat tinggal penutur sehingga hubungan cerita dengan lingkungannya dapat pula dirasakan. Penutur bertempat tinggal di kecamatan Banjarwangi dan kecamatan Singajaya Kabupaten Garut.
Tanpa rencana, semua penutur yang berhasil diwawancarai adalah laki-laki. Hal ini terjadi karena masyarakat yang menjadi subjek penelitian merupakan pewaris budaya patriarkal. Pada masyarakat Batuwangi, laki-laki dianggap mengetahui sejarah dan cerita-cerita tentang desanya sejak masa lampau.Umumnya penutur berusia antara 60 hingga 80 tahun. Bahkan seorang penutur telah berusia 104 tahun. Meskipun usia mereka terhitung sudah sangat tua, mereka masih dapat berkomunikasi dengan baik. Penutur pada usia seperti inilah yang diyakini masyarakat sebagai orang yang paling mengetahui keadaan desanya sejak masa lampau.
Penutur yang pernah mendapatkan pendidikan formal sebanyak 60 %. Sisanya, 40 % tidak pernah mendapatkan pendidikan formal di sekolah. Mereka yang mendapatkan pendidikan formal mengaku pernah bersekolah pada masa penjajahan Belanda. Hal ini dapat dibuktikan karena penutur tersebut dapat membaca tulisan latin. Sedangkan penutur yang tidak pernah bersekolah, mereka umumnya pernah belajar agama di pesantren atau pada guru mengaji. Buktinya, mereka dapat membaca Al-Quran dan tulisan Arab pegon.
Hampir semua penutur bekerja sebagai petani. Meskipun usia mereka telah lanjut, namun mereka masih sering melakukan pekerjaan sebagai petani. Tentu saja mereka melakukan pekerjaannya saat ini tidak lagi seperti masa mudanya. Selain petani, ada juga kuncen makam Batuwangi. Akan tetapi, pada kenyataannya kuncen pun melakukan pekerjaan sebagai petani.
Penutur mendapatkan cerita dari orang tua (ayah), kakek, paman, dan dari guru mengaji. Penutur mendapatkan cerita sejak masih kanak-kanak, namun ada juga yang mendapatkan cerita setelah ia dewasa. Memang, kebanyakan masyarakat Batuwangi tidak sembarangan menuturkan CCB. Cerita-cerita Batuawangi baru akan disampaikan kepada anak yang telah dianggap dewasa atau baligh. Jadi, bila dilihat dari penuturnya CCB memiliki nilai-nilai sakral bagi masyarakatnya. Selain itu, biasanya ada hubungan yang dekat antar penutur dengan pendengarnya, misalnya, kakek dengan cucunya, ayah dengan anaknya, atau guru mengaji dengan muridnya. Demikianlah CCB diturunkan dan disebarluaskan sehingga dikenal oleh masyarakatnya.

5.1.1.2 Kesempatan Bercerita
Masyarakat Batuwangi adalah masyarakat petani. Aktivitas sehari-hari mereka adalah bekerja dari pagi hingga siang hari di sawah atau di kebun. Sebagian waktu mereka digunakan untuk kegiatan keagamaan, membangun rumah, bergotong royong mengerjakan pembangunan kampungnya, dan kegiatan lainnya. Mereka, terutama yang tua-tua pada umumnya jarang bepergian ke luar desa, apalagi ke luar kota.
Mereka biasanya bercerita pada saat ada pertemuan, baik formal maupun tidak formal. Pada sela-sela acara musyawarah, pesta pernikahan, tahlilan, dan marhaba mereka biasanya terpancing untuk menuturkan cerita. Meskipun pertemuan tersebut bukan bertujuan untuk bercerita, tetapi bila mereka berkesempatan bercerita di tempat itu, maka mereka pun bertukar pengetahuan cerita. Pada pertemuan-pertemuan seperti ini, mereka yang terlibat biasanya orang yang sudah dewasa sampai orang lanjut usia. Selain itu, pertemuan-pertemuan tersebut bisanya dihadiri oleh sebagian besar laki-laki, dan jarang sekali wanita dan anak-anak. Adapun wanita dan anak-anak biasanya tidak ikut aktif bercerita, mereka biasanya menjadi pendengar saja. Oleh karena itu masyarakat Batuwangi menganggap laki-laki yang sudah tualah yang nyepeng sajarah (mengetahui sejarah atau cerita) di desanya.
Selain dalam sela-sela waktu pertemuan formal, penuturan cerita pun dapat terjadi dalam pertemuan yang santai seperti berjemur pada pagi hari, pada saat anak memijat orang tuanya menjelang tidur, saat keluarga berkumpul di dalam rumah, dan di dalam perjalanan atau sela-sela pekerjaan yang menjadi mata pencaharian mereka. Selain itu, penuturan CCB dapat terjadi pada saat ada orang yang bertanya mengenai cerita tersebut.
Contoh-contoh di atas merupakan kesempatan bercerita yang tidak menentu tempat dan waktunya. Penuturan cerita dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Ada pula kesempatan bercerita yang dibuat rutin dan pasti dilakukan, yaitu setiap tanggal 12 Rabbiul Awal di rumah kuncen. Pada saat itu, banyak orang yang berdatangan dari berbagai daerah untuk melakukan ziarah, serta mengikuti ritual penyiraman senjata Eyang Batuwangi. Mereka yang dating pada umumnya mengaku masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Eyang Batuwangi, baik itu keturunan langsung, maupun keturunan dari kerabat Eyang Batuwangi yang lain. Dalam rangkaian acara ini biasanya muncul kesempatan bercerita. Para pengunjung yang hadir di rumah kuncen sebelum atau sesudah berziarah biasanya membahas keberadaan Eyang Batuwangi serta cerita-cerita tentangnya.
Pada tanggal 14 Rabbiul awal atau 14 Maulud ini dilakukan acara Hajat Maulud, rangkaian acaranya dimulai pada malam hari dengan tawasul di makam, kemudian kembali ke rumah kuncen untuk mendengarkan pembacaan silsilah dalam naskah yang berjudul Punika Ikilah Sajarah Batara Terusbawa. Naskah ini selalu dibacakan oleh kuncen hanya pada waktu yang sudah menjadi pakem ini. Selain itu, isi naskah tidak seluruhnya dibacakan karena dianggap sakral, tidak semua orang boleh mengetahui isinya.

5.1.1.3 Tujuan Bercerita
Seperti telah dibahas sebelumnya, CCB berbentuk legenda, tepatnya legenda pembangun masyarakat dan budaya. Di dalamnya diceritakan tentang Eyang Batuwangi, asal usul suatu daerah, asal-usul suatu aturan, dan sebagainya. Oleh karena itu, tujuan penuturan CCB berhubungan erat dengan bentuk, isi, dan sifat-sifat yang dikandung di dalam masing-masing cerita.
Adapun tujuan penuturan CCB di antaranya.
a. Memberikan informasi kepada orang yang lebih muda bahwa Eyang Batuwangi adalah karuhun (nenek moyang) masyarakat Batuwangi. Sebagai nenek moyang mereka, Eyang Batuwangi telah berjasa di masa lalu.
b. Menjelaskan alasan mengenai pantangan memakan kepala ayam bagi keturunan Batuwangi. Hal ini dijelaskan melalui C-2.
c. Memberikan informasi tentang asal mula suatu daerah. Misal, tentang asal mula tanah gagayunan di Ciudian, dan asal mula nama kampung Garasay.
d. Menjelaskan bentuk unik suatu benda. Misal, bentuk unik Batu Munding dapat dijelaskan dengan C-1, demikian juga mengapa banyak batu yang bergelimpangan di dekat makam Batuwangi dan bentuk unik Pasir Murungkut dapat dijelaskan dengan C-3.
e. Agar masyarakat mengetahui hubungan kekerabatan, bahwa mereka semua adalah keturunan Batuwangi. Dengan demikian terjadi hubungan emosi yang dekat, meskipun mereka tinggal berjauhan.
f. Menjelaskan asal usul senjata milik Eyang Batuwangi yang disimpan oleh kuncen, serta memberikan alasan tentang ziarah ke makam Eyang Batuwangi.
g. Menjelaskan hubungan antara makam Eyang Batuwangi dengan makam keramat di sekitarnya, misal dengan makam Sembah Ibu Purbakawasa di Ciwindu, dengan makam Eyang Surapati di Cigintung, dengan makam Padabeunghar di Sareupeun Padabeunghar, dan sebagainya.

5.1.1.4 Hubungan Cerita dengan Lingkungannya.
Keberadaan masyarakat Batuwangi pada saat ini sulit ditentukan berdasarkan tempat tinggalnya. Mereka kebanyakan bertempat tinggal di desa-desa di kecamatan Singajaya, dan Banjar Wangi. Selain itu, mereka juga sudah merambah ke beberapa kecamatan di sekitarnya hingga Cikajang, Cihurip dan Peundeuy. Sementara itu ada pula yang merantau ke luar daerah seperti Bandung, Jakarta, bahkan luar Jawa. Mereka hidup berbaur dengan masyarakat lainnya, sehingga identitas kebatuwangiannya baru akan diketahui setelah kita mengenal mereka.
CCB berhubungan erat dengan lingkungan masyarakatnya serta lingkungan alamnya. Hubungan tersebut sebenarnya telah tergambar melalui latar CCB. Dalam hal ini CCB dapat pula dikelompokkan sebagai legenda setempat, atau local legends (Danandjaya dalam Sutrisno, 1991: 469). Sebagai legenda setempat, latar dalam CCB tidak jauh dari lingkungan sekitar masyarakat Batuwangi.
Dalam hubungan antara cerita dengan lingkungan alamnya, latar tempat CCB pada umumnya dapat dilacak keberadaannya hingga saat ini. Akan tetapi dinamika sosial penduduk mungkin dapat mengubah keberadaannya. Misal, dalam C-1 diceritakan bahwa pada saat itu Tanah Batuwangi merupakan wilayah kekuasaan Sukapura, Tasik Malaya, sedangkan sekarang tempat tersebut berada di wilayah Kabupaten Garut. Tempat-tempat lain yang disebutkan dalam CCB seperti Gunung Lumbung, Kampung Garasay, Ciwindu, sungai Ciudian, dan sebagainya memang ada hingga sekarang.
Demikian pula benda-benda yang memiliki keunikan yang dapat dijelaskan dengan CCB, kini benda-benda tersebut masih ada di tempatnya. Dalam C-1 diceritakan adanya kerbau yang setelah dilemparkan oleh Batuwangi berubah menjadi batu. Pada saat ini batu tersebut masih ada di sekitar Limus Tilu, Singajaya.
Keberadaan benda dan tempat yang secara fisik dapat dibuktikan keberadaannya menjadikan CCB sangat diyakini kebenarannya. Selain itu, Eyang Batuwangi dipercaya sebagai nenek moyang yang menurunkan anak cucunya, yaitu masyarakat Batuwangi pada saat ini. Dengan dmikian apa yang telah diatur oleh Eyang Batuwangi berlaku pula bagi mereka. C-2 yang mengisahkan pernikahan putri Eyang Batuwangi telah mengakibatkan sumpah Eyang Batuwangi agar semua keturunannya kelak cadu atau pantang memakan kepala ayam. Aturan ini sekarang masih berlaku bagi masyarakat Batuwangi.
Keyakinan masyarakat terhadap kebenaran cerita dapat mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku mereka. Kepercayaan terhadap jasa-jasa Eyang Batuwangi pada masa hidupnya, serta keajaiban-keajaiban yang dimilikinya, menjadikan masyarakat merasa segan dan ingin memenziarahi makamnya. Selain itu, peninggalan Eyang Batuwangi yang masih tersisa kini disakralkan oleh masyarakat. sampai saat ini terdapat sebuah duhung, yaitu sejenis keris bermata dua, dan bertahta batu permata, dengan gagangnya berbentuk kepala burung garuda yang dijadikan pusaka Batuwangi.

5.1.2 Situasi Penceritaan
Berkaitan dengan situasi penceritaan seperti diungkapkan oleh Finnegan pada bab sebelumnya, situasi penceritaan CCB dapat terjadi dalam dua cara, yaitu, pertama, Audience dan penyaji relatif dipisahkan dengan pembatas yang tidak jelas, audience tidak banyak terlibat dalam penyampaian teks. Dan kedua, Penyaji dan audience bergiliran. Pada waktu seorang penyaji bukan gilirannya bercerita atau bermain, maka ia berperan sebagai audience.
Situasi pertama terjadi misalnya ketika ada anak atau orang yang lebih muda bertanya kepada orang tua yang benar-benar mengetahui CCB. Selain itu, ketika wawancara terjadi pun demikian. Pengumpul atau pewawancara yang awam dan ingin mengetahui cerita tidak banyak terlibat dalam penceritaan, kecuali mengajukan pertanyaan-pertanyaan, sebaliknya nara sumber yang menjadi pencerita berperan sebagai penyaji aktif.
Sementara itu, situasi kedua dapat terjadi apabila dalam sebuah penuturan CCB hadir lebih dari satu orang penutur. Apabila masing-masing pendengar mengetahui juga CCB, kadang-kadang mereka saling menambahkan atau mengklarifikasi penuturan yang dilakukan oleh yang lainnya. Hal ini misalnya terjadi pada wawancara 2 dan wawancara 3. Pada saat itu, wawancara dilakukan pada waktu bersamaan. Oleh karena itu, ketika narasumber kedua menyajikan ceritanya, kadang-kadang disela oleh narasumber ketiga, dan sebaliknya, saat narasumber ketiga bercerita, sekali-0sekali disela pula oleh narasumber kedua.
Situasi di atas dapat pula terjadi pada kesempatan bercerita yang lainnya. Misal, ketika pertemuan keluarga, pada sela-sela pekerjaan, atau pada saat berjemur di halaman. Pada kesempatan-kesempatan yang biasanya dihadiri oleh orang tua-tua yang sama-sama tahu mengenai CCB, penceritaan dapat dilakukan secara bergiliran oleh lebih dari seorang penutur.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam situasi penceritaan adalah bahwa penutur tidak begitu saja bercerita secara langsung. Rupanya ada hal-hal yang sedikit membatasi atau menjadi pertimbangan bagi penutur. Misal dalam wawancara dengan Aki Nana (nara sumber 1, 86 tahun) pada tanggal 19 Maret 2005. Sebelum bercerita, penutur meminta izin kepada seseorang yang dalam konteks ini adalah Eyang Batuwangi, serta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam wawancara penutur berkata, “Lepat atuh. Mudah-mudahan aya dina panghampura anjeuna. Ageungna mah ka Gusti Nu Maha Suci.” (TW-1).

5.2 Fungsi Sosial
5.2.1 Membentuk Identitas dan Mendasari Tatanan Sosial Masyarakat Batuwangi.
Dalam berbagai hal, masyarakat Batuwangi tidak berbeda dengan masyarakat lain, terutama masyarakat Sunda pada umumnya. Mereka mengenal teknologi, politik, pendidikan, dan berbagai sisi kehidupan lainnya. Mereka juga membuka diri terhadap perubahan zaman dan perkembangan kebudayaan. Akan tetapi ada beberapa hal yang sifatnya tetap dan menjadi identitas masyarakat Batuwangi.
Eksistensi sosial masyarakat Batuwangi banyak didasari oleh CCB. Secara geografis, sekarang yang dimaksud dengan Batuwangi sebagai tempat adalah sebidang tanah yang luasnya tidak lebih dari satu Hektar. Tanah yang di sanalah Eyang Batuwangi dikuburkan ini terletak di tengah pesawahan di desa Ciudian Kecamatan Singajaya. Desa Ciudian sendiri merupakan sebuah lembah yang diapit oleh dua sungai yaitu Sungai Ciudian dan Sungai Cikaengan. Kedua sungai ini bertemu di sebelah timur desa dan akhirnya bermuara di pantai timur Tasik Malaya. Sedangkan Kecamatan Singajaya dulunya berada di wilayah Kabupaten Tasik Malaya dengan nama Batuwangi. Nama Singajaya adalah nama baru setelah bergabung dengan Kabupaten Garut. Kemudian Kecamatan Singajaya dimekarkan menjadi tiga kecamatan, yaitu Singajaya, Banjarwangi dan Peundeuy. Dengan demikian saat ini telah terjadi penyempitan makna Batuwangi sebagai nama tempat.
Sesuai tempatnya, maka yang seharusnya disebut masyarakat Batuwangi adalah mereka yang tinggal di tanah tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya di atas tanah tersebut hanya ada sebuah makam keramat yaitu makam Batuwangi. Selain itu ada juga sebuah bangunan tempat tawasul di depan makam, sebuah sumur, sebuah kamar mandi dan sebuah mushola. Sisanya hanya belantara yang ditumbuhi pepohonan tua dan rumpun-rumpun bambu yang tak terganggu. Hanya kuncen yang secara teratur datang ke tempat itu. Sementara itu pada bulan-bulan tertentu banyak juga peziarah yang datang setiap tahunnya.
Jadi perlu ditekankan di sini bahwa yang dimaksud dengan masyarakat Batuwangi adalah mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan Eyang Ragabaya Maragahiang Bayu Prabu Sangadipati Bin Guru Gantangan (Eyang Batuwangi). Menurut Koentjaraningrat (2002: 123-124) hubungan kekerabatan ditentukan oleh adanya hubungan darah (sebenarnya gen) yang dihubungkan baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Prinsip kekerabatan masyarakat Batuwangi diikat oleh kesadaran akan hubungan kekerabatan. Berdasarkan hubungan inilah mereka secara selektif memiliki hak dan kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban tersebut pada masyarakat Batuwangi diwujudkan dengan adanya beberapa norma sosial yang harus diikuti oleh anggotanya. Norma-norma sosial tersebut tercermin dalam mitos-mitos yang berlaku di masyarakat berkenaan dengan CCB, larangan-larangan melakukan sesuatu, serta kegiatan-kegiatan ritual tertentu yang biasa dilakukan oleh masyarakat.
Kita juga tidak bisa mengabaikan peran sentral seorang kuncen pada masyarakat Batuwangi. Ia dianggap sebagai orang terpercaya sebagai keturunan asli Eyang Batuwangi. Tugas sebagai kuncen ini didapatkan secara turun temurun. Bila seorang kuncen tidak mempunyai keturunan, maka tugasnya diberikan kepada adik atau kakaknya, ataupun anak dari saudaranya tersebut. Sebagai juru kunci makam, ia tidak hanya bertanggungjawab untuk mengurus makam dan membantu orang yang akan berziarah. Ia juga yang merawat barang-barang peninggalan Batuwangi. Beberapa peninggalan berbentuk senjata pusaka. Ia juga menyimpan naskah Punika Ikilah Sajarah Batara Terus Bawa yang berisi silsilah dan kisah Batuwangi. Hanya kuncen yang boleh membaca naskah ini setiap tanggal 14 maulud pada acara Hajat Maulud.
Selain itu, kuncen bagi masyarakat Batuwangi juga berfungsi sebagai pemimpin spiritual mereka. Di samping ulama sebagai pemuka agama Islam, kuncen juga biasa memimpin doa, terutama yang berhubungan dengan ritual yang berhubungan dengan Batuwangi. Selain itu, kuncen juga sering kali berperan sebagai orang pintar yang menjadi tumpuan banyak orang. Kuncen sebagai satu-satunya orang yang memegang otoritas makam dipercaya mampu mengantarkan kehendak orang yang mempunyai maksud tertentu untuk mendapatkan karomah Eyang Batuwangi. Buktinya, sering ada masyarakat yang datang untuk berobat dari sakit, ingin naik jabatan, ingin sukses berdagang, dan lain-lain.
Singkatnya, masyarakat Batuwangi merupakan prototipe masyarakat Indonesia pada umumnya sebagai masyarakat tradisional, masyarakat religius atau menurut Finnegan, masyarakat primitif atau masyarakat nonindustri. masyarakat seperti ini memliliki ciri-ciri: hidup dalam skala kecil yang homogen, mengutamakan kelisanan daripada keberaksaraan, komunal, didominasi oleh religi dan nilai-nilai tradisi dan lebih dekat dengan alam, serta jauh dari sentuhan teknologi (Finnegan dalam Hutomo, 1991: 20). Ciri-ciri ketradisionalan mereka memang tidak dapat dilihat secara kontras dari tingkat ekonomi, teknologi yang dipakai, maupun tingkat pendidikan formal. Ciri-ciri ketradisionalan mereka merupakan manifestasi dari pola pikir sebagai masyarakat religius, sakral, bahkan animis.
Sebagai masyarakat religius, masyarakat Batuwangi memiliki identitas tersendiri yang khas dan sampai saat ini masih berlaku di masyarakat. Identitas tersebut tercermin dari berlakunya larangan larangan tertentu, ajaran-ajaran tertentu dan sebagainya. Namun demikian, pengaruh dari luar sedikit demi sedikit telah melunturkan beberapa norma tersebut. Sehingga saat ini ada beberapa norma yang berlaku sangat ketat dan menyeluruh, dan ada juga yang tidak begitu ketat atau hanya berlaku pada sebagian kecil dari mereka. Norma-norma yang dihasilkan oleh CCB tersebut adalah sebagai berikut.


5.2.1.1 Asihan Batuwangi
Asihan adalah bentuk mantra Sunda yang digunakan untuk menguasai sukma orang lain supaya menyayangi orang yang menggunakan asihan tersebut (Rusyana, 1970:11). Masyarakat Batuwangi mengenal sebuah asihan yang disebut Asihan Batuwangi. Sebenarnya masyarakat mengenal juga bentuk-bentuk asihan yang lainnya, namun hanya Asihan Batuwangi yang berkaitan dengan Batuwangi. Para orang tua akan mewariskan asihan ini kepada anak-anaknya yang telah baligh. Jadi asihan ini tidak bisa diturunkan kepada sembarang orang, dengan kata lain asihan Batuwangi hanya berlaku untuk masyarakat Batuwangi.
Masyarakat Batuawangi mengenal berbagai asihan. Asihan batuwangi adalah yang paling penting. Menurut mereka asihan ini merupakan bekal hidup yang sangat penting. Dengan menguasai asihan ini, mereka yakin akan selalu “dilindungi” dan akan mendapatkan kasih sayang dari orang lain. Dalam sebuah pembicaraan dengan nara sumber terungkap sebagai berikut.

…kapungkur tataros ka sepuh weh kitu, ka Uwa Kiyai Sepuh weh kitu ti Samping Hilir. Cepeng heula weh cenah elmuna Batuwangi, jung Maneh rek meuntas lautan oge. Da karaos: diturut ku jalema, kitu (TW-3).


Selain dipercaya memiliki fungsi magis, asihan ini pun tidak sembarangan diturunkan, serta tidak sembarangan boleh diketahui olrh seseorang. Dari konteks penuturan wawancara 3 dapat diambil kesimpulan bahwa asihan Batuwangi bagi pemiliknya bersifat sakral. “… kieu geura nya, tapi punten ah da sanes heureuy. Ieu mah putra ayeuna naroskeun bade diwartoskeun bae da moal hade disumputkeun. Mudah-mudahan ngijinkeu (TW 3). Pada saat itu penutur meminta izin kepada Eyang untuk membacakan asihanBatuwangi yang ia kuasai..
Akan tetapi, karena asihan ini diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi, maka timbul varian-varian yang berbeda. Jadi ada beberapa kata atau bagian asihan yang tidak persis sama dari tiap-tiap pemiliknya. Meskipun demikian masyarakat tidak mempersoalkan perbedaan bentuk asihan ini. Semuanya dikembalikan kepada individu yang menggunakannya. Terkadang muncul anggapan bahwa banyak di antara mereka telah kehilangan kebatuwangiannya karena jalan hidup yang ditempuhnya salah. Berikut adalah contoh asihan Batuwangi yang didapatkan dari Aki Nana (86 tahun) dan Aki Suha (78 tahun), keduanya adalah nara sumber.

a. Los leumpang tiheula
ear nu ceurik nuturkeun pandeuri
asupkeun ka bumi weuteuh
rancamaya payung buana
asihan Sangga Buana
mangka tumurun tumeka
maring seuweu putu
marajahyang ing Batruwangi
rahayu kinasihan

b tumika kinasihan Batuwangi
allohuma payung agung sanggabuana
asihan sangadipati
ingsun seuweu putu kangjeng
susunan Marajahiyang Bayu
nam lalo leumpang tiheula
ear nu ceurik nuturkeun pandeuri
antosan di bumi weuteuh
rancamaya nu gaduh asihan sanggabuana


5.2.1.2 Cadu Ngadahar Hulu Hayam
Cadu memakan kepala ayam merupakan dampak dari kejadian dalam C-2. Pantangan yang sekilas sangat sepele ini bagi masyarakat Batuwangi berlaku dengan ketat. Pada bulan Zulhijjah atau bulan haji misalnya, kita akan melihat fenomena di desa-desa sekitar Batuwangi. Pada bulan ini bisaanya banyak terjadi hajatan pernikahan maupun khitanan. Banyak ayam yang dipotong, maka kita bisa melihat kepala ayam bergelimpangan di kolam ikan. Mereka benar-benar tidak memakan kepala ayam, bahkan tidak pula menyertakannya dalam masakan. Dalam keadaan apapun mereka akan mengatakan “cadu” makan kepala ayam.
Kalangan ulama banyak yang mengeritik sikap masyarakat seperti ini. Menurut para ulama tidak baik mengharamkan sesuatu yang halal. Akan tetapi dengan tegas mereka membantah bahwa bagi mereka kepala ayam bukan haram melainkan hanya pantangan saja. “Janten sanes haram, tapi cadu. Cadu kana mastaka hayam, margi kapungkur nuju oleng panganten putrana…” (TW 4). Bila pantangan itu dilanggar, mereka percaya bahwa yang bersangkutan akan mendapat bencana atau bahaya. Kejadian tersebut bisa berupa datangnya penyakit, kecelakaan atau kesialan lainnya.
Di sisi lain, pantangan ini memiliki nilai simbolik yang sangat berarti bagi solidaritas masyarakat Batuwangi. Hal ini tampak pada kutipan wawancara dengan kuncen Batuwangi berikut.
Janten cadu kana hulu hayam teh ulah silih pacok sareng dulur, silih bintih sareng dulur, kudu rapih jeung dulur, nanging da eta, janten eta teh maknaaneun. Aya amanat ka abdi oge kitu. Ulah silih pacok jeung dulur, eureunan urang teh. Cadu kana hulu hayam sabab hayam mah sok silih pacok jeung dulur. Ari bangsa urang, dulur jeung dulur teh silih bintih (TW 4).
Jadi, larangan memakan kepala ayam bagi masyarakat Batuwangi merupakan sebuah mitos yang mempunyai makna. Dalam hal ini masyarakat Batuwangi mematuhi mitos dengan tidak memakan kepala ayam, sekaligus selalu mengusahakan tercapainya makna dari mitos tersebut. Oleh karena itu rasa persaudaraan masyarakat Batuwangi tetap solid meskipun mereka tinggal berjauhan dan tidak saling mengenal.

5.2.1.3 Cadu Beunghar
Sebagian orang beranggapan bahwa dulunya Eyang Batuwangi pernah bekerja sebagai kamasan (tukang membuat perhiasan emas). Dalam pembacaan naskah memang disebutkan “Lawas-lawas mulih ka Batuwangi. Embah Demang Genjreng Kamasan sumping ka Batuwangi” (TPN). Ia mempunyai banyak harta kekayaan. Karena kebaikannya, ia terbuka pada siapapun yang membutuhkan pertolongannya. Pada waktu itu banyak orang yang datang ke rumahnya untuk meminjam beras atau uang. Batuwangi memang memberikan pinjaman, tapi karena terlalu banyaknya orang yang bergantian meminta pinjaman dan banyak yang tidak membayar, ia menjadi jengkel, maka keluarlah serapah “cadu beunghar”
Akan tetapi kuncen mengklarifikasi anggapan sebagian masyarakat tersebut. Menurutnya kejadian seperti itu memang pernah terjadi tapi yang melakukannya bukan Batuwangi melainkan anaknya yang bernama Pada Beunghar. Jadi bila sumpah serapahnya itu berlaku, maka yang pantang kaya itu hanya keturunan Batuwangi dari anaknya yang bernama Pada Beunghar tersebut.

Eta teh kieu, sanes Batu Wangi eta mah. Cadu beunghar, cadu panjang rambut. Putrana teh Eyang Wira, anu dimakamkeun di Pada beunghar, karamat Pada beunghar: Wira Tanubaya. Di palih dinya, Pada Beunghar. Kumargi beunghar ku putra, beunghar ku harta, teu kaur meuneutkeun panto anu beunghar mah. Janten cape weh. Cadu! Cadu beunghar, sanes Batu Wangi (TW-4).


5.2.1.4 Cadu Panjang Buuk
Pantangan ini tidak berlaku secara ketat pada wanita Batuwangi saat ini. Pantangan ini didasarkan pada sebuah cerita tentang salah seorang anak perempuan Batuwangi. Batuwangi mempunyai seorang putri yang sangat cantik dan mempunyai rambut sangat panjang sampai tumit. “Cadu rambut panjang mah saurna nuju moe rambut.Muhun, putri. Kakojot ku kuda samparani. Kagusur dugi ka tewas” (TW-4). Putri tersebut pada suatu hari sedang menyisir rambutnya di halaman. Rambutnya yang terurai panjang tiba-tiba tersangkut pada kaki seekor kuda (ada juga yang mengatakan rusa) yang sedang berlari. Akhirnya sang putri terseret hingga tewas. Sejak saat itulah konon Eyang Batuwangi melarang keturunannya untuk berambut panjang.

5.2.1.5 Cadu Geulis
Pantang cantik ini diartikan sebagai larangan untuk bersolek (menggunakan make up) secara berlebihan bagi wanita Batuwangi. Namun karena batas-batas bersolek yang berlebihan ini tidak jelas, maka saat ini wanita Batuwangi sulit dibedakan dari masyarakat lainnya.

Identitas yang masih mencirikan masyarakat Batuwangi secara ketat di antaranya adalah Asihan Batuwangi dan larangan memakan kepala ayam. Sementara itu aturan lainnya yang berupa pantangan-pantangan di atas tidak berlaku secara ketat dan tidak menyeluruh di masyarakat Batuwangi. Hal ini diakibatkan dinamika perubahan sosial masyarakat. Selain itu, aturan yang lambat laun menjadi longgar tersebut memang tidak berdasarkan sebuah cerita, tetapi hanya berupa anggapan masyarakat saja.

5.2.3 Membentuk Pandangan dan Kepribadian Masyarakat Batuwangi
Dari uraian sebelumnya ditemukan beberapa norma yang menjadi identitas masyarakat Batuwangi. Mereka memiliki asihan Batuwangi, juga memiliki beberapa pantangan di antaranya pantang memakan kepala ayam, pantang kaya, pantang berambut panjang, dan pantang bersolek. Dengan identitas tersebut kita bisa sedikit memahami masyarakat Batuwangi. Identitas tersebut dapat menumbuhkan solidaritas dan rasa persaudaraan yang tinggi antar anggota masyarakat Batuwangi. Lebih jauh lagi ternyata identitas tersebut memberi pengaruh besar terhadap paradigma sosial masyarakat Batuwangi.
Menurut masyarakat Batuwangi pengamalan asihan akan mendatangkan perlindungan di dalam dan kejayaan di luar asalkan asihan ini dibawa dalam jalan kebenaran. Yang dimaksud dengan perlindungan di dalam adalah seseorang akan dilindungi dalam segala hal selama ia tinggal di wilayah dalam. Beberapa narasumber memberikan batas-batas wilayah luar dan wilayah dalam. Batas tersebut adalah tempat (desa atau kampung) yang bernama Pamegatan.

Malahan ceuk urang dieu, ah da ieu mah urang Pamegatan. Mun indit ka dieu, ari didieu mah ngan ukur dilindungi, tapi datang ka ditu bakal aya rahayu kinasihan. Lamun geus liwat Pamegatan ka ditu, geus weh tamplok kabeh kadeudeuhna, kanyaahna ka urang (TW 1).



Menurut mereka di setiap arah mata angin akan ditemukan nama Pamegatan. Memang penulis mengetahui beberapa tempat-tempat tersebut di antaranya di perbatasan Banjarwangi-Cikajang (ini berarti sebelah Barat), di sebelah utara Singajaya, dan sebelah selatan di Pameungpeuk. Anggapan seperti ini memberi pengaruh yang signifikan. Di dalam lingkungannya mereka sangat solid dan tampak kesetaraan dalam lingkungan sosial. Mereka menjalin persaudaraan dengan erat. Mereka juga saling mengenal satu sama lain meskipun jarak yang memisahkan tempat tinggal mereka cukup jauh.
Bila seseorang telah keluar dalam arti menetap di wilayah luar batas yang telah ditentukan, maka ia akan mendapat kejayaan atau menurut istilah mereka rahayu kinasihan. Di luar ia akan sejahtera dan mendapatkan kepercayaan dan kasih sayang dari setiap orang. Akibatnya banyak anggota masyarakat yang merantau ke wilayah luar untuk berdagang, kerja bangunan atau pekerjaan lainnya. Biasanya mereka pergi ke kota besar seperti Jakarta ataupun Bandung. Penghasilannya memang relatif, tetapi ada selalu cerita tentang kesuksesan atau keunggulan yang mereka bawa. Di rantau ia merasa dipercaya dan dikasihi oleh banyak orang, sementara keluarga yang ditinggalkan biasanya menceritakan kesuksesan-kesuksesan yang diraih oleh orang tersebut.
Sementara itu pantangan untuk menjadi kaya bagi sebagian orang tidak menjadikannya merasa nyaman. Pantang menjadi kaya tidak hanya diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak boleh terjadi, tetapi juga tidak mungkin terjadi. Padahal kaya atau tidaknya seseorang ditentukan oleh Tuhan dan kesadarannya untuk berikhtiar. Kesadaran inilah yang melunturkan pantangan menjadi kaya sehingga sebagian besar masyarakat tidak lagi memercayai pantangan ini.
Perlu diperhatikan juga bahwa masyarakat Batuwangi tetap mempertahankan nilai-nilai Budaya yang memang tidak dilarang oleh Eyang Batuwangi. Misal tradisi pernikahan dengan acara huap lingkung. Meskipun acara ini telah menimbulkan prahara yang merenggut nyawa putra-putranya, Eyang Batuwangi tidak lantas melarang acara huap lingkung yang memang syarat nilai simbolik bagi kehidupan rumah tangga.
Di sisi lain CCB juga menolak nilai nilai budaya yang tidak relevan menurut ajaran agama maupun nilai-nilai kebenaran. Dalam hal ini dapat dicontohkan melalui kebijakan Eyang Batuwangi dalam C-2. ia mengixinkan anak perempuannya menikah lebih dulu daripada kakak laki-lakinya. Padahal masyarakat sering menganggap tindakan ngarunghal tersebut sebagi perbuatan yang negatif.


5.2.4 Menyebarkan Kaidah Ritual
Ritual merupakan kata sifat atau adjektiva yang merngandung makna berkenaan dengan ritus. Ritus dapat diartikan sebagai tata cara dalam ritual upacara keagamaan (Tarno dkk, 2000: 5). Lebih lanjut Sutarto memberikan pengertian bahwa ritual berarti kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang dan obsesif, dan seringkali merupakan dramatisasi simbolis dari kebutuhan masyarakat yang mendasar, apakah itu kebutuhan ekonomi, biologis, sosial, atau seksual (Sutarto, 1991: 16).
Sebuah ritual dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya karena merupakan warisan dari leluhur, itu artinya otoritas yang memerintahkan ritual ini sama dengan otoritas yang dimiliki tradisi, yang tentu saja bersifat sosial. Ritus-ritus ini dilaksanakan demi memelihara hubungan dengan masa lalu dan melestarikan identitas moral kelompok, bukan karena ada tujuan atau dampak fisikal yang ingin dicapai (Durkheim, terjemahan Muzir, 2005: 533)
Masyarakat Batuwangi melakukan beberapa ritual yang rutin dilakukan. Ritual yang utama adalah ziarah kubur di makam Batuwangi, ritual pembacaan naskah Punika Ikilah Sajarah Batara Terus Bawa, serta ritual ngalungsur atau mencuci senjata pusaka Eyang Batuwangi. Ketiga ritual ini dilakukan dalam rangkaian acara Hajat Mulud secara rutin setiap tanggal 13-14 Rabbiul Awal atau bulan Mulud, kecuali ritual ziarah kubur yang sebenarnya dapat dilakukan kapan saja selain pada bulan Ramadhan dan bulan Shafar.

5.2.4.1 Ritual Ziarah Kubur di Makam Batuwangi
Makam keramat sering diziarahi oleh berbagai lapisan masyarakat karena makam tersebut dianggap tempat keramat. Tempat keramat adalah ruang yang suci, di mana ada ritual-ritual tertentu untuk dapat memasukinya. Sebagai tempat suci, makam keramat memiliki batas-batas keramat. Dalam hal ini istilah tempat keramat dapat disamakan dengan istilah tempat atau ruang sakral. Manusia religius memandang ruang tidak homogen. Ruang sakral mengalami interupsi, perubahan di dalamnya, serta ada beberapa ruang yang secara kualitatif berbeda dari yang lain (Eliade, 2002: 13).
Masyarakat pada umumnya berkeyakinan bahwa tak lama setelah orang meninggal, jiwanya akan berubah menjadi mahluk halus (roh) yang selanjutnya roh halus tersebut berada di sekitar ahli waris (Endraswara, 2004: 30). Anggapan seperti inilah yang melatar belakangi ritual ziarah kubur di makam Batuwangi. Eyang batuwangi dianggap sebagai penyebar Islam bahkan diyakini sebagai seorang wali oleh masyarakat. Dengan mendatangi makamnya, masyarakat percaya akan mendapatkan keramat. Dalam hal ini, istilah keramat sesuai dengan asal katanya (Arab: karomah), yang berarti berkah atau kasih sayang.
Masyarakat mengetahui berbagai hal tentang Eyang Batuwangi terutama berkaitan dengan makam yang mereka Ziarahi berdasarkan CCB. Kehidupan masa lalu Eyang Batuwangi yang tergambar dalam CCB menjadikan tokoh ini dikeramatkan. Ritual ziarah kubur yang dilakukan oleh masyarakat pada saat ini seakan mengaktualisasikan kembali kejadian-kejadian yang terjadi di masa lampau. Hal ini penting karena bagi masyarakat religius, seluruh ritual merupakan perayaan atau peringatan. Oleh karena itu memori yang direaktualisasikan memainkan sebuah peranan yang menentukan (Eliade, 2002: 102).
Salah satu dasar keyakinan masyarakat untuk melakukan ziarah kubur ke makam Eyang Batuwangi adalah peristiwa yang dikisahkan dalam C-4. sebagai seorang wali, Eyang Batuwangi telah ma’rifat atau dekat dengan Yang Maha Kuasa, sehingga doanya mudah dikabulkan. Oleh karena itu, ada baiknya berdoa pun dilaksanakan di tempat yang dirahmati oleh-Nya, yaitu makam Eyang Batuwangi. Hal ini diungkapkan sebagai berikut.

Mantena mah tos caket ka Allah. Ma’rifat ka Allah, waliyullah, kakasihna Gusti Allah, tiasa diizabah. Numawi dina ziarah oge ngadua di tempat anu dimulyakeun ku Allah (paragraf 2)

5.2.4.2 Ritual Pembacaan Naskah Punika Ikilah Sajarah Batara Terus Bawa
Menurut kuncen, naskah ini sekarang sudah tidak utuh lagi. Sebagian naskah telah hilang. Sementara itu, sepenggal naskah yang tersisa kini disimpan baik-baik di rumah kuncen.

Eta teh kieu, riwayat eta kapungkur teh, ku pun Bapa teh nu aslina disalin, taun 55 panginten waktos nyalin sajarah teh. Atuh anu aslina disimpen satoromol, sawadah kitu. Teu acan beres sadayana pun bapa teh nyalin, ti hiji dugi ka.. da acak-acakan ku pun bapa dibereskeun. Sami-sami sareng kieu nu aslina mah, acak-acakan. Koneng sapertos hanalam. Ari pun bapa pupus, ku pun Uwa dirawat. Abdi nuju alit keneh. Anu kenging nyalin mah dicandak ku abdi, anu aslina dicandak ku Uwa.Uwa Haji Syukur. Abi mah nyalametkeun anu kenging nyalin. Anu aslina mah dicandak ku Uwa di Cibogo. Wa Haji pupus, abdi sanes ninggal kana harta banda, abdi teh hak warisna, tapi eta nu diperyogikeun nu ditaroskeun. Teu aya. Duka kunu nyolong, duka ical… ah wallohu a’lam dasar sepuh (TW 4)

Naskah ini hanya dibaca satu kali dalam setahun, yakni pada dini hari.tanggal 14 Maulud. Ritual ini termasuk ke dalam rangkaian acara hajat maulud, tepatnya setelah ritual ziarah kubur selesai, barulah naskah ini dikeluarkan dan dibaca oleh kuncen di depan khalayak. Hanya kuncen yang boleh membaca naskah ini. Di dalamnya ada bagian-bagian yang dianggap papakem yang tidak boleh didengar oleh khalayak (lihat lampiran TPN).
Ternyata di dalam naskah yang berbahasa Sunda-Jawa (Cirebon) ini tidak tercantum CCB. Naskah ini hanya memuat silsilah Batuwangi serta beberapa ajian yang tidak boleh dibaca. Jadi penuturan dan pewarisan CCB hanya berlangsung secara lisan, bukan tulisan.
Pembacaan naskah ini merupakan sebuah ritual yang sangat sakral. Selain ada beberapa bagian naskah yang benar-benar tidak boleh diketahui oleh orang lain selain kuncen, naskah ini tidak boleh diambil gambarnya. Selain itu, pada saat pembacaan naskah berlangsung, berbagai makanan sebagai sesaji dihadirkan di depan khalayak. Makanan ini terdiri atas nasi rawon, opor ayam dan ayam bakar (tentunya tanpa kepala), telur ayam, telur bebek, dan sayur-sayuran. Selain itu terdapat juga opak, ranginang, dan wajit.





5.2.4.3 Ritual Ngalungsur
Ngalungsur berarti menurunkan, atau mengeluarkan. Maksudnya, sebuah duhung atau senjata pusaka peninggalan Eyang Batuwangi dikeluarkan dan dicuci pada tanggal 14 Rabiul awal, setelah ziarah kedua yang dilakukan pagi hari. Senjata ini berbentuk sebilah keris bermata dua dengan panjang sekitar 30 cm, bergagang kayu bentuk burung garuda, dan bertahtakan empat butir permata (sekarang tinggal satu). Namun sayang sekali senjata ini pun tidak boleh diambil gambarnya.
Sebelum dan sesudah dicuci tanggal 14 Maulud, keris ini dibungkus dengan kain putih lalu diikat dengan tujuh ikatan. Kemudian keris disimpan di dalam sebuah peti di dalam kamar sebuah rumah khusus milik kuncen. Selain pada saat pencucian, keris ini tidak boleh disentuh dan dibuka.
Seluruh ritual ini dilakukan oleh kuncen dengan dibantu oleh anak laki-lakinya. Keris dikeluarkan dari peti, dibuka dari bungkusan kain, kemudian dengan doa-doa tertentu keris dikeluarkan dari bungkusnya. Sementara itu telah tersedia satu nampan air berisi bunga tujuh rupa dan jeruk yang dibelah-belah. keris dicuci oleh kuncen dengan air kembang dan jeruk ini. Setelah cukup bersih, kemudian diseka dengan kapas lalu dikeringkan. Setelah kering keris dimasukkan kembali ke dalam bungkusnya, diselimuti kain putih, diikat, dan kembali dimasukkan ke dalam peti.
Ada dua hal yang memaknai ritual ini. Pertama, setiap keganjilan yang muncul dalam ritual dianggap pertanda yang menunjukkan kejadian yang akan menimpa bangsa ini. Misal, pada pencucian tahun ini. Sebelum keris dicuci, salah satu tali pengikat lawon pembungkus bagian bawah ada yang lepas. Hal ini segera diumumkan oleh kuncen bahwa keganjilan ini berarti akan ada banyak prahara menimpa masyarakat kalangan bawah. Begitulah masyarakat, khususnya kuncen memaknai segala keganjilan yang menimpa keris dikaitkan dengan keadaan bangsa ini setiap tahunnya.
Kedua, air sisa mencuci senjata ini dibagi-bagikan kepada masyarakat yang hadir dalam ritual. Sebagian menggunakannya langsung di tempat: ada yang mencuci wajahnya, membasahi kepalanya, mencuci matanya, dan ada pula yang meminumnya. Sisanya dibawa dengan menggunakan botol ke rumah masing-masing. Air yang tersisa kemudian digunakan untuk mencuci barang yang lain-lain. pada saat ritual, banyak masyarakat yang juga membawa barang-barang pusaka seperti keris, pedang, golok, batu ali, bahkan tusuk konde.
Ketiga ritual tersebut dilakukan dalam sebuah rangkaian acara hajat Maulud setiap tanggal 14 Rabbiul Awal. Selain berfungsi untuk mengaktualkan kembali peristiwa masa lalu, masyarakat meyakini akan adanya berkah yang akan mereka terima dengan melibatkan diri dalam berbagai ritual tersebut. Oleh karena itu, banyak kalangan masyarakat yang datang dan mengikuti ritual dengan mambawa maksud dan tujuan tertentu. Biasanya, pejabat yang ingin naik pangkat, pedagang yang ingin berkembang, orang yang sakit ingin sembuh, yang belum menikah ingin segera mendapatkan jodoh, dan sebagainya sering terlibat dalam berbagai ritual tersebut. Alasan mereka satu, yaitu dengan berdoa di tempat keramat, berarti mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa dengan media Eyang Batuwangi.

5.3 Hasil Analisis Konteks Penceritaan dan Fungsi Sosial
CCB sebagai sebuah sastra lisan yang berupa legenda tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pemiliknya. CCB lahir, berkembang dan tetap dipertahankan oleh masyarakat Batuwangi. Oleh karena itu, CCB selalu mengungkapkan berbagai hal yang tidak jauh dari kehidupan mereka. Hal ini tampak dari konteks penceritaan CCB yang meliputi lingkungan penceritaan dan situasi penceritaan. Apabila kita melihat lingkungan penceritaannya maka CCB pun dapat dikategorikan sebagai legenda perseorangan yang selalu menampilkan seorang tokoh yang sama, yaitu Eyang Batuwangi. Di sisi lain, dapat juga dikategorikan sebagai legenda lokal yang selalu mengungkapkan setting daerah asli sekitar Batuwangi.
Dalam keterkaitan yang erat antara cerita dengan pemiliknya ini, CCB juga mempunyai fungsi yang signifikan yang tampak dalam kehidupan masyarakatnya. CCB telah membentuk identitas dan mendasari tatanan sosial masyarakat Batuwangi, membentuk pandangan dan kepribadian masyarakat, terutama berkaitan dengan asihan Batuwangi dan aturan-aturan adat, serta pengaruh aturan-aturan tersebut bagi kehidupan masyarakat. Terakhir, CCB pun mendasari serta menyebarkan kaidah ritual ziarah kubur, pembacaan naskah Punika Ikilah Sajarah Batara Terus Bawa, serta ritual pencucian duhung ­atau keris pusaka peninggalan Eyang Batuwangi.

bab 4

BAB V
KONTEKS PENCERITAAN DAN FUNGSI SOSIAL

5.1 Konteks Penceritaan
5.1.1 Lingkungan Penceritaan
5.1.1.1 Penutur Cerita
Tidak semua masyarakat Batuwangi bersedia untuk menuturkan cerita. Mereka yang usianya lebih muda pada suatu desa atau kampung akan menunjuk seseorang yang lebih tua di lingkungannya untuk diwawancarai. Orang yang sudah tua diyakini mengetahui CCB dengan baik. Selain mereka merupakan penduduk asli, mereka juga dianggap paling berwenang menuturkan cerita kepada orang lain. Semua cerita dikumpulkan melalui wawancara di tempat tinggal penutur sehingga hubungan cerita dengan lingkungannya dapat pula dirasakan. Penutur bertempat tinggal di kecamatan Banjarwangi dan kecamatan Singajaya Kabupaten Garut.
Tanpa rencana, semua penutur yang berhasil diwawancarai adalah laki-laki. Hal ini terjadi karena masyarakat yang menjadi subjek penelitian merupakan pewaris budaya patriarkal. Pada masyarakat Batuwangi, laki-laki dianggap mengetahui sejarah dan cerita-cerita tentang desanya sejak masa lampau.Umumnya penutur berusia antara 60 hingga 80 tahun. Bahkan seorang penutur telah berusia 104 tahun. Meskipun usia mereka terhitung sudah sangat tua, mereka masih dapat berkomunikasi dengan baik. Penutur pada usia seperti inilah yang diyakini masyarakat sebagai orang yang paling mengetahui keadaan desanya sejak masa lampau.
Penutur yang pernah mendapatkan pendidikan formal sebanyak 60 %. Sisanya, 40 % tidak pernah mendapatkan pendidikan formal di sekolah. Mereka yang mendapatkan pendidikan formal mengaku pernah bersekolah pada masa penjajahan Belanda. Hal ini dapat dibuktikan karena penutur tersebut dapat membaca tulisan latin. Sedangkan penutur yang tidak pernah bersekolah, mereka umumnya pernah belajar agama di pesantren atau pada guru mengaji. Buktinya, mereka dapat membaca Al-Quran dan tulisan Arab pegon.
Hampir semua penutur bekerja sebagai petani. Meskipun usia mereka telah lanjut, namun mereka masih sering melakukan pekerjaan sebagai petani. Tentu saja mereka melakukan pekerjaannya saat ini tidak lagi seperti masa mudanya. Selain petani, ada juga kuncen makam Batuwangi. Akan tetapi, pada kenyataannya kuncen pun melakukan pekerjaan sebagai petani.
Penutur mendapatkan cerita dari orang tua (ayah), kakek, paman, dan dari guru mengaji. Penutur mendapatkan cerita sejak masih kanak-kanak, namun ada juga yang mendapatkan cerita setelah ia dewasa. Memang, kebanyakan masyarakat Batuwangi tidak sembarangan menuturkan CCB. Cerita-cerita Batuawangi baru akan disampaikan kepada anak yang telah dianggap dewasa atau baligh. Jadi, bila dilihat dari penuturnya CCB memiliki nilai-nilai sakral bagi masyarakatnya. Selain itu, biasanya ada hubungan yang dekat antar penutur dengan pendengarnya, misalnya, kakek dengan cucunya, ayah dengan anaknya, atau guru mengaji dengan muridnya. Demikianlah CCB diturunkan dan disebarluaskan sehingga dikenal oleh masyarakatnya.

5.1.1.2 Kesempatan Bercerita
Masyarakat Batuwangi adalah masyarakat petani. Aktivitas sehari-hari mereka adalah bekerja dari pagi hingga siang hari di sawah atau di kebun. Sebagian waktu mereka digunakan untuk kegiatan keagamaan, membangun rumah, bergotong royong mengerjakan pembangunan kampungnya, dan kegiatan lainnya. Mereka, terutama yang tua-tua pada umumnya jarang bepergian ke luar desa, apalagi ke luar kota.
Mereka biasanya bercerita pada saat ada pertemuan, baik formal maupun tidak formal. Pada sela-sela acara musyawarah, pesta pernikahan, tahlilan, dan marhaba mereka biasanya terpancing untuk menuturkan cerita. Meskipun pertemuan tersebut bukan bertujuan untuk bercerita, tetapi bila mereka berkesempatan bercerita di tempat itu, maka mereka pun bertukar pengetahuan cerita. Pada pertemuan-pertemuan seperti ini, mereka yang terlibat biasanya orang yang sudah dewasa sampai orang lanjut usia. Selain itu, pertemuan-pertemuan tersebut bisanya dihadiri oleh sebagian besar laki-laki, dan jarang sekali wanita dan anak-anak. Adapun wanita dan anak-anak biasanya tidak ikut aktif bercerita, mereka biasanya menjadi pendengar saja. Oleh karena itu masyarakat Batuwangi menganggap laki-laki yang sudah tualah yang nyepeng sajarah (mengetahui sejarah atau cerita) di desanya.
Selain dalam sela-sela waktu pertemuan formal, penuturan cerita pun dapat terjadi dalam pertemuan yang santai seperti berjemur pada pagi hari, pada saat anak memijat orang tuanya menjelang tidur, saat keluarga berkumpul di dalam rumah, dan di dalam perjalanan atau sela-sela pekerjaan yang menjadi mata pencaharian mereka. Selain itu, penuturan CCB dapat terjadi pada saat ada orang yang bertanya mengenai cerita tersebut.
Contoh-contoh di atas merupakan kesempatan bercerita yang tidak menentu tempat dan waktunya. Penuturan cerita dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Ada pula kesempatan bercerita yang dibuat rutin dan pasti dilakukan, yaitu setiap tanggal 12 Rabbiul Awal di rumah kuncen. Pada saat itu, banyak orang yang berdatangan dari berbagai daerah untuk melakukan ziarah, serta mengikuti ritual penyiraman senjata Eyang Batuwangi. Mereka yang dating pada umumnya mengaku masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Eyang Batuwangi, baik itu keturunan langsung, maupun keturunan dari kerabat Eyang Batuwangi yang lain. Dalam rangkaian acara ini biasanya muncul kesempatan bercerita. Para pengunjung yang hadir di rumah kuncen sebelum atau sesudah berziarah biasanya membahas keberadaan Eyang Batuwangi serta cerita-cerita tentangnya.
Pada tanggal 14 Rabbiul awal atau 14 Maulud ini dilakukan acara Hajat Maulud, rangkaian acaranya dimulai pada malam hari dengan tawasul di makam, kemudian kembali ke rumah kuncen untuk mendengarkan pembacaan silsilah dalam naskah yang berjudul Punika Ikilah Sajarah Batara Terusbawa. Naskah ini selalu dibacakan oleh kuncen hanya pada waktu yang sudah menjadi pakem ini. Selain itu, isi naskah tidak seluruhnya dibacakan karena dianggap sakral, tidak semua orang boleh mengetahui isinya.

5.1.1.3 Tujuan Bercerita
Seperti telah dibahas sebelumnya, CCB berbentuk legenda, tepatnya legenda pembangun masyarakat dan budaya. Di dalamnya diceritakan tentang Eyang Batuwangi, asal usul suatu daerah, asal-usul suatu aturan, dan sebagainya. Oleh karena itu, tujuan penuturan CCB berhubungan erat dengan bentuk, isi, dan sifat-sifat yang dikandung di dalam masing-masing cerita.
Adapun tujuan penuturan CCB di antaranya.
a. Memberikan informasi kepada orang yang lebih muda bahwa Eyang Batuwangi adalah karuhun (nenek moyang) masyarakat Batuwangi. Sebagai nenek moyang mereka, Eyang Batuwangi telah berjasa di masa lalu.
b. Menjelaskan alasan mengenai pantangan memakan kepala ayam bagi keturunan Batuwangi. Hal ini dijelaskan melalui C-2.
c. Memberikan informasi tentang asal mula suatu daerah. Misal, tentang asal mula tanah gagayunan di Ciudian, dan asal mula nama kampung Garasay.
d. Menjelaskan bentuk unik suatu benda. Misal, bentuk unik Batu Munding dapat dijelaskan dengan C-1, demikian juga mengapa banyak batu yang bergelimpangan di dekat makam Batuwangi dan bentuk unik Pasir Murungkut dapat dijelaskan dengan C-3.
e. Agar masyarakat mengetahui hubungan kekerabatan, bahwa mereka semua adalah keturunan Batuwangi. Dengan demikian terjadi hubungan emosi yang dekat, meskipun mereka tinggal berjauhan.
f. Menjelaskan asal usul senjata milik Eyang Batuwangi yang disimpan oleh kuncen, serta memberikan alasan tentang ziarah ke makam Eyang Batuwangi.
g. Menjelaskan hubungan antara makam Eyang Batuwangi dengan makam keramat di sekitarnya, misal dengan makam Sembah Ibu Purbakawasa di Ciwindu, dengan makam Eyang Surapati di Cigintung, dengan makam Padabeunghar di Sareupeun Padabeunghar, dan sebagainya.

5.1.1.4 Hubungan Cerita dengan Lingkungannya.
Keberadaan masyarakat Batuwangi pada saat ini sulit ditentukan berdasarkan tempat tinggalnya. Mereka kebanyakan bertempat tinggal di desa-desa di kecamatan Singajaya, dan Banjar Wangi. Selain itu, mereka juga sudah merambah ke beberapa kecamatan di sekitarnya hingga Cikajang, Cihurip dan Peundeuy. Sementara itu ada pula yang merantau ke luar daerah seperti Bandung, Jakarta, bahkan luar Jawa. Mereka hidup berbaur dengan masyarakat lainnya, sehingga identitas kebatuwangiannya baru akan diketahui setelah kita mengenal mereka.
CCB berhubungan erat dengan lingkungan masyarakatnya serta lingkungan alamnya. Hubungan tersebut sebenarnya telah tergambar melalui latar CCB. Dalam hal ini CCB dapat pula dikelompokkan sebagai legenda setempat, atau local legends (Danandjaya dalam Sutrisno, 1991: 469). Sebagai legenda setempat, latar dalam CCB tidak jauh dari lingkungan sekitar masyarakat Batuwangi.
Dalam hubungan antara cerita dengan lingkungan alamnya, latar tempat CCB pada umumnya dapat dilacak keberadaannya hingga saat ini. Akan tetapi dinamika sosial penduduk mungkin dapat mengubah keberadaannya. Misal, dalam C-1 diceritakan bahwa pada saat itu Tanah Batuwangi merupakan wilayah kekuasaan Sukapura, Tasik Malaya, sedangkan sekarang tempat tersebut berada di wilayah Kabupaten Garut. Tempat-tempat lain yang disebutkan dalam CCB seperti Gunung Lumbung, Kampung Garasay, Ciwindu, sungai Ciudian, dan sebagainya memang ada hingga sekarang.
Demikian pula benda-benda yang memiliki keunikan yang dapat dijelaskan dengan CCB, kini benda-benda tersebut masih ada di tempatnya. Dalam C-1 diceritakan adanya kerbau yang setelah dilemparkan oleh Batuwangi berubah menjadi batu. Pada saat ini batu tersebut masih ada di sekitar Limus Tilu, Singajaya.
Keberadaan benda dan tempat yang secara fisik dapat dibuktikan keberadaannya menjadikan CCB sangat diyakini kebenarannya. Selain itu, Eyang Batuwangi dipercaya sebagai nenek moyang yang menurunkan anak cucunya, yaitu masyarakat Batuwangi pada saat ini. Dengan dmikian apa yang telah diatur oleh Eyang Batuwangi berlaku pula bagi mereka. C-2 yang mengisahkan pernikahan putri Eyang Batuwangi telah mengakibatkan sumpah Eyang Batuwangi agar semua keturunannya kelak cadu atau pantang memakan kepala ayam. Aturan ini sekarang masih berlaku bagi masyarakat Batuwangi.
Keyakinan masyarakat terhadap kebenaran cerita dapat mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku mereka. Kepercayaan terhadap jasa-jasa Eyang Batuwangi pada masa hidupnya, serta keajaiban-keajaiban yang dimilikinya, menjadikan masyarakat merasa segan dan ingin memenziarahi makamnya. Selain itu, peninggalan Eyang Batuwangi yang masih tersisa kini disakralkan oleh masyarakat. sampai saat ini terdapat sebuah duhung, yaitu sejenis keris bermata dua, dan bertahta batu permata, dengan gagangnya berbentuk kepala burung garuda yang dijadikan pusaka Batuwangi.

5.1.2 Situasi Penceritaan
Berkaitan dengan situasi penceritaan seperti diungkapkan oleh Finnegan pada bab sebelumnya, situasi penceritaan CCB dapat terjadi dalam dua cara, yaitu, pertama, Audience dan penyaji relatif dipisahkan dengan pembatas yang tidak jelas, audience tidak banyak terlibat dalam penyampaian teks. Dan kedua, Penyaji dan audience bergiliran. Pada waktu seorang penyaji bukan gilirannya bercerita atau bermain, maka ia berperan sebagai audience.
Situasi pertama terjadi misalnya ketika ada anak atau orang yang lebih muda bertanya kepada orang tua yang benar-benar mengetahui CCB. Selain itu, ketika wawancara terjadi pun demikian. Pengumpul atau pewawancara yang awam dan ingin mengetahui cerita tidak banyak terlibat dalam penceritaan, kecuali mengajukan pertanyaan-pertanyaan, sebaliknya nara sumber yang menjadi pencerita berperan sebagai penyaji aktif.
Sementara itu, situasi kedua dapat terjadi apabila dalam sebuah penuturan CCB hadir lebih dari satu orang penutur. Apabila masing-masing pendengar mengetahui juga CCB, kadang-kadang mereka saling menambahkan atau mengklarifikasi penuturan yang dilakukan oleh yang lainnya. Hal ini misalnya terjadi pada wawancara 2 dan wawancara 3. Pada saat itu, wawancara dilakukan pada waktu bersamaan. Oleh karena itu, ketika narasumber kedua menyajikan ceritanya, kadang-kadang disela oleh narasumber ketiga, dan sebaliknya, saat narasumber ketiga bercerita, sekali-0sekali disela pula oleh narasumber kedua.
Situasi di atas dapat pula terjadi pada kesempatan bercerita yang lainnya. Misal, ketika pertemuan keluarga, pada sela-sela pekerjaan, atau pada saat berjemur di halaman. Pada kesempatan-kesempatan yang biasanya dihadiri oleh orang tua-tua yang sama-sama tahu mengenai CCB, penceritaan dapat dilakukan secara bergiliran oleh lebih dari seorang penutur.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam situasi penceritaan adalah bahwa penutur tidak begitu saja bercerita secara langsung. Rupanya ada hal-hal yang sedikit membatasi atau menjadi pertimbangan bagi penutur. Misal dalam wawancara dengan Aki Nana (nara sumber 1, 86 tahun) pada tanggal 19 Maret 2005. Sebelum bercerita, penutur meminta izin kepada seseorang yang dalam konteks ini adalah Eyang Batuwangi, serta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam wawancara penutur berkata, “Lepat atuh. Mudah-mudahan aya dina panghampura anjeuna. Ageungna mah ka Gusti Nu Maha Suci.” (TW-1).

5.2 Fungsi Sosial
5.2.1 Membentuk Identitas dan Mendasari Tatanan Sosial Masyarakat Batuwangi.
Dalam berbagai hal, masyarakat Batuwangi tidak berbeda dengan masyarakat lain, terutama masyarakat Sunda pada umumnya. Mereka mengenal teknologi, politik, pendidikan, dan berbagai sisi kehidupan lainnya. Mereka juga membuka diri terhadap perubahan zaman dan perkembangan kebudayaan. Akan tetapi ada beberapa hal yang sifatnya tetap dan menjadi identitas masyarakat Batuwangi.
Eksistensi sosial masyarakat Batuwangi banyak didasari oleh CCB. Secara geografis, sekarang yang dimaksud dengan Batuwangi sebagai tempat adalah sebidang tanah yang luasnya tidak lebih dari satu Hektar. Tanah yang di sanalah Eyang Batuwangi dikuburkan ini terletak di tengah pesawahan di desa Ciudian Kecamatan Singajaya. Desa Ciudian sendiri merupakan sebuah lembah yang diapit oleh dua sungai yaitu Sungai Ciudian dan Sungai Cikaengan. Kedua sungai ini bertemu di sebelah timur desa dan akhirnya bermuara di pantai timur Tasik Malaya. Sedangkan Kecamatan Singajaya dulunya berada di wilayah Kabupaten Tasik Malaya dengan nama Batuwangi. Nama Singajaya adalah nama baru setelah bergabung dengan Kabupaten Garut. Kemudian Kecamatan Singajaya dimekarkan menjadi tiga kecamatan, yaitu Singajaya, Banjarwangi dan Peundeuy. Dengan demikian saat ini telah terjadi penyempitan makna Batuwangi sebagai nama tempat.
Sesuai tempatnya, maka yang seharusnya disebut masyarakat Batuwangi adalah mereka yang tinggal di tanah tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya di atas tanah tersebut hanya ada sebuah makam keramat yaitu makam Batuwangi. Selain itu ada juga sebuah bangunan tempat tawasul di depan makam, sebuah sumur, sebuah kamar mandi dan sebuah mushola. Sisanya hanya belantara yang ditumbuhi pepohonan tua dan rumpun-rumpun bambu yang tak terganggu. Hanya kuncen yang secara teratur datang ke tempat itu. Sementara itu pada bulan-bulan tertentu banyak juga peziarah yang datang setiap tahunnya.
Jadi perlu ditekankan di sini bahwa yang dimaksud dengan masyarakat Batuwangi adalah mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan Eyang Ragabaya Maragahiang Bayu Prabu Sangadipati Bin Guru Gantangan (Eyang Batuwangi). Menurut Koentjaraningrat (2002: 123-124) hubungan kekerabatan ditentukan oleh adanya hubungan darah (sebenarnya gen) yang dihubungkan baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Prinsip kekerabatan masyarakat Batuwangi diikat oleh kesadaran akan hubungan kekerabatan. Berdasarkan hubungan inilah mereka secara selektif memiliki hak dan kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban tersebut pada masyarakat Batuwangi diwujudkan dengan adanya beberapa norma sosial yang harus diikuti oleh anggotanya. Norma-norma sosial tersebut tercermin dalam mitos-mitos yang berlaku di masyarakat berkenaan dengan CCB, larangan-larangan melakukan sesuatu, serta kegiatan-kegiatan ritual tertentu yang biasa dilakukan oleh masyarakat.
Kita juga tidak bisa mengabaikan peran sentral seorang kuncen pada masyarakat Batuwangi. Ia dianggap sebagai orang terpercaya sebagai keturunan asli Eyang Batuwangi. Tugas sebagai kuncen ini didapatkan secara turun temurun. Bila seorang kuncen tidak mempunyai keturunan, maka tugasnya diberikan kepada adik atau kakaknya, ataupun anak dari saudaranya tersebut. Sebagai juru kunci makam, ia tidak hanya bertanggungjawab untuk mengurus makam dan membantu orang yang akan berziarah. Ia juga yang merawat barang-barang peninggalan Batuwangi. Beberapa peninggalan berbentuk senjata pusaka. Ia juga menyimpan naskah Punika Ikilah Sajarah Batara Terus Bawa yang berisi silsilah dan kisah Batuwangi. Hanya kuncen yang boleh membaca naskah ini setiap tanggal 14 maulud pada acara Hajat Maulud.
Selain itu, kuncen bagi masyarakat Batuwangi juga berfungsi sebagai pemimpin spiritual mereka. Di samping ulama sebagai pemuka agama Islam, kuncen juga biasa memimpin doa, terutama yang berhubungan dengan ritual yang berhubungan dengan Batuwangi. Selain itu, kuncen juga sering kali berperan sebagai orang pintar yang menjadi tumpuan banyak orang. Kuncen sebagai satu-satunya orang yang memegang otoritas makam dipercaya mampu mengantarkan kehendak orang yang mempunyai maksud tertentu untuk mendapatkan karomah Eyang Batuwangi. Buktinya, sering ada masyarakat yang datang untuk berobat dari sakit, ingin naik jabatan, ingin sukses berdagang, dan lain-lain.
Singkatnya, masyarakat Batuwangi merupakan prototipe masyarakat Indonesia pada umumnya sebagai masyarakat tradisional, masyarakat religius atau menurut Finnegan, masyarakat primitif atau masyarakat nonindustri. masyarakat seperti ini memliliki ciri-ciri: hidup dalam skala kecil yang homogen, mengutamakan kelisanan daripada keberaksaraan, komunal, didominasi oleh religi dan nilai-nilai tradisi dan lebih dekat dengan alam, serta jauh dari sentuhan teknologi (Finnegan dalam Hutomo, 1991: 20). Ciri-ciri ketradisionalan mereka memang tidak dapat dilihat secara kontras dari tingkat ekonomi, teknologi yang dipakai, maupun tingkat pendidikan formal. Ciri-ciri ketradisionalan mereka merupakan manifestasi dari pola pikir sebagai masyarakat religius, sakral, bahkan animis.
Sebagai masyarakat religius, masyarakat Batuwangi memiliki identitas tersendiri yang khas dan sampai saat ini masih berlaku di masyarakat. Identitas tersebut tercermin dari berlakunya larangan larangan tertentu, ajaran-ajaran tertentu dan sebagainya. Namun demikian, pengaruh dari luar sedikit demi sedikit telah melunturkan beberapa norma tersebut. Sehingga saat ini ada beberapa norma yang berlaku sangat ketat dan menyeluruh, dan ada juga yang tidak begitu ketat atau hanya berlaku pada sebagian kecil dari mereka. Norma-norma yang dihasilkan oleh CCB tersebut adalah sebagai berikut.


5.2.1.1 Asihan Batuwangi
Asihan adalah bentuk mantra Sunda yang digunakan untuk menguasai sukma orang lain supaya menyayangi orang yang menggunakan asihan tersebut (Rusyana, 1970:11). Masyarakat Batuwangi mengenal sebuah asihan yang disebut Asihan Batuwangi. Sebenarnya masyarakat mengenal juga bentuk-bentuk asihan yang lainnya, namun hanya Asihan Batuwangi yang berkaitan dengan Batuwangi. Para orang tua akan mewariskan asihan ini kepada anak-anaknya yang telah baligh. Jadi asihan ini tidak bisa diturunkan kepada sembarang orang, dengan kata lain asihan Batuwangi hanya berlaku untuk masyarakat Batuwangi.
Masyarakat Batuawangi mengenal berbagai asihan. Asihan batuwangi adalah yang paling penting. Menurut mereka asihan ini merupakan bekal hidup yang sangat penting. Dengan menguasai asihan ini, mereka yakin akan selalu “dilindungi” dan akan mendapatkan kasih sayang dari orang lain. Dalam sebuah pembicaraan dengan nara sumber terungkap sebagai berikut.

…kapungkur tataros ka sepuh weh kitu, ka Uwa Kiyai Sepuh weh kitu ti Samping Hilir. Cepeng heula weh cenah elmuna Batuwangi, jung Maneh rek meuntas lautan oge. Da karaos: diturut ku jalema, kitu (TW-3).


Selain dipercaya memiliki fungsi magis, asihan ini pun tidak sembarangan diturunkan, serta tidak sembarangan boleh diketahui olrh seseorang. Dari konteks penuturan wawancara 3 dapat diambil kesimpulan bahwa asihan Batuwangi bagi pemiliknya bersifat sakral. “… kieu geura nya, tapi punten ah da sanes heureuy. Ieu mah putra ayeuna naroskeun bade diwartoskeun bae da moal hade disumputkeun. Mudah-mudahan ngijinkeu (TW 3). Pada saat itu penutur meminta izin kepada Eyang untuk membacakan asihanBatuwangi yang ia kuasai..
Akan tetapi, karena asihan ini diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi, maka timbul varian-varian yang berbeda. Jadi ada beberapa kata atau bagian asihan yang tidak persis sama dari tiap-tiap pemiliknya. Meskipun demikian masyarakat tidak mempersoalkan perbedaan bentuk asihan ini. Semuanya dikembalikan kepada individu yang menggunakannya. Terkadang muncul anggapan bahwa banyak di antara mereka telah kehilangan kebatuwangiannya karena jalan hidup yang ditempuhnya salah. Berikut adalah contoh asihan Batuwangi yang didapatkan dari Aki Nana (86 tahun) dan Aki Suha (78 tahun), keduanya adalah nara sumber.

a. Los leumpang tiheula
ear nu ceurik nuturkeun pandeuri
asupkeun ka bumi weuteuh
rancamaya payung buana
asihan Sangga Buana
mangka tumurun tumeka
maring seuweu putu
marajahyang ing Batruwangi
rahayu kinasihan

b tumika kinasihan Batuwangi
allohuma payung agung sanggabuana
asihan sangadipati
ingsun seuweu putu kangjeng
susunan Marajahiyang Bayu
nam lalo leumpang tiheula
ear nu ceurik nuturkeun pandeuri
antosan di bumi weuteuh
rancamaya nu gaduh asihan sanggabuana


5.2.1.2 Cadu Ngadahar Hulu Hayam
Cadu memakan kepala ayam merupakan dampak dari kejadian dalam C-2. Pantangan yang sekilas sangat sepele ini bagi masyarakat Batuwangi berlaku dengan ketat. Pada bulan Zulhijjah atau bulan haji misalnya, kita akan melihat fenomena di desa-desa sekitar Batuwangi. Pada bulan ini bisaanya banyak terjadi hajatan pernikahan maupun khitanan. Banyak ayam yang dipotong, maka kita bisa melihat kepala ayam bergelimpangan di kolam ikan. Mereka benar-benar tidak memakan kepala ayam, bahkan tidak pula menyertakannya dalam masakan. Dalam keadaan apapun mereka akan mengatakan “cadu” makan kepala ayam.
Kalangan ulama banyak yang mengeritik sikap masyarakat seperti ini. Menurut para ulama tidak baik mengharamkan sesuatu yang halal. Akan tetapi dengan tegas mereka membantah bahwa bagi mereka kepala ayam bukan haram melainkan hanya pantangan saja. “Janten sanes haram, tapi cadu. Cadu kana mastaka hayam, margi kapungkur nuju oleng panganten putrana…” (TW 4). Bila pantangan itu dilanggar, mereka percaya bahwa yang bersangkutan akan mendapat bencana atau bahaya. Kejadian tersebut bisa berupa datangnya penyakit, kecelakaan atau kesialan lainnya.
Di sisi lain, pantangan ini memiliki nilai simbolik yang sangat berarti bagi solidaritas masyarakat Batuwangi. Hal ini tampak pada kutipan wawancara dengan kuncen Batuwangi berikut.
Janten cadu kana hulu hayam teh ulah silih pacok sareng dulur, silih bintih sareng dulur, kudu rapih jeung dulur, nanging da eta, janten eta teh maknaaneun. Aya amanat ka abdi oge kitu. Ulah silih pacok jeung dulur, eureunan urang teh. Cadu kana hulu hayam sabab hayam mah sok silih pacok jeung dulur. Ari bangsa urang, dulur jeung dulur teh silih bintih (TW 4).
Jadi, larangan memakan kepala ayam bagi masyarakat Batuwangi merupakan sebuah mitos yang mempunyai makna. Dalam hal ini masyarakat Batuwangi mematuhi mitos dengan tidak memakan kepala ayam, sekaligus selalu mengusahakan tercapainya makna dari mitos tersebut. Oleh karena itu rasa persaudaraan masyarakat Batuwangi tetap solid meskipun mereka tinggal berjauhan dan tidak saling mengenal.

5.2.1.3 Cadu Beunghar
Sebagian orang beranggapan bahwa dulunya Eyang Batuwangi pernah bekerja sebagai kamasan (tukang membuat perhiasan emas). Dalam pembacaan naskah memang disebutkan “Lawas-lawas mulih ka Batuwangi. Embah Demang Genjreng Kamasan sumping ka Batuwangi” (TPN). Ia mempunyai banyak harta kekayaan. Karena kebaikannya, ia terbuka pada siapapun yang membutuhkan pertolongannya. Pada waktu itu banyak orang yang datang ke rumahnya untuk meminjam beras atau uang. Batuwangi memang memberikan pinjaman, tapi karena terlalu banyaknya orang yang bergantian meminta pinjaman dan banyak yang tidak membayar, ia menjadi jengkel, maka keluarlah serapah “cadu beunghar”
Akan tetapi kuncen mengklarifikasi anggapan sebagian masyarakat tersebut. Menurutnya kejadian seperti itu memang pernah terjadi tapi yang melakukannya bukan Batuwangi melainkan anaknya yang bernama Pada Beunghar. Jadi bila sumpah serapahnya itu berlaku, maka yang pantang kaya itu hanya keturunan Batuwangi dari anaknya yang bernama Pada Beunghar tersebut.

Eta teh kieu, sanes Batu Wangi eta mah. Cadu beunghar, cadu panjang rambut. Putrana teh Eyang Wira, anu dimakamkeun di Pada beunghar, karamat Pada beunghar: Wira Tanubaya. Di palih dinya, Pada Beunghar. Kumargi beunghar ku putra, beunghar ku harta, teu kaur meuneutkeun panto anu beunghar mah. Janten cape weh. Cadu! Cadu beunghar, sanes Batu Wangi (TW-4).


5.2.1.4 Cadu Panjang Buuk
Pantangan ini tidak berlaku secara ketat pada wanita Batuwangi saat ini. Pantangan ini didasarkan pada sebuah cerita tentang salah seorang anak perempuan Batuwangi. Batuwangi mempunyai seorang putri yang sangat cantik dan mempunyai rambut sangat panjang sampai tumit. “Cadu rambut panjang mah saurna nuju moe rambut.Muhun, putri. Kakojot ku kuda samparani. Kagusur dugi ka tewas” (TW-4). Putri tersebut pada suatu hari sedang menyisir rambutnya di halaman. Rambutnya yang terurai panjang tiba-tiba tersangkut pada kaki seekor kuda (ada juga yang mengatakan rusa) yang sedang berlari. Akhirnya sang putri terseret hingga tewas. Sejak saat itulah konon Eyang Batuwangi melarang keturunannya untuk berambut panjang.

5.2.1.5 Cadu Geulis
Pantang cantik ini diartikan sebagai larangan untuk bersolek (menggunakan make up) secara berlebihan bagi wanita Batuwangi. Namun karena batas-batas bersolek yang berlebihan ini tidak jelas, maka saat ini wanita Batuwangi sulit dibedakan dari masyarakat lainnya.

Identitas yang masih mencirikan masyarakat Batuwangi secara ketat di antaranya adalah Asihan Batuwangi dan larangan memakan kepala ayam. Sementara itu aturan lainnya yang berupa pantangan-pantangan di atas tidak berlaku secara ketat dan tidak menyeluruh di masyarakat Batuwangi. Hal ini diakibatkan dinamika perubahan sosial masyarakat. Selain itu, aturan yang lambat laun menjadi longgar tersebut memang tidak berdasarkan sebuah cerita, tetapi hanya berupa anggapan masyarakat saja.

5.2.3 Membentuk Pandangan dan Kepribadian Masyarakat Batuwangi
Dari uraian sebelumnya ditemukan beberapa norma yang menjadi identitas masyarakat Batuwangi. Mereka memiliki asihan Batuwangi, juga memiliki beberapa pantangan di antaranya pantang memakan kepala ayam, pantang kaya, pantang berambut panjang, dan pantang bersolek. Dengan identitas tersebut kita bisa sedikit memahami masyarakat Batuwangi. Identitas tersebut dapat menumbuhkan solidaritas dan rasa persaudaraan yang tinggi antar anggota masyarakat Batuwangi. Lebih jauh lagi ternyata identitas tersebut memberi pengaruh besar terhadap paradigma sosial masyarakat Batuwangi.
Menurut masyarakat Batuwangi pengamalan asihan akan mendatangkan perlindungan di dalam dan kejayaan di luar asalkan asihan ini dibawa dalam jalan kebenaran. Yang dimaksud dengan perlindungan di dalam adalah seseorang akan dilindungi dalam segala hal selama ia tinggal di wilayah dalam. Beberapa narasumber memberikan batas-batas wilayah luar dan wilayah dalam. Batas tersebut adalah tempat (desa atau kampung) yang bernama Pamegatan.

Malahan ceuk urang dieu, ah da ieu mah urang Pamegatan. Mun indit ka dieu, ari didieu mah ngan ukur dilindungi, tapi datang ka ditu bakal aya rahayu kinasihan. Lamun geus liwat Pamegatan ka ditu, geus weh tamplok kabeh kadeudeuhna, kanyaahna ka urang (TW 1).



Menurut mereka di setiap arah mata angin akan ditemukan nama Pamegatan. Memang penulis mengetahui beberapa tempat-tempat tersebut di antaranya di perbatasan Banjarwangi-Cikajang (ini berarti sebelah Barat), di sebelah utara Singajaya, dan sebelah selatan di Pameungpeuk. Anggapan seperti ini memberi pengaruh yang signifikan. Di dalam lingkungannya mereka sangat solid dan tampak kesetaraan dalam lingkungan sosial. Mereka menjalin persaudaraan dengan erat. Mereka juga saling mengenal satu sama lain meskipun jarak yang memisahkan tempat tinggal mereka cukup jauh.
Bila seseorang telah keluar dalam arti menetap di wilayah luar batas yang telah ditentukan, maka ia akan mendapat kejayaan atau menurut istilah mereka rahayu kinasihan. Di luar ia akan sejahtera dan mendapatkan kepercayaan dan kasih sayang dari setiap orang. Akibatnya banyak anggota masyarakat yang merantau ke wilayah luar untuk berdagang, kerja bangunan atau pekerjaan lainnya. Biasanya mereka pergi ke kota besar seperti Jakarta ataupun Bandung. Penghasilannya memang relatif, tetapi ada selalu cerita tentang kesuksesan atau keunggulan yang mereka bawa. Di rantau ia merasa dipercaya dan dikasihi oleh banyak orang, sementara keluarga yang ditinggalkan biasanya menceritakan kesuksesan-kesuksesan yang diraih oleh orang tersebut.
Sementara itu pantangan untuk menjadi kaya bagi sebagian orang tidak menjadikannya merasa nyaman. Pantang menjadi kaya tidak hanya diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak boleh terjadi, tetapi juga tidak mungkin terjadi. Padahal kaya atau tidaknya seseorang ditentukan oleh Tuhan dan kesadarannya untuk berikhtiar. Kesadaran inilah yang melunturkan pantangan menjadi kaya sehingga sebagian besar masyarakat tidak lagi memercayai pantangan ini.
Perlu diperhatikan juga bahwa masyarakat Batuwangi tetap mempertahankan nilai-nilai Budaya yang memang tidak dilarang oleh Eyang Batuwangi. Misal tradisi pernikahan dengan acara huap lingkung. Meskipun acara ini telah menimbulkan prahara yang merenggut nyawa putra-putranya, Eyang Batuwangi tidak lantas melarang acara huap lingkung yang memang syarat nilai simbolik bagi kehidupan rumah tangga.
Di sisi lain CCB juga menolak nilai nilai budaya yang tidak relevan menurut ajaran agama maupun nilai-nilai kebenaran. Dalam hal ini dapat dicontohkan melalui kebijakan Eyang Batuwangi dalam C-2. ia mengixinkan anak perempuannya menikah lebih dulu daripada kakak laki-lakinya. Padahal masyarakat sering menganggap tindakan ngarunghal tersebut sebagi perbuatan yang negatif.


5.2.4 Menyebarkan Kaidah Ritual
Ritual merupakan kata sifat atau adjektiva yang merngandung makna berkenaan dengan ritus. Ritus dapat diartikan sebagai tata cara dalam ritual upacara keagamaan (Tarno dkk, 2000: 5). Lebih lanjut Sutarto memberikan pengertian bahwa ritual berarti kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang dan obsesif, dan seringkali merupakan dramatisasi simbolis dari kebutuhan masyarakat yang mendasar, apakah itu kebutuhan ekonomi, biologis, sosial, atau seksual (Sutarto, 1991: 16).
Sebuah ritual dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya karena merupakan warisan dari leluhur, itu artinya otoritas yang memerintahkan ritual ini sama dengan otoritas yang dimiliki tradisi, yang tentu saja bersifat sosial. Ritus-ritus ini dilaksanakan demi memelihara hubungan dengan masa lalu dan melestarikan identitas moral kelompok, bukan karena ada tujuan atau dampak fisikal yang ingin dicapai (Durkheim, terjemahan Muzir, 2005: 533)
Masyarakat Batuwangi melakukan beberapa ritual yang rutin dilakukan. Ritual yang utama adalah ziarah kubur di makam Batuwangi, ritual pembacaan naskah Punika Ikilah Sajarah Batara Terus Bawa, serta ritual ngalungsur atau mencuci senjata pusaka Eyang Batuwangi. Ketiga ritual ini dilakukan dalam rangkaian acara Hajat Mulud secara rutin setiap tanggal 13-14 Rabbiul Awal atau bulan Mulud, kecuali ritual ziarah kubur yang sebenarnya dapat dilakukan kapan saja selain pada bulan Ramadhan dan bulan Shafar.

5.2.4.1 Ritual Ziarah Kubur di Makam Batuwangi
Makam keramat sering diziarahi oleh berbagai lapisan masyarakat karena makam tersebut dianggap tempat keramat. Tempat keramat adalah ruang yang suci, di mana ada ritual-ritual tertentu untuk dapat memasukinya. Sebagai tempat suci, makam keramat memiliki batas-batas keramat. Dalam hal ini istilah tempat keramat dapat disamakan dengan istilah tempat atau ruang sakral. Manusia religius memandang ruang tidak homogen. Ruang sakral mengalami interupsi, perubahan di dalamnya, serta ada beberapa ruang yang secara kualitatif berbeda dari yang lain (Eliade, 2002: 13).
Masyarakat pada umumnya berkeyakinan bahwa tak lama setelah orang meninggal, jiwanya akan berubah menjadi mahluk halus (roh) yang selanjutnya roh halus tersebut berada di sekitar ahli waris (Endraswara, 2004: 30). Anggapan seperti inilah yang melatar belakangi ritual ziarah kubur di makam Batuwangi. Eyang batuwangi dianggap sebagai penyebar Islam bahkan diyakini sebagai seorang wali oleh masyarakat. Dengan mendatangi makamnya, masyarakat percaya akan mendapatkan keramat. Dalam hal ini, istilah keramat sesuai dengan asal katanya (Arab: karomah), yang berarti berkah atau kasih sayang.
Masyarakat mengetahui berbagai hal tentang Eyang Batuwangi terutama berkaitan dengan makam yang mereka Ziarahi berdasarkan CCB. Kehidupan masa lalu Eyang Batuwangi yang tergambar dalam CCB menjadikan tokoh ini dikeramatkan. Ritual ziarah kubur yang dilakukan oleh masyarakat pada saat ini seakan mengaktualisasikan kembali kejadian-kejadian yang terjadi di masa lampau. Hal ini penting karena bagi masyarakat religius, seluruh ritual merupakan perayaan atau peringatan. Oleh karena itu memori yang direaktualisasikan memainkan sebuah peranan yang menentukan (Eliade, 2002: 102).
Salah satu dasar keyakinan masyarakat untuk melakukan ziarah kubur ke makam Eyang Batuwangi adalah peristiwa yang dikisahkan dalam C-4. sebagai seorang wali, Eyang Batuwangi telah ma’rifat atau dekat dengan Yang Maha Kuasa, sehingga doanya mudah dikabulkan. Oleh karena itu, ada baiknya berdoa pun dilaksanakan di tempat yang dirahmati oleh-Nya, yaitu makam Eyang Batuwangi. Hal ini diungkapkan sebagai berikut.

Mantena mah tos caket ka Allah. Ma’rifat ka Allah, waliyullah, kakasihna Gusti Allah, tiasa diizabah. Numawi dina ziarah oge ngadua di tempat anu dimulyakeun ku Allah (paragraf 2)

5.2.4.2 Ritual Pembacaan Naskah Punika Ikilah Sajarah Batara Terus Bawa
Menurut kuncen, naskah ini sekarang sudah tidak utuh lagi. Sebagian naskah telah hilang. Sementara itu, sepenggal naskah yang tersisa kini disimpan baik-baik di rumah kuncen.

Eta teh kieu, riwayat eta kapungkur teh, ku pun Bapa teh nu aslina disalin, taun 55 panginten waktos nyalin sajarah teh. Atuh anu aslina disimpen satoromol, sawadah kitu. Teu acan beres sadayana pun bapa teh nyalin, ti hiji dugi ka.. da acak-acakan ku pun bapa dibereskeun. Sami-sami sareng kieu nu aslina mah, acak-acakan. Koneng sapertos hanalam. Ari pun bapa pupus, ku pun Uwa dirawat. Abdi nuju alit keneh. Anu kenging nyalin mah dicandak ku abdi, anu aslina dicandak ku Uwa.Uwa Haji Syukur. Abi mah nyalametkeun anu kenging nyalin. Anu aslina mah dicandak ku Uwa di Cibogo. Wa Haji pupus, abdi sanes ninggal kana harta banda, abdi teh hak warisna, tapi eta nu diperyogikeun nu ditaroskeun. Teu aya. Duka kunu nyolong, duka ical… ah wallohu a’lam dasar sepuh (TW 4)

Naskah ini hanya dibaca satu kali dalam setahun, yakni pada dini hari.tanggal 14 Maulud. Ritual ini termasuk ke dalam rangkaian acara hajat maulud, tepatnya setelah ritual ziarah kubur selesai, barulah naskah ini dikeluarkan dan dibaca oleh kuncen di depan khalayak. Hanya kuncen yang boleh membaca naskah ini. Di dalamnya ada bagian-bagian yang dianggap papakem yang tidak boleh didengar oleh khalayak (lihat lampiran TPN).
Ternyata di dalam naskah yang berbahasa Sunda-Jawa (Cirebon) ini tidak tercantum CCB. Naskah ini hanya memuat silsilah Batuwangi serta beberapa ajian yang tidak boleh dibaca. Jadi penuturan dan pewarisan CCB hanya berlangsung secara lisan, bukan tulisan.
Pembacaan naskah ini merupakan sebuah ritual yang sangat sakral. Selain ada beberapa bagian naskah yang benar-benar tidak boleh diketahui oleh orang lain selain kuncen, naskah ini tidak boleh diambil gambarnya. Selain itu, pada saat pembacaan naskah berlangsung, berbagai makanan sebagai sesaji dihadirkan di depan khalayak. Makanan ini terdiri atas nasi rawon, opor ayam dan ayam bakar (tentunya tanpa kepala), telur ayam, telur bebek, dan sayur-sayuran. Selain itu terdapat juga opak, ranginang, dan wajit.





5.2.4.3 Ritual Ngalungsur
Ngalungsur berarti menurunkan, atau mengeluarkan. Maksudnya, sebuah duhung atau senjata pusaka peninggalan Eyang Batuwangi dikeluarkan dan dicuci pada tanggal 14 Rabiul awal, setelah ziarah kedua yang dilakukan pagi hari. Senjata ini berbentuk sebilah keris bermata dua dengan panjang sekitar 30 cm, bergagang kayu bentuk burung garuda, dan bertahtakan empat butir permata (sekarang tinggal satu). Namun sayang sekali senjata ini pun tidak boleh diambil gambarnya.
Sebelum dan sesudah dicuci tanggal 14 Maulud, keris ini dibungkus dengan kain putih lalu diikat dengan tujuh ikatan. Kemudian keris disimpan di dalam sebuah peti di dalam kamar sebuah rumah khusus milik kuncen. Selain pada saat pencucian, keris ini tidak boleh disentuh dan dibuka.
Seluruh ritual ini dilakukan oleh kuncen dengan dibantu oleh anak laki-lakinya. Keris dikeluarkan dari peti, dibuka dari bungkusan kain, kemudian dengan doa-doa tertentu keris dikeluarkan dari bungkusnya. Sementara itu telah tersedia satu nampan air berisi bunga tujuh rupa dan jeruk yang dibelah-belah. keris dicuci oleh kuncen dengan air kembang dan jeruk ini. Setelah cukup bersih, kemudian diseka dengan kapas lalu dikeringkan. Setelah kering keris dimasukkan kembali ke dalam bungkusnya, diselimuti kain putih, diikat, dan kembali dimasukkan ke dalam peti.
Ada dua hal yang memaknai ritual ini. Pertama, setiap keganjilan yang muncul dalam ritual dianggap pertanda yang menunjukkan kejadian yang akan menimpa bangsa ini. Misal, pada pencucian tahun ini. Sebelum keris dicuci, salah satu tali pengikat lawon pembungkus bagian bawah ada yang lepas. Hal ini segera diumumkan oleh kuncen bahwa keganjilan ini berarti akan ada banyak prahara menimpa masyarakat kalangan bawah. Begitulah masyarakat, khususnya kuncen memaknai segala keganjilan yang menimpa keris dikaitkan dengan keadaan bangsa ini setiap tahunnya.
Kedua, air sisa mencuci senjata ini dibagi-bagikan kepada masyarakat yang hadir dalam ritual. Sebagian menggunakannya langsung di tempat: ada yang mencuci wajahnya, membasahi kepalanya, mencuci matanya, dan ada pula yang meminumnya. Sisanya dibawa dengan menggunakan botol ke rumah masing-masing. Air yang tersisa kemudian digunakan untuk mencuci barang yang lain-lain. pada saat ritual, banyak masyarakat yang juga membawa barang-barang pusaka seperti keris, pedang, golok, batu ali, bahkan tusuk konde.
Ketiga ritual tersebut dilakukan dalam sebuah rangkaian acara hajat Maulud setiap tanggal 14 Rabbiul Awal. Selain berfungsi untuk mengaktualkan kembali peristiwa masa lalu, masyarakat meyakini akan adanya berkah yang akan mereka terima dengan melibatkan diri dalam berbagai ritual tersebut. Oleh karena itu, banyak kalangan masyarakat yang datang dan mengikuti ritual dengan mambawa maksud dan tujuan tertentu. Biasanya, pejabat yang ingin naik pangkat, pedagang yang ingin berkembang, orang yang sakit ingin sembuh, yang belum menikah ingin segera mendapatkan jodoh, dan sebagainya sering terlibat dalam berbagai ritual tersebut. Alasan mereka satu, yaitu dengan berdoa di tempat keramat, berarti mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa dengan media Eyang Batuwangi.

5.3 Hasil Analisis Konteks Penceritaan dan Fungsi Sosial
CCB sebagai sebuah sastra lisan yang berupa legenda tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pemiliknya. CCB lahir, berkembang dan tetap dipertahankan oleh masyarakat Batuwangi. Oleh karena itu, CCB selalu mengungkapkan berbagai hal yang tidak jauh dari kehidupan mereka. Hal ini tampak dari konteks penceritaan CCB yang meliputi lingkungan penceritaan dan situasi penceritaan. Apabila kita melihat lingkungan penceritaannya maka CCB pun dapat dikategorikan sebagai legenda perseorangan yang selalu menampilkan seorang tokoh yang sama, yaitu Eyang Batuwangi. Di sisi lain, dapat juga dikategorikan sebagai legenda lokal yang selalu mengungkapkan setting daerah asli sekitar Batuwangi.
Dalam keterkaitan yang erat antara cerita dengan pemiliknya ini, CCB juga mempunyai fungsi yang signifikan yang tampak dalam kehidupan masyarakatnya. CCB telah membentuk identitas dan mendasari tatanan sosial masyarakat Batuwangi, membentuk pandangan dan kepribadian masyarakat, terutama berkaitan dengan asihan Batuwangi dan aturan-aturan adat, serta pengaruh aturan-aturan tersebut bagi kehidupan masyarakat. Terakhir, CCB pun mendasari serta menyebarkan kaidah ritual ziarah kubur, pembacaan naskah Punika Ikilah Sajarah Batara Terus Bawa, serta ritual pencucian duhung ­atau keris pusaka peninggalan Eyang Batuwangi.

bab 4

BAB IV
ANALISIS STRUKTUR

4.1 Analisis Struktur Cerita 1 (C-1)
4.1.1 Teks C-1
Kieu ari anu katampi ku aki mah. Eyang Batuwangi teh putrana Batara Terus Bawa anu katutuh ti istri. Jadi raina, saderekna teh Mbah Tanjung anu di Bojong. Tah eta pang ageungna teh. Tah hiji waktos anu katampi ku aki mah, kapungkur teh aya anu ngalalana cenah ka dieu teh, Dipati Ukur bade ngarebut nagara. Masalahan di Gunung Lumbung. Tah dinya kulantaran duka kunaon atuh, da ngaratu teh ka Sukapura kapungkur mah. Di dieu teh malah panghuluna teh kapan buyut aki, nya. Ibuna ibu Murnah, Eyang Nurwajan panghuluna teh. Tilu bulan di Tasik, di Sukapura, tilu bulan di Pakemitan, Banjarwangi.
Nya sayembara di dinya teh. Anu katampi ku aki ti Pun Aki teh nya, Eyang Muhammad Aleh, ajengan di dieu baheula. Sayembara di ditu. Nya Eyang Surapati anu ti dieu teh kaditu. Nya tilu belas jalmi anu nuju di dinya teh. Saur Eyang Surapati teh, “moal aya anu meunangkeun deui iwalti menak Batuwangi”.
Tah anu katampi ku aki sajarahna. “Ayeuna mah Menak Batuwangi ondang weh ka dieu, ka Sukapura.”
“Tah Gusti, abdi teh wantun henteu, teu wantun henteu. Kumargi abdi teu acan berpengalaman, namung abdi teh ngawasa, tiasa. Tapi da teu acan diangge mah da teu terang.”
Masalahan di Gunung Lumbung. Ti Gunung Lumbung ti ditu, Dipati Ukur mentangkeunana pangaji, naon pangarti. Tah kulantaran ilmu panemu teu matih teu asup ka Eyang Batuwangi, teu disinghareupan di ditu, aya munding cenah gigireunana teh, aya munding weh kitu. Di cokot cenah munding teh, pangheulana munding bikang ku Dipati Ukur teh di palempengkeun ti gunung Lumbung ka Ciudian weh kitu. Ka Ciudian. Aya makamna engke. Engke kapanggih lamun bener geus hayang ceuk paribasana sampeur aki urang jarahan. Dipalempengkeun, sedeng rek nepi ka makamna atawa ka gedongna, teu acan pupus Batuwangi, mengpar. Disebut weh ayeuna jadi gunung, gunung Munding Bikang. Tapi kulantaran helok kitu nya, naha asa kacida-kacida teuing. Aya keneh hiji deui jaluna, cokot, dipalempengkeun deui. Dek nepi, mengpar deui weh kaditu, cle! Jadi ngarendeng weh ayeuna dua, antara tonggoheun Limus Tilu. Tonggoheun Limus Tilu aya gunung, Munding Bikang jeung Munding Jalu, batu.*
“Ayeuna mah nyerahkeun weh ka Raden.” Anjeuna angkat ka luhur, nya anjeuna teh hiber. Ana hiber ka gunung Tikukur, Bandung. Numawi perah keris teh jiga manuk tikukur di dieu teh. Kitu asalna teh. Tuluy ka ditu. Atuh udag weh ku anjeunana. Nya di jalan teh cenah aya nu keur calik di dinya.



*Paragraf 5 diambil dari wawancara 1
“Bade ka mana, Eyang?”
“Eyang teh bade ngala Dipati Ukur ka Bandung, ayeuna di gunung Tikukur. Maneh mun dibawa ayeuna daek?”
“Mangga”
“Ngan maneh diganti ngaran, ayeuna Wira Dadakan.”
Terus cenah ka Bandung. Dugi ka Bandung teh, angkat weh ka lurah. “Lurah, Dipati Ukur rek ngarebut nagara, ayeuna aya di Gunung Tikukur, kade eta jalema ngarti. Di dieu pek nyieun hajat sing gede, engke mun geus asak pasakan panggil Dipati Ukur ka dieu.”
Dongkap teh dipanggil ka dinya. “Aya tamu?”
“Teu aya.”
Turun weh ka dinya, gerewek weh, “Taluk ka urang, moal?” kumargi saur ieu kedah dipotong janggana, heug weh cenah dipotong. Kenging weh cenah.
“Ayeuna Wira, Maneh diganti ku urang jadi Wira Dadaha. Setorkeun ka Gusti di ditu, ieu mastaka Dipati Ukur. Urang, kumargi kagungan putra ngan hiji-hijina nu ti Pangisikan, istri. Lila kula di Bandung, ayeuna urang rek ka Batuwangi. Jig anteurkeun ka ditu!”
Ari dongkap ka ditu,
“Ka mana Raden?”
“Teu aya, puput di pangperangan.”
“Ku saha beunangna?”
“Ieu teh ku Abdi.”
“Ayeuna mah kulantaran di dieu Ratu geus wakca ka Raden, sing saha nu meunangkeun Dipati Ukur, eta dijieun ratu.”
Jleg weh mun jadi raja tea mah jadi raja. Tah Eyang lunggang-linggung sumping ka ditu. Ana sumping anjeuna teh teu sumping ka karaton, tapi ka kantor di Sukapura. Ka gedong kapungkur mah. Mangpuluh-puluh juru silat cenah kadinya, atuh paburantak teu tiasa lebet. Tah sumping weh raja sepuh.
“Oh geuning Raden, yeuh! Raden ayeuna mah nyanggakeun weh ka Raden.”
Nya saurna kieu, “Ama, abdi mah moal nganyenyeri batur, da abdi oge ayeuna nyeri, ngan sakieu weh ayeuna mah, pek weh tuluykeun ku maneh, karunya. Ngan rek nyirian, hiji ulah awet jeneng, dua ulah boga turunan”
Kitu tah sajarah anu katampi ku aki mah (TW 5).

4.1.2 Terjemahan C-1
Yang kakek terima begini, Eyang Batuwangi adalah putra dari Batara Terus Bawa dari seorang istrinya. Adiknya adalah Mbah Tanjung di Bojong. Dialah yang paling besar. Nah pada suatu hari, yang kakek terima, ada yang mengembara ke sini, yaitu Dipati Ukur. Mau merebut kekuasaan negara. Terjadilah masalah di Gunung Lumbung. Nah di sana, entah kenapa, sebab waktu itu daerah di sini mengabdi ke Sukapura. Malah di sini yang menjadi penghulu adalah kakek buyut saya sendiri, ibunya Ibu Murnah, Eyang Nurwajan namanya. Tiga bulan di Tasik, di Sukapura, tiga bulan di Pakemitan, Banjarwangi.
Diadakanlah sayembara, yang kakek terima dari kakek saya, Eyang Muhammad Aleh, ulama di sini zaman dulu. Sayembara di sana. Lalu Eyang Surapati dari sini datang ke sana. Di sana sudah ada tiga belas orang. Kata Eyang Surapati, “tidak ada lagi yang mampu memenangkannya kecuali penguasa dari Batuwangi.”
Nah menurut cerita yang Kakek terima, “sekarang undanglah penguasa Batuwangi itu ke sini, ke Sukapura.”
“Gusti, hamba merasa sanggup tak sanggup, sebab hamba belum berpengalaman. Tapi hamba tetap merasa mampu. Karena belum dibuktikan, jadi tidak tahu.”
Terjadi sengketa di Gunung Lumbung. dari Gunung Lumbung, Dipati Ukur mengerahkan ilmu kesaktiannya. Nah karena segala kesaktiannya tak dapat menembus Eyang Batuwangi, tidak dihadapi di sana. Di sampingnya ada kerbau. Diambilnyalah kerbau itu. Yang pertama diambil dan dilemparkan dari Gunung Lumbung ke Ciudian oleh Dipati Ukur adalah kerbau betina. Di sana ada makamnya. Nanti dapat ditemui. Kalau mau, jemput saya, kita ziarahi. Dilemparkan, begitu akan sampai ke makamnya atau ke gedongna, belum meninggal Batuwangi, meleset. Jadilah gunung, gunung Munding Bikang. Akan tetapi, karena heran, “keterlaluan”, katanya. Masih ada seekor lagi, yang jantan, diambil lagi, dilemparkan lagi. Begitu akan sampai, meleset lagi. “Cle”, jadi dua-duanya sekarang bersanding di dekat Limus Tilu. Di dekat Limus Tilu ada dua ekor kerbau, jantan dan betina, wujudnya batu.
“Sekarang terserah Raden” Beliau terbang ke angkasa. Terbanglah ke gunung Tikukur, Bandung. Makanya gagang keris yang ada di sini bentuknya seperti burung tekukur. Begitulah asalnya. Terus ke sana dikejar oleh Beliau. Kemudian di perjalanan ada seseorang yang sedang duduk.
“Mau ke mana, Eyang?”
“Saya akan mengejar Dipati Ukur ke Bandung. Sekarang di Gunung Tikukur. Kalau saya bawa kamu sekarang bersedia?”
“Baiklah”
“Tapi sebelumnya saya ganti namamu menjadi Wira Dadakan”
Teruslah ke Bandung. Sesampainya di Bandung, pergilah beliau menemui lurah. “Lurah, Dipati Ukur akan memberontak pada negara, sekarang ada di Gunung Tikukur, hati-hati dia orang yang pandai. Di sini buatlah pesta besar, nanti setelah masakan telah siap dihidangkan, panggil Dipati Ukur ke sini.”
Datanglah Dipati Ukur ke sana.
“Ada tamu?”
“Tidak ada.”
Turunlah ke sana, lalu disergap, “apakah kamu takluk kepadaku atau tidak?” Karena perintah raja harus dipenggal kepalanya, maka dipenggallah kepalanya. Akhirnya berhasil.
“Sekarang Wira, namamu kuganti menjadi Wira Dadaha. Serahkanlah kepala Dipati Ukur ini kepada Gusti di sana. Aku, karena hanya mempunyai satu-satunya anak dari istri di Pangisikan, seorang anak permpuan. Sudah lama aku di Bandung, sekarang aku akan ke Batuwangi dulu. Serahkanlah ke sana sendiri!
Begitu datang ke sana,
“Raden ke mana?”
“Tidak ada, sudah gugur dalam peperangan.”
“lalu siapa yang memenangkan?”
“Ini saya yang memenangkan.”
“Sekarang, karena Ratu telah berikrar kepada Raden bahwa siapa pun yang berhasil menangkap Dipati Ukur, akan dijadikan raja.”
Jadilah kalau istilahnya raja, menjadi raja. Nah Eyang datang ke sana. Beliau tidak langsung datang ke keraton, tetapi ke kantor di Sukapura. Dulu itu ke gedung. Berpuluh-puluh jagoan silat datang ke sana. Acak-acakan tidak dapat masuk. Datanglah raja sepuh
“Oh, ternyata Raden! Raden, sekarang terserah Raden.”
Beginilah jawabnya. “Tuanku, saya tidak akan menyakiti hati orang lain. Sebab hamba juga merasa sakit saat ini. Tapi beginilah sekarang,” katanya, “lanjutkan saja olehmu (wira), kasihan. tapi lihat saja cirinya, pertama kau tidak akan lama-lama berkuasa, dan kedua kau tidak akan punya keturunan.”
Begitulah sejarah yang kakek terima.

4.1.3 Latar
Latar yang dominan disebutkan pada C-1 adalah latar tempat. Pada C-1 disebutkan tempat-tempat Gunung Lumbung, Sukapura, sebuah tempat di perjalanan, Gunung Tikukur di Bandung, kediaman seorang lurah di Bandung, dan Batuwangi. Gunung Lumbung adalah sebuah gunung di Kecamatan Singajaya, tepatnya sebelah selatan Batuwangi (Desa Ciudian). Gunung Lumbung merupakan tempat pertama kali Eyang Batuwangi bertarung dengan Dipati Ukur. Penutur mengatakan “masalahan di Gunung Lumbung” (paragraf 1 dan 5).
Selain Gunung Lumbung, diceritakan juga Sukapura. Sekarang daerah ini merupakan salah satu kota kecamatan di kabupaten Tasikmalaya. Sebagian penutur yang lain (lihat lampiran transkrip wawancara) justru mengatakan latar yang sama dengan nama yang berbeda, yaitu Manonjaya. Padahal Manonjaya saat ini adalah kota kecamatan yang lain di Tasikmalaya yang jaraknya cukup jauh dari Sukapura. Dalam cerita disebutkan bahwa seorang ratu (raja atau penguasa) mengadakan sebuah sayembara untuk menangkap dan membunuh Dipati Ukur. Perlu diperhatikan bahwa daerah tersebut termasuk wilayah Galuh yang ditaklukan oleh Mataram pada tahun 1595, kemudian di bawah kerajaan Mataram, Kerajaan Galuh bersama dengan kerajaan Sumedang Larang dijadikan wilayah setingkat kabupaten yang dikepalai oleh seorang bupati (Lubis, 2003: 241). Jadi Sukapura pada C-1 adalah sebuah pars pro toto untuk sebuah kekuasaan yang membawahi daerah-daerah di Singajaya saat ini. Penutur mengatakan, “tah dinya kulantaran duka kunaon atuh, da ngaratu teh ka Sukapura kapungkur mah” (paragraf 1).
Setelah menyanggupi untuk membunuh Dipati Ukur, Batuwangi pergi mengejar Dipati Ukur. Di sebuah perjalanan dari Gunung Lumbung menuju Bandung, Eyang Batuwangi bertemu dengan Wira Dadaha. Sesampainya di Bandung, Batuwangi mendatangi kediaman seorang lurah. Di rumah lurah ini Batuwangi menunggu Dipati Ukur dengan sebuah muslihat, yaitu membuat pesta dan memanggil Dipati Ukur turun dari Gunung Tikukur. Jadi kediaman lurah ini mungkin berada di kaki gunung Tikukur.
Setelah Dipati Ukur berhasil dipenggal kepalanya, Eyang Batuwangi menyuruh Wira Dadaha menyerahkan Kepala tersebut kepada raja di Sukapura. Sedangkan Eyang Batuwangi sendiri kembali ke Batuwangi (Ciudian). Rupa-ruapanya, istilah Batuwangi sebagai nama tempat selain istilah yang dipakai sekarang oleh penutur, istilah ini juga telah berlaku saat Eyang Batuwangi masih hidup. Maka untuk membedakan istilah Batuwangi sebagai nama tokoh dan nama tempat, dalam analisis ini dan selanjutnya akan dibedakan menjadi Eyang Batuwangi sebagai nama tokoh, dan Tanah Batuwangi sebagai nama tempat.
Sementara itu, latar waktu tidak dapat dipisahkan dari latar sosial C-1. Latar waktu tidak dijelaskan melalui angka tanggal, bulan dan tahun. C-1 hanya memberikan informasi dalam kutipan berikut.
“Tah hiji waktos anu katampi ku aki mah, kapungkur teh aya anu ngalalana cenah ka dieu teh, Dipati Ukur bade ngarebut nagara. Masalahan di Gunung Lumbung. Tah dinya kulantaran duka kunaon atuh, da ngaratu teh ka Sukapura kapungkur mah. Di dieu teh malah panghuluna teh kapan buyut aki, nya. Ibuna ibu Murnah, Eyang Nurwajan panghuluna teh…” (paragraf 1).

Kata-kata yang dicetak miring pada kutipan menunjukkan latar waktu dan latar sosial masyarakat pada masa C-1. Kapungkur berarti zaman dulu atau masa lalu yang telah lama. Kata ngaratu berarti mengabdi kepada ratu, atau penguasa. Kata ini menunjukkan bahwa pada waktu itu masih berlaku sistem pemerintahan kerajaan yang dikuasai oleh seorang raja, ratu atau raja serta ratu bawahan. Panghulu atau penghulu merupakan penguasa daerah di bawah bupati. Ini pun merupakan istilah pemerintahan pada masa lalu.
Menurut catatan sejarah, Dipati Ukur diangkat menjadi wedana bupati di priangan oleh Sultan Agung pada tahun 1625. Ia diberi tugas oleh Sultan untuk menyerang Belanda di Jakarta. Penyerangan tersebut dilakukan pada tanggal 11 September 1628 dan Dipati Ukur dan pasukan Sunda yang dipimpinnya mundur dari medan perang di Jakarta. Dipati Ukur dianggap berkhianat kepada Mataram karena dianggap melarikan diri dari medan pertempuran. Akhirnya Dipati Ukur ditangkap dan dihukum mati pada tahun 1630 (Lubis, 2003: 243-244). Dengan demikian, bila C-1 dikaitkan dengan catatan sejarah tersebut maka latar waktu C-1 mungkin terjadi di antara tahun 1625-1630. Hal ini dikarenakan C-1 sama dengan catatan sejarah oleh Lubis di atas, yaitu mengisahkan penangkapan Dipati Ukur.





4.1.4 Tokoh
Tokoh-tokoh dalam C-1 antara lain sebagai berikut:
Eyang Batuwangi
Eyang Batuwangi seperti dikatakan oleh penutur adalah anak dari Batara Terus Bawa. Masyarakat percaya bahwa makam Batara Terus Bawa berada di Desa Dangiang, kecamatan Singajaya, tepatnya sekitar 5 KM dari makam Batuwangi. Sementara itu, nama Eyang Batuwangi secara lengkap dan disepakati oleh semua penutur adalah Eyang Luluhur Batuwangi Marajahiang Bayu Prabu Sangadipati bin Guru Gantangan.
Penambahan kata bin Guru Gantangan menyiratkan bahwa Eyang Batuwangi adalah anak dari Guru Gantangan. Seperti kita ketahui, Guru Gantangan adalah putra dari Prabu Siliwangi, raja Pajajaran yang terkenal (Sumarjo, 2000). Penyebutan bin Guru Gantangan ini sekaligus memberikan keragu-raguan kepada kita mengenai siapa ayah dari Eyang Batuwangi. Di lain pihak, kuncen Batuwangi mengatakan bahwa Batara Terus Bawa adalah nama lain dari Eyang Batuwangi sendiri (lihat TW4).
Eyang Batuwangi adalah orang yang cukup penting (menak) di wilayahnya. Ia juga merupakan orang yang mempunyai kesaktian yang luar biasa sehingga dipanggil untuk mengikuti sayembara. Dalam cerita dapat dilihat misalnya, Saur Eyang Surapati teh, “moal aya anu meunangkeun deui iwalti menak Batuwangi” (Paragraf 2). Selain itu, ia juga begitu dihormati dan disegani, panggilan Raden disematkan kepadanya. “Oh geuning Raden, yeuh! Raden ayeuna mah nyanggakeun weh ka Raden” (Paragraf 10).
Menurut kuncen, Batuwangi juga dikenal dengan nama-nama lain di tempat yang berbeda. Misal di Cibentang dikenal dengan nama Kyai Haji Karang Bentang, di Sirah Ciudian dikenal dengan nama Batara Terus Bawa, dan di Bojong dikenal dengan nama Rangga Buana. Hal ini dibuktikan dengan adanya petilasan pada masing-masing tempat.
Batuwangi adalah orang asli Batuwangi. Tempat ini sekarang tinggal sebidang tanah tidak lebih luas dari satu hektar di desa Ciudian. Di tengah-tengah tanah inilah makam Batuwangi berada. Kemudian Batuwangi pergi ke Mataram untuk belajar agama. Setelah cukup mapan dalam bidang agama dan kesaktian, Batuwangi kembali ke Ciudian, kemudian menikah dengan seorang putri kerajaan Galuh Pakuan yang berkedudukan di Panjalu. Putri tersebut bernama Nyi Mas Gedung Waringin. Darinya ia dikaruniai dua orang anak, masing-masing adalah Seh Keti Nurwahid yang makamnya ada di Panyalahan dan Eyang Margawangsa yang dimakamkan di Sodong Hilir.
Kemudian Batuwangi tinggal di Sumedang. Di sana ia menikah dengan Ibu Ratu Harisbaya. Ratu Harisbaya adalah saudara Panembahan Senapati, ayah Sultan Agung dari Mataram (Hardjasaputra, 2004:15). Darinya ia dikaruniai empat orang anak, namun kuncen hanya mengetahui dua diantaranya. Mereka adalah Sembah Dalem Adipati Wiranata Kusumah dan raden Wijaya Kusuma. Diterangkan bahwa Wiranata Kusumah makamnya ada di Kompleks makam Bupati Bandung (Dalem Kaum). Sedangkan Raden Wijaya Kusumah adalah yang membuat sumber air yang kini dikenal dengan Sumur Bandung (TW-3).

b. Eyang Surapati
Eyang Surapati mengusulkan kepada Raja di Sukapura untuk memanggil Eyang Batuwangi. Eyang Surapati berasal dari tempat yang sama dengan Eyang Batuwangi, yaitu dari Ciudian. Pada saat ini masyarakat mengenal Eyang Surapati sebagai karuhun yang makamnya berada di desa Cigintung, Singajaya.

Nya Eyang Surapati anu ti dieu teh kaditu. Nya tilu belas jalmi anu nuju di dinya teh. Saur Eyang Surapati teh, “moal aya anu meunangkeun deui iwalti menak Batuwangi” (Paragraf 2).


c. Raja
Raja pada konteks C-1 berarti penguasa wilayah di Sukapura. Padahal pada kenyataannya, Sukapura hanyalah sebuah wilayah yang tidak terlalu besar. Lagi pula wilayah itu merupakan wilayah kerajaan Galuh yang telah dibentuk kabupaten di bawah kerajaan Mataram. Jadi raja pada C-1 berarti, 1) penguasa wilayah semacam Bupati, atau 2) raja dari daerah lain (Mataram) yang datang ke Sukapura sebagai wilayah kekuasaannya untuk mengadakan sayembara. Sayembara itu sendiri dilaksanakan untuk menyelesaikan pemberontakan Dipati Ukur. Ia menjanjikan hadiah kepada siapa pun yang berhasil membunuh Dipati Ukur berupa jabatan yang sangat tinggi. Alasan kedua diperkuat dengan penuturan Aki Suha (Nara Sumber 3) sebagai berikut.

Waktu Kanjeng Sinuwun diserang ku musuh nyaeta Dipati Ukur tea, raja baheula ku kitu teh sayembara. Nya ngungsi ka dieu ka Sukapura, kitu saurna teh. Nya di Tasik sieun ku musuh teh, kitu. Nya sayembara, saha nu meunangkeun musuh nyaeta Dipati ukur tea, engke ku Kami diangkat dalem weh kitu… (TW 3).



d. Wira Dadaha.
Wira Dadaha adalah seorang gandek, atau pembantu yang mengawal Eyang Batuwangi sejak diajak oleh Eyang Batuwangi di perjalanan menuju Bandung. Wira Dadaha mengkhianati Eyang Batuwangi dengan mengakui jasa-jasa Eyang Batuwangi sebagai keberhasilan dia sendiri. Sampai saat ini nama Wira Dadaha diabadikan menjadi sebuah nama kota kecamatan, yaitu Dadaha di Tasik Malaya.

e. Dipati Ukur
Dipati Ukur dalam C-1 diceritakan sebagai seorang pengembara yang datang dengan tujuan merebut negara atau melakukan pemberontakan. Hal ini tampak dalam salah satu bagian cerita, “Tah hiji waktos anu katampi ku aki mah, kapungkur teh aya anu ngalalana cenah kadieu teh, Dipati Ukur bade ngarebut nagara” (paragraf 1).
Sementara itu, pada kalangan masyarakat Sunda pada umumnya Dipati Ukur dikenal masyarakat sebagai pahlawan (Ekajati, 1982: 4). Hal ini misalkan tampak dari penamaan salah satu jalan utama di kota Bandung. Dalam naskah Leluhur Bandung karya Raden Jaya Kusumah yang diteliti oleh Ekadjati (1982), Dipati Ukur terdapat dalam silsilah sebagai berikut:

Prabu Siliwangi
Guru Gantangan
Prabu Lingga Pakuan
Prabu Pandaan Ukur Pangeran Cahaya Luhur (Banyumas)
Kiai Dipati Agung Pangeran Cahyana
Nyai Gedeng Ukur x Dipati Ukur
Bagan 4.1: Silsilah keturunan Dipati Ukur

Silsilah di atas menunjukkan bahwa Dipati Ukur menikah dengan keturunan kelima dari Prabu Siliwangi. Sedangkan menurut Ranggawaluya (1980), Dipati Ukur adalah cucu dari Raja Pajajaran, Sri Baduga Maharaja.
Dipati Ukur meninggalkan Pasundan menuju Mataram untuk mengabdi kepada Sultan Agung. Setelah ia menjadi pejabat tinggi, ia diberi tugas untuk menaklukan Sampang di Madura. Namun tugas ini gagal dilaksanakan oleh Dipati Ukur. Karena kegagalan ini seharusnya Dipati Ukur mendapat hukuman, tapi Dipati Ukur diberi kesempatan untuk memperbaiki kegagalannya sekali lagi. Dipati Ukur diharuskan membawa rakyat Sunda untuk menyerang Belanda di Jakarta. Dipati Ukur menyanggupi tugas ini dengan membawa ribuan orang Sunda untuk menyerang Jakarta. Lagi-lagi penyerbuan ini pun gagal. Pasukan Dipati Ukur mundur. Ternyata pemunduran ini dianggap pelarian dari medan perang. Oleh karena itu, Dipati Ukur harus dihukum mati. Maka Sultan Agung mengirim pasukan untuk menangkap Dipati Ukur.
Sejak itulah terjadi peperangan antara pasukan Mataram (Jawa) melawan pasukan Dipati Ukur (Sunda). Tidak ada kesimpulan yang pasti mengenai tertangkap tidaknya Dipati Ukur. Ada yang meriwayatkan Dipati Ukur tertangkap dan dihukum mati oleh Mataram, ada yang meriwayatkan Dipati Ukur meninggal karena sakit, dan ada pula yang meriwayatkan Dipati Ukur ngahiang.

f. Lurah
Lurah adalah seorang penguasa wilayah desa. Dalam C-1 lurah memiliki kediaman di dekat Gunung Tikukur, Bandung. Ialah yang membantu Eyang Batuwangi untuk menyiapkan penyambutan terhadap Dipati Ukur. Lurah inilah yang diutus untuk memanggil Dipati Ukur dari atas Gunung Tikukur ke rumahnya yang telah disiapkan sebuah pesta. Ternyata dalam jamuan makan pesta tersebut Dipati Ukur disergap oleh Eyang Batuwangi.

Dugi ka Bandung teh, angkat weh ka lurah. “Lurah, Dipati Ukur rek ngarebut nagara, ayeuna aya di Gunung Tikukur, kade eta jalema ngarti. Di dieu pek nyieun hajat sing gede, engke mun geus asak pasakan panggil Dipati Ukur ka dieu” (paragraph 8).


4.1.5 Skema Aktan dan Model Fungsional
Hubungan Antar tokoh dalam C-1 tidak terlalu rumit. Rangkaian peristiwa tersusun untuk mencapai satu tujuan utama, yaitu membunuh Dipati Ukur. Dengan keberhasilan membunuh Dipati Ukur, Batuwangi juga berhak mendapatkan hadiah dari raja, yaitu jabatan yang tinggi di Sukapura. Jadi, yang ditekankan dalam penuturan C-1 adalah keberhasilan Batuwangi membunuh Dipati Ukur. Adapun jabatan yang dijanjikan oleh raja hanya merupakan unsur yang dipertaruhkan sebagai imbalan. Oleh karena itu, hubungan antar tokoh dalam C-1 dapat diuraikan dalam satu aktan utama dan satu aktan bawahan.
Aktan Utama menunjukkan adanya karsa yang muncul dari raja (pengirim) untuk menyelesaikan permasalahan dengan Dipati Ukur. Raja menginginkan Dipati Ukur mati dan dipenggal kepalanya. Akan tetapi, raja merasa tidak sanggup untuk menyelesaikan masalah ini dengan tangannya sendiri. Oleh karena itu, raja mengadakan sayembara. Dengan adanya sayembara inilah raja hanya menunggu hasil, yaitu menerima kepala Dipati Ukur yang telah dipenggal kelak. Jadi, raja selain sebagai pengirim, juga berfungsi sebagai penerima. Orang yang mendatangi sayembara di Sukapura dari Tanah Batuwangi adalah Eyang Surapati. Dialah yang mengusulkan kepada raja agar Eyang Batuwangi dipanggil untuk mengikuti sayembara. Dalam hal ini Eyang Surapati dapat dikelompokkan sebagai pembantu subjek. Selain Eyang Surapati, Eyang Batuwangi juga dibantu oleh Wira Dadaha yang menyertainya ke Bandung selama tiga bulan. Di Bandung, Eyang Batuwangi pun dibantu oleh seorang lurah dalam menyusun muslihat penyergapan Dipati Ukur. Jadi, Wira Dadaha dan lurah juga dapat dikelompokkan sebagai pembantu.
Satu-satunya fungsi yang menghalangi subjek (Eyang Batuwangi) adalah kesaktian Dipati Ukur. Dalam C-1 dikisahkan bahwa Dipati ukur adalah orang yang gagah dan dapat terbang. Kegagahan Dipati Ukur memaksa Eyang Batuwangi melakukan pengejaran panjang selama tiga bulan di Bandung. Sebelumnya Dipati Ukur lolos dari pertarungan dengannya di Gunung Lumbung.
Penjelasan di atas dapat dirangkum dalam sebuah skema aktan utama sebagai berikut.

pengirim objek penerima
Raja Dipati Ukur Raja


pembantu subjek penentang
Eyang Surapati Batuwangi kesaktian DU
Wira Dadaha
Lurah
Bagan 4.2: skema aktan utama C-1

Skema aktan bawahan adalah lanjutan dari skema aktan utama, yaitu, menggambarkan usaha Eyang Batuwangi merebut haknya yang telah dirampas oleh Wira Dadaha yang licik. Skema aktan bawahan C-1 adalah sebagai berikut.

pengirim objek penerima
Batuwangi Hadiah dari raja Batuwangi


pembantu subjek penentang
Ø Batuwangi para jagoan silat

Bagan 4.3: skema aktan bawahan C-1

Atas karsanya sendiri Eyang Batuwangi datang ke Sukapura. Ia mengetahui bahwa haknya mendapat hadiah yang dijanjikan raja telah dirampas oleh Wira Dadaha. Seharusnya Batuwangi menerima jabatan sebagai imbalan atas keberhasilannya membunuh Dipati Ukur. Dalam hal ini Batuwangi berfungsi sebagai subjek, pengirim, sekaligus penerima, karena Batuwangi berjuang sendiri, atas karsa sendiri, dan ia sendiri yang seharusnya menerima hasil perjuangannya ini. Jadi, objek yang diusahakan oleh subjek dalam skema di atas adalah jabatan yang dijanjukan oleh raja sebagai hadiah atas keberhasilan Eyang Batuwangi memenuhi kesepakatan dalam sayembara.
Dalam usaha mendapatkan haknya, Batuwangi tidak dibantu oleh siapa pun. Maka dalam skema di atas tidak ada fungsi sebagai pembantu. Sebaliknya, Batuwangi sempat dihadang oleh para jagoan silat di kantor pemerintahan Sukapura. Para jagoan silat menghalangi usaha subjek, maka mereka tergolong penentang.

Sementara itu, alur C-1 dapat dijelaskan dengan model fungsional berikut.

I
Situasi awal
II
Transformasi

III
Situasi akhir
Tahap uji kecakapan
Tahap utama
Tahap kegemilangan
Raja menga-
Dakan
Sayem-bara untuk menge-nyahkan Dipati Ukur
· Pertaru-ngan Batuwangi dengan Dipati Ukur di Gunung Lumbung
· Dipati Ukur melemparkan dua ekor kerbau ke arah Batuwangi,
· Tindakan Batuwangi membawa Wira Dadaha.
· Kerja sama dengan lurah untuk menyer-gap Dipati Ukur
· Keberhasilan Batuwangi memenggal kepala Dipati Ukur.
· Tindakan Batuwangi menitipkan kepala Dipati Ukur pada Wira Dadaha.
· Pengkhiana-tan gandek yang mengaku telah membunuh Dipati Ukur
· Kedatangan Batuwangi ke Sukapura untuk menuntut hak-haknya
· Batuwangi tidak menerima haknya menjadi pejabat. Namun, ia memberi semacam kutukan bagi Wira Dadaha: tidak kekal menjadi penguasa, dan keturunannya tidak lestari
Bagan 4.4: model fungsional C-1

Pada tahap situasi awal, diceritakan raja di Sukapura mengalami kesulitan menghadapi Dipati Ukur yang datang ke wilayahnya. Oleh karena, itu raja mengadakan sayembara. Isi sayembara itu adalah siapa saja yang berhasil membunuh Dipati Ukur akan diberi jabatan tinggi.
Selanjutnya pada tahap uji kecakapan, atas usul dari Eyang Surapati, Eyang Batuwangi dipanggil untuk mengikuti sayembara. Akhirnya Batuwangi menyatakan kesanggupannya mengikuti sayembara. Setelah itu berangkatlah Batuwangi mencari Dipati Ukur di Gunung Lumbung. Terjadilah pertarungan hebat di antara keduanya yang melibatkan kesaktian masing-masing. Dipati Ukur melemparkan kerbau betina ke Batuwangi, namun meleset. Kemudian ia melemparkan kerbau jantan, meleset lagi. Sampai di sini Batuwangi belum berhasil melaksanakan tugasnya karena Dipati Ukur melarikan diri ke Bandung.
Barulah pada tahap utama Batuwangi berhasil menjalankan tugasnya. Ia mengajak Wira Dadaha untuk menemaninya dalam pengejaran Dipati Ukur ke Gunung Tikukur, Bandung. Di Bandung Batuwangi menemui lurah. Di rumah lurah ini Batuwangi menyusun siasat untuk melumpuhkan Dipati Ukur. Lurah mau diajak kerja sama oleh Batuwangi. Ia membuat pesta di rumahnya dan mengundang Dipati Ukur untuk turun Gunung. Datanglah Dipati Ukur ke rumah lurah. Dipati Ukur ditangkap dan dilumpuhkan. Setelah itu Dipati Ukur dipenggal kepalanya tanpa banyak perlawanan lagi. Akan tetapi Batuwangi teringat akan keluarganya di Ciudian. Sebelum menghadap raja ia pulang ke kampung halamannya tersebut, sedangkan kepala Dipati Ukur ia titipkan kepada Wira Dadaha.
Pada tahap kegemilangan, Batuwangi dikhianati oleh Wira Dadaha. Saat menghadap raja, Wira Dadaha mengaku bahwa dirinya sendiri yang telah membunuh Dipati Ukur, sedangkan Batuwangi dikabarkannya telah meninggal dunia. Dengan pengakuan yang disertai adanya bukti kepala Dipati Ukur yang ia bawa, Wira Dadaha dinobatkan menjadi bupati di Sukapura. Pada tahap cobaan membawa kegemilangan ini raja sebagai penerima telah menerima hasil dari perjuangan subjek, yaitu kepala Dipati Ukur yang didapatkan oleh Batuwangi. Akan tetapi,di lain pihak Batuwangi tidak mendapatkan haknya menjadi pejabat karena ia dikhianati oleh Wira Dadaha. Oleh karena itu Batuwangi datang menghadap raja.
Pada situasi akhir, Batuwangi tidak menerima haknya menjadi pejabat. Namun, ia memberi semacam kutukan bagi Wira Dadaha dan keturunannya supaya tidak kekal menjadi penguasa, dan keturunannya tidak lestari. Kutukan ini dipercaya oleh masyarakat masih berlaku sampai sekarang. Setiap anak keturunan Wira Dadaha tidak berumur panjang, bahkan banyak yang meninggal pada masa muda.

Nya saurna kieu, “Ama, abdi mah moal nganyenyeri batur, da abdi oge ayeuna nyeri, ngan sakieu weh ayeuna mah, pek weh tuluykeun ku maneh, karunya. Ngan rek nyirian, hiji ulah awet jeneng, dua ulah boga turunan” (paragraf 13).






4.2 Analisis Struktur Cerita 2 (C-2)
4.2.1 Teks C-2
Tah ari lalakona ulah ngadahar sirah hayam teh kieu. Kapungkurna Eyang Batuwangi teh kagungan putra istri, rakana pameget. Jadi geus ti ditu keneh, jadi aya paripaos pameget mah sok kaliwat ku istri, nya. Tapi da teu nanaon ti zaman Kangjeng Nabi Adam oge. Saha we nu tiheula aya milik. Tah cariosna ditikahkeun. Tah tos ditikahkeun, huap lingkung
Ditikahkeuna di Batuwangi teh ceuk sakaol kitu nya, ka ieu, dalem. Ka putra dalem Sukapura ceuk sakaol. Sukapura teh Sukaraja, bawahan Tasik. Dalem kitu nya, sanes karuhun. Tah saparantos ditikahkeun, huap lingkung, ngariung. Ujang, bapana kitu nya, dahuan upamina ieu teh kitu nya, tah lanceuk istri kitu nya, tah keur huap lingkung, ieu teh ngegel, dahuan tea ngegel sirah hayam, mecret ka ieu pamajikanana, upama tea mecret kana susuna. Dirongkong kainya, diusap ku rakana teh bakat ku deudeuh raka ka itu. Diusap ku rakana, lanceuk kitu, ku lanceuk.
Tah ieu teh timuru. “Wah bogoheun dulurna teh”, cenah. Harita keneh di tugel, bess weh ku keris nya. Nunceb. Kabaheulaan mah ieu atuh di beber susuna. Ditubles. Tah kumargi sakitu, alhasil eta teh kulantaran gujrud kitu, teu jadi etana teh. Jadi istrina teh kitunya bungkrak. Tah kitu, jadi sirah hayam teh ku Eyang Batuwangi teh dilarang. Cadu kana sirah hayam, sanes haram (TW 1).



4.2.2 Terjemahan C-2
Nah cerita tidak boleh memakan kepala ayam itu begini. Dulu Eyang Batuwangi mempunyai seorang anak perempuan dan laki-laki kakaknya. Jadi memang sejak dulu biasa seorang laki-laki itu didahului menikah oleh adik perempuannya. Begitulah sejak Zaman Nabi Adam juga, siapa yang mendapat rezeki, menikah lebih dulu. Nah ceritanya dinikahkan dengan acara huap lingkung makan bersama.
Dinikahkan di Batuwangi konon katanya dengan putra dalem Sukapura, katanya. Sukapura itu Sukaraja, daerah Tasik Malaya. Dalem dia itu, bukan nenek moyang. Nah setelah dinikahkan, acara huap lingkung, makan bersama. Anda, Bapaknya, dan saudara ipar umpamanya (membuat setting dengan orang-orang yang hadir dalam wawancara, termasuk penulis), dan kakak si perempuan. Saat acara huap lingkung itulah saudara ipar itu menggingit kepala ayam. Ternyata bagian kepala ayam itu terpercik ke dada pengantin perempuan. Lalu diusap oleh kakaknya.
Ternyata si pengantin laki-laki cemburu, “wah ternyata dia menyukai istri saya” katanya. Waktu itu juga ditusuk dengan keris. “bess!” menancaplah keris itu. Memang zaman dulu itu dada perempuan itu diikat dengan selendang. Nah, oleh karena itu, karena terjadi kekacauan, segalanya menjadi gagal. Begitulah, jadi memakan kepala ayam itu dilarang oleh Eyang Batuwangi, bukan haram.

4.2.3 Latar
Latar yang paling menonjol pada C-2 adalah latar sosial. Sementara itu, latar tempat dan latar waktu tidak banyak diungkapkan. Satu-satunya hal yang menunjukkan latar tempat adalah bahwa pernikahan tersebut dilaksanakan di Tanah Batuwangi. Hal ini sesuai dengan tradisi Sunda, yaitu rumah calon pengantin wanita yang menjadi tuan rumah acara pernikahan.
Bila melihat latar waktu dan latar sosial C-2, waktu itu Eyang Batuwangi masih hidup. Ia sendiri yang menikahkan putrinya. Pada masa itu masih ada sistem pemerintahan dengan penguasa daerah seorang dalem sehingga dalam cerita disebutkan dalem Sukapura. Selain itu C-2 memberi informasi bahwa pada masa itu pernikahan dilakukan dengan adat Sunda yang melakukan acara huap lingkung. Gambaran wanita pada waktu itu diwakili oleh pengantin perempuan yang membungkus tubuhnya dengan selendang, sedangkan laki-laki waktu itu masih biasa membawa keris. Jadi latar waktu dan latar sosial C-2 masih dekat dengan latar C-1.

4.2.4 Tokoh
Tokoh-tokoh C-2 antara lain sebagai berikut.
a. Batuwangi
Identitas Batuwangi pada C-2 sama dengan Batuwangi pada C-1. sebagian masyarakat berpendapat bahwa Eyang Batuwangi adalah asli orang Sunda. Namun sebagian lagi berpendapat bahwa Eyang Batuwangi berasal dari Mataram. Ia termasuk penyiar agama yang datang bersama pasukan Mataram setelah kalah perang di Jayakarta (Jakarta). Di dalam naskah Punika Ikilah Sajarah Batura Terus Bawa dijelaskan sebagai berikut.

Punika carita Batara Terus Bawa atawa Terus Rasa legi sumping ka Batuwangi. Nuli tatapa ing Gunung Batu angkat nama Batara Deugdeug Jaya, tapa ing Pasir Malang, Batara Langlang Buana, tapa ing Gunung Lumbung nama Batara Payung Buwana. Tapa ing Bojong Batara Sangga Buana, tapa ing Sirah Cibatuwangi nama Hurip Buana, tapa ing Sirah Cidangiang nama Batara Cahaya Buana, tapa ing Gunung Cikuray nama Batara Ider Buana. Nuli mulih ka Batuwangi, ka sangkan mulih ngersakeun damel gosali. Lawas-lawas disampeur ku Susunan Batuwangi sarta dipiwarang ngawin putrana anu Larang. Sanggeus kitu teras dikawin Embah Larang. Ari geus kawin disalin nama Prabu Sangadipati. Nuli puputra satunggal nama Santoan Jaba. Ari embah larang nagara wetan. Wasta Santoan Anggari. Puputra Santoan Utama, Santoan Lurah, Santoan Amareja, Demang Sacapati. Garwana di Galuh Nyi Mas Gedung Waringin (Ratu Galuh Pakuan Pajajaran). Meunang putra hiji (ti Galuh) nama Cucuk Yudanagara. Nuli angkat ka Sumedang, ngalap deui garwa nama Nyi Mas Gedung Haris Baya (nyaeta Ibu Ratu Haris Baya anu di Sumedang, di Dayeuh Luhur). Meunang putra hiji (ti ieu teh, Nyi Mas ieu teh, naon Ibu Ratu Haris Baya teh) nama Ngabei Sacanaya (TPN).



Dalam C-2 Batuwangi dikisahkan menikahkan anak perempuannya dengan putra dalem Sukapura. Karena terjadi sebuah prahara yang merenggut korban jiwa, Batuwangi mengeluarkan sumpah serapah agar anak cucunya kelak pantang memakan kepala ayam.

b. Pengantin perempuan
Pengantin perempuan dalam C-2 adalah anak perempuan Batuwangi. Namun penutur tidak menyebutkan nama perempuan tersebut dengan alasan tidak tahu dan lupa. Kuncen pun tidak mengetahui nama perempuan ini karena memang tidak tercantum dalam naskah yang dikuasainya. Anak perempuan Batuwangi ini bersedia menikah meskipun kakaknya yang laki-laki belum menikah. Jadi ia mendahului kakaknya. Keterangan ini dapat dilihat dalam kutipan berikut.

“Kapungkurna Eyang Batuwangi teh kagungan putra istri, rakana pameget. Jadi geus ti ditu keneh, jadi aya paripaos pameget mah sok kaliwat ku istri, nya. Tapi da teu nanaon ti zaman Kangjeng Nabi Adam oge” (paragraf 1).

Dalam beberapa kasus, banyak masyarakat Sunda yang memandang negatif pada seorang anak yang menikah lebih dulu daripada kakaknya. Tindakan tersebut lazim disebut ngarunghal. Dalam hal ini, C-2 juga menolak nilai budaya ngarunghal sebagai tindakan yang negatif.


c. Anak laki-laki Batuwangi
Anak laki-laki Batuwangi ini adalah kakak dari pengantin perempuan. Sama halnya dengan terhadap adiknya, penutur tidak mengetahui sama sekali nama dan keterangan lain mengenai tokoh ini. Namun melalui C-2 kita dapat mengetahui bahwa ia adalah seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya. Dengan alasan sangat menyayangi adiknya, ia menyeka bagian kepala ayam yang menempel di dada adiknya. Namun tindakan ini disalah artikan oleh saudara iparnya.

d. Pengantin laki-laki
Pengantin laki-laki adalah anak Dalem Sukapura. Dia adalah pemuda yang pencemburu dan tanpa perhitungan. Dalam C-2 diceritakan, …tah ieu teh timuru. “Wah bogoheun dulurna teh”, cenah. Harita keneh ditugel, bess weh ku keris nya. Nunceb (paragraf 3).

4.2.5 Skema Aktan dan Model Fungsional
C-2 menceritakan sebuah prahara dalam pesta pernikahan. Rangkaian peristiwa dan keterlibatan tokoh dalam C-2 dapat dijelaskan melalui skema aktan dan model fungsional berikut.




pengirim objek penerima
Batuwangi kehidupan keluarga pengantin laki-laki
yang bahagia dan pengantin wanita


pembantu subjek penentang
Ø pengantin laki-laki kecemburuan
dan pengantin wanita pengantin laki-laki

Bagan 4.5: skema aktan C-2

Batuwangi menikahkan putrinya dengan putra dalem Sukapura. Oleh karena itu dalam C-2 Batuwangi berfungsi sebagai pengirim. Subjek yang menjalankan pernikahan adalah tentu saja calon pengantin perempuan dan calon pengantin laki-laki, yaitu putri Batuwangi dan putra dalem Sukapura. Tujuan yang menjadi objek dalam skema aktan C-2 adalah kehidupan keluarga yang bahagia. Tujuan tersebut selaras dengan tujuan yang ingin dicapai dalam sebuah pernikahan, yaitu membentuk keluarga yang sakinah, mawadah, dan warrahmah.
Dalam C-2 tidak diceritakan adanya fungsi pembantu yang memuluskan usaha subjek mendapatkan objek. Sebaliknya, muncul sebuah halangan yang mengakibatkan kegagalan pernikahan. Kecemburuan putra dalem Sukapura yang berlebihan mengakibatkan terjadinya prahara yang merenggut nyawa. Akhirnya, subjek sekaligus penerima, yaitu pengantin laki-laki dan pengantin perempuan tidak sempat mengalami kebahagiaan hidup berkeluarga.
Untuk lebih jelasnya, alur C-2 akan dijelaskan kembali dalam struktur alur dalam model fungsional C-2 berikut ini.


I
Situasi awal
II
Transformasi

III
Situasi akhir
Tahap uji kecakapan
Tahap utama
Tahap kegemilangan
Batuwangi menikahkan putrinya dengan putra dalem Sukapura
acara huap lingkung dalam pesta pernikahan
Saudara ipar menyeka bagian kepala ayam yang ia gigit dan terpercik pada dada pengantin perempuan
Pengantin laki-laki membunuh saudara iparnya.


· Pernikahan yang telah terjadi tidak dapat dilanjutkan karena kedua pengantin meninggal dunia.
· Batuwangi melarang keturunannya memakan kepala ayam
Bagan 4.6: model fungsional C-2

Situasi awal C-2 menunjukkan adanya harmoni yang belum ada tanda-tanda yang mengancam keseimbangan. Batuwangi menikahkan puterinya dengan putra dalem Sukapura. Tahap uji kecakapan terjadi pada acara pernikahan. Setelah akad nikah selesai, pada pernikahan adat Sunda biasa diadakan acara huap lingkung. Dalam acara huap lingkung ini biasanya pengantin memakan ayam bakar (bakakak hayam).
Kemudian, pada tahap cobaan utama, muncul kecemburuan yang sangat besar dan keterlaluan pada hati pengantin laki-laki. Ia cemburu melihat kakak iparnya menyeka bagian kepala ayam yang memerciki dada istrinya sendiri. Akhirnya pada tahap kegemilangan pengantin laki-laki membunuh kakak iparnya, yaitu kakak dari istrinya sendiri.
Pada situasi akhir, tujuan menciptakan sebuah kehidupan keluarga yang bahagia tidak dapat tercapai. Kedua pengantin telah meninggal dunia. Sebagai akibat dari peristiwa ini, Eyang Batuwangi mengeluarkan sumpah serapah bahwa dia dan semua keturunannya kelak pantang (cadu) makan kepala ayam.
Sumpah tersebut menunjukkan bahwa Eyang Batuwangi sebagai penyebar islam di wilayahnya tidak mengubah atau merusak tatanan sosial budaya yang telah ada. Akan tetapi, Eyang Batuwangi telah menambah sebuah aturan yang menjadi budaya. Eyang batuwangi tidak melarang adanya acara huap lingkung dalam acara pernikahan keturunannya. Acara tersebut memang dinilai penuh dengan makna simbolik oleh masyarakat Sunda pada umumnya. Acara huap lingkung adalah sebuah bagian dalam rangkaian upacara pernikahan adat Sunda yang mempunyai makna simbolis kehidupan suami istri yang harmonis, saling mencintai, saling merindukan dan sebagainya (Bratawidjaja, 2002: 54).




4.3 Analisis Struktur Cerita 3 (C-3)
4.3.1 Teks C-3
Cenah aya nu nyerang, nu gagah ti Tasik teh ngirimkeun gunung ka dieu. Nya aya nu ngawartosan, “itu gunung nyurungkuy ka dieu,” cenah.
“wah dek nyerang ka dieu.”
Nya Anjeuna ngiringkeun batu, ngeungkeuy weh batu rek ngaduan gunung ka ditu. Gunung ningali batu ngeungkeuy, teu sanggupeun gunung ngarumpak kana batu. Atuh stop weh, murungkut. Di-stop weh batu teh.
Dugi ka ayeuna di Batuwangi teh taringgul batu. Eta teh tilasna ngalawan Gunung Murungkut. Gunung Murungkut teh kiduleun Gunung Lumbung (TW 3).


4.3.2 Terjemahan C-3
Katanya ada yang menyerang, seseorang yang gagah dari Tasik mengirimkan gunung ke sini. Kemudian ada yang memberi tahu, “itu ada gunung meluncur ke sini”, katanya.
“wah ada penyerangan ke sini”.
Lalu Beliau (Batuwangi) menggiring batu. Berbondong-bondonglah batu akan menghadapi gunung. Melihat batu yang banyak, gunung tidak berani menabrak batu. Lalu gunung berhenti dan murungkut (mengerut). Akhirnya gunung dapat dihentikan.
Sampai sekarang di Batuwangi itu bergelimpangan batu. Batu-batu itu bekas melawan Gunung Murungkut. Gunung Murungkut itu sebelah selatan Gunung Lumbung.


4.3.3 Latar
Latar tempat dalam C-3 berkisar antara daerah tasik Malaya hingga Batuwangi. Dari Tasik Malaya seorang yang gagah mengirim Gunung ke Batuwangi. Sebaliknya dari arah Batuwangi, Eyang Batuwangi mengangkat batu-batu untuk menghalangi gunung. Akibatnya gunung yang meluncur bewrhenti di sebelah selatan Gunung Lumbung, sedangkan batu-batu yang diangkat Batuwangi kini bergelimpangan di sekitar makam Batuwangi.
Latar waktu sama sekali tidak disebutkan secara spesifik. Yang pasti pada masa itu Eyang Batuwangi masih hidup. Dari C-3 kita juga dapat mengetahui bahwa pada saat itu manusia memiliki kehebatan yang luar biasa sehingga bisa mengendalikan gunung dan batu-batu. Bagian awal C-3 menunjukkan bahwa pada waktu itu di batuwangi telah ada kelompok masyarakat, buktinya ketika ada gunung yang meluncur, ada seseorang yang memberitahu Batuwangi. Hal ini tampak pada paragraf pertama, …ti Tasik teh ngirimkeun gunung ka dieu. Nya aya nu ngawartosan, “itu gunung nyurungkuy ka dieu,” cenah.

4.3.4 Tokoh
Tokoh-tokoh C-3 antara lain:
a. Seseorang yang gagah dari Tasik Malaya
Seseorang ini tidak dijelaskan identitasnya. Penutur hanya mengetahui bahwa seseorang ini mempunyai kesaktian yang sangat tinggi sehingga dapat mengendalikan sebuah gunung. Dalam C-3, seseorang yang gagah dari Tasik Malaya ini adalah seorang musuh yang ingin menyerang tanah Batuwangi.

b. Pembawa berita
Pembawa berita juga tidak dikatakan identitasnya. Ia memberitahu Eyang Batuwangi bahwa pada saat itu ada penyerangan dari Tasik berupa kedatangan sebuah gunung. Melihat konteks C-3, pembawa berita merupakan perwakilan dari masyarakat Batuwangi yang hidup pada saat itu.

c. Eyang Batuwangi
Eyang Batuwangi tinggal di tanah Batuwangi. Ia adalah orang yang sakti, sehingga ketika ada gunung yang datang, seseorang memberitahukan masalah ini kepadanya, dan bukan kepada orang lain. Dalam C-3 dapat diketahui bahwa Eyang Batuwangi merupakan seseorang yang dapat diandalkan untuk menyelesaikan permasalahan di tanah Batuwangi.







4.3.5 Skema Aktan dan Model Fungsional

pengirim objek penerima
Masyarakat Batuwangi Kedamaian dan Masyarakat Batuwangi
ketentraman tanah Batuwangi

pembantu subjek penentang
Pembawa berita Eyang Batuwangi Seseorang yang sakti
dari Tasik Malaya

Bagan 4.7 : skema aktan C-3

Setiap masyarakat ingin mempertahankan kedamaian dan ketentraman daerahnya. Demikian juga dengan masyarakat Batuwangi pada C-3. Oleh karena itu masyarakat Batuwangi berfungsi sebagai pengirim sekaligus penerima, karena kedamaian dan ketentraman daerah merupakanhak-haknya. Eyang Batuwangi merupakan seseorang yang mempunyai jiwa pemimpin dan tanggungjawab yang besar. Maka ia (subjek) menegakkan kedamaian daerahnya dengan melakukan perlawanan terhadap serangan dari Tasik.
Seorang warga (pembantu) memberitahukan kedatangan gunung yang akan menimpa tanah Batuwangi. Seseorang yang sakti dari tasik Malaya menyerang tanah Batuwangi dengan sebuah gunung. Oleh karena itu ia berfungsi sebagai penentang dalam skema aktan karena ia merusak harmoni yang sedang berlangsung di Batuwangi.
Alur C-3 dijelaskan dalam model fungsional berikut.

I
Situasi awal
II
Transformasi

III
Situasi akhir
Tahap uji kecakapan
Tahap utama
Tahap kegemilangan
Harmoni di tanah Batuwangi
Penyerangan yang dilakukan orang sakti dari Tasik Malaya


____


____
Kembali harmoni, muncul pasir Murungkut dan batu-batu bergelimpangan
di tanah Batuwangi
Bagan 4.8: model fungsional C-3

Pada situasi awal, belum ada kejadian apa-apa di Tanah Batuwangi. Pada waktu itu tidak diceritakan ada huru-hara ataupun perang.
Pada tahap uji kecakapan, terjadi penyerangan ke tanah Batuwangi. Seseorang yang sangat sakti mendorong sebuah gunung untuk ditimpakan ke tanah Batuwangi. Kemudian seseorang memberitakan penyerangan ini kepada Eyang Batuwangi. Mengetahui adanya penyerangan seperti itu, Eyang Batuwangi pun menggunakan kesaktiannya. Ia mengangkat batu-batu di sungai Ciudian. Batu-batu beterbangan dan melaju untuk menahan gunung. Melihat batu-batu yang beterbangan trersebut, gunung yang sedang melaju mendadak berhenti.
Pada C-3 tidak ada tahap utama dan tahap kemilangan karena penyerangan telah berhasil dihentikan. Setelah penyerangan tersebut tidak terjadi lagi penyerangan. Sebagai hasilnya, pada situasi akhir, gunung yang mendadak berhenti tadi menjadi mengkerut karena berhenti mendadak. Gunung tersebut kemudian disebut Pasir Murungkut, letaknya di sebelah selatan Gunung Lumbung. Selain munculnya Pasir Murungkut, batu-batu yang tadinya digunakan untuk menahan gunung oleh Eyang Batuwangi, kini bergelimpangan di Desa Ciudian, sekitar makam Batuwangi.

4.4 Analisis Struktur Cerita 4 (C-4)
4.4.1 Teks C-4
Di dieu teh aya Gagayunan. SD Gagayunan ayeuna. Eta peristiwa Eyang BW waktos perang. Perang sareng musuh di Gagayunan tea. Diudag musuh mantena mah sanes lumpat, tapi shalat dua rakaat. Saatos Patihah Idzazulzilah sareng Waladiatu rakaat kadua. Rakaat kahiji Idzazulzilah, rakaat kadua Waladiatu susuratanana. Ngadua ka Allah. Atuh saatosna shalat eta dua rakaat shalat tasbeh. Saatos shalat tasbeh ngadu’a, nyaeta eta du’ana, hasbiyallah wani’mal wakil, ni’mal maula wani’man nasir Subhanallah mil ul mizan… Ya Allah salametkeun tina udagan musuh. Genjlog, muhun janten embel. Janten gagayunan, taneuh gagayunan. Disebut Gagayunan.
Mantena mah tos caket ka Allah. Ma’rifat ka Allah, waliyullah, kakasihna Gusti Allah, tiasa diizabah. Numawi dina ziarah oge ngadua di tempat anu dimulyakeun ku Allah (TW 4).




4.4.2 Terjemahan C-4
Di sini ada yang namanya Gagayunan, SD Gagayunan yang sekarang. Itu peristiwanya waktu Eyang Batuwangi perang. Perangnya dengan musuh di Gagayunan. Ketika dikejar musuh, beliau tidak lari, tapi shalat dua rakaat. Setelah AlFatihah beliau membaca Idzazulzilah dan Waladiatu rakaat kedua. Rakaat pertama Idzazulzilah, rakaat kedua Waladiatu suratnya. Berdoa kepada Allah setelah shalat tasbih dua rakaat. Doanya hasbiyallah wani’mal wakil, ni’mal maula wani’man nasir Subhanallah mil ul mizan… Ya Allah selamatkanlah saya dari kejaran musuh. Tanah pun jadi labil, jadi embel (Lumpur yang bisa menghisap sesuatu yang jatuh di atasnya). Jadi tanahnya Gagayunan (bergoyang-goyang). Sejak itu disebutlah Gagayunan.
Beliau memang sudah dekat kepada Allah, sudah ma’rifat kepada Allah, waliyullah, kekasih allah, jadi dikabulkanlah doanya. Oleh karena itu, ziarah pun dilakukan dengan cara berdoa di tempat yang dimuliakan Allah.

4.4.3 Latar
C-4 yang singkat ini hanya mengungkapkan sebuah nama tempat, yaitu, Gagayunan. Di atas tempat tersebut saat ini berdiri sebuah bangunan sekolah dasar yang dinamai SD Gagayunan. Tempat itu berada di Desa Ciudian, tepatnya di sebelah barat balai desa Ciudian.
Latar waktu dan latar sosial pada saat itu adalah situasi perang. Eyang Batuwangi dikejar-kejar musuh. Pada C-4 juga diceritakan bahwa manusia (khususnya Eyang Batuwangi) pada waktu itu ma’rifat kepada Allah, sehingga doanya sangat cepat dikabulkan oleh Allah SWT.

4.4.4 Tokoh
Hanya ada dua tokoh dalam C-4, yaitu Batuwangi dan musuh yang mengejarnya. Batuwangi adalah orang yang sama seperti dibahas pada cerita-cerita sebelumnya. Selain itu, C-4 menunjukkan anggapan sebagian masyarakat terhadap Eyang Batuwangi sebagai seorang wali. Hal ini diungkapkan dalam C-4, “Mantena mah tos caket ka Allah. Ma’rifat ka Allah, waliyullah, kakasihna Gusti Allah, tiasa diizabah. Numawi dina ziarah oge ngadua di tempat anu dimulyakeun ku Allah” (paragraf 3). Sementara itu, musuh yang mengejarnya tidak diidentifikasi dengan jelas. Penutur tidak menjelaskan identitas musuh yang mengejar Eyang Batuwangi.

4.4.5 Skema Aktan dan Model Fungsional
Dalam C-4, Batuwangi sebagai subjek berusaha untuk menyelamatkan diri (objek). Batuwangi pun menjadi pengirim sekaligus penerima. C-4 tidak menceritakan apa yang menyebabkan Batuwangi dikejar musuh. Di sisi lain, keselamatan diri adalah tujuan yang ingin dicapainya. Jadi ia adalah penerima yang harus mendapatkan keselamatan tersebut.
Musuh (penentang) mengejarnya sampai ke Gagayunan. Dalam keadaan terdesak, Batuwangi mendapatkan pertolongan dari Allah SWT. Kedekatannya dengan Allah memudahkan doanya cepat dikabulkan. C-4 dapat digambarkan dalam skema aktan dan bagan fungsional berikut.

pengirim objek penerima
Batuwangi keselamatan diri Batuwangi


pembantu subjek penentang
Kedekatan Batuwangi Batuwangi pengejaran musuh
denganAllah
Bagan 4.9: skema aktan C-4

Selanjutnya, skema aktan di atas diperjelas dalam model fungsional berikut.

I
Situasi awal
II
Transformasi

III
Situasi akhir
Tahap uji kecakapan
Tahap utama
Tahap kegemilangan
Keadaan perang
Pengejaran yang dilakuan oleh musuh di suatu tempat

____


____
Tempat pengejaran tersebut menjadi embel, sehingga musuh tidak dapat mengejar lagi
Bagan 4.10: model fungsional C-4
Pada situasi awal, dikisahkan bahwa waktu itu sedang terjadi perang. Batuwangi terlibat dalam perang tersebut. Pada tahap uji kecakapan, ia dikejar-kejar musuh. Sampailah pada suatu tempat di sekitar Ciudian. Di tempat tersebut Batuwangi menyempatkan diri melakukan shalat hajat. Dalam shalatnya ia membaca Surat Al Zalzalah pada rakaat pertama dan surat Al Adiat pada rakaat kedua. Kemudian ia berdoa untuk keselamatn dirinya. Akhirnya pada situasi akhir, tanah di sekitar menjadi embel, yaitu Lumpur yang berguncang (labil) dan dapat menghisap orang yang masuk ke dalamnya. Batuwangi dapat menyelamatkan dirinya.
Ternyata, kejadian pengejaran dan situasi akhir erat kaitannya dengan surat (ayat) Al Quran yang dibaca oleh Batuwangi. Dalam tafsir Al Alyy, Alquran dan Terjemahnya (2000: 480-481), surat Al Zalzalah berarti guncangan yang dahsyat, sedangkan surat Al Adiyat berarti kuda perang yang berlari kencang. Surat Al Zalzalah menngisahkan kejadian bumi yang berguncang dan hari pembalasan. Sementara itu surat Al Adiyat mengisahkan kuda perang yang berlari kencang dan menyerbu dengan berani dalam pertempuran, serta keadaan manusia yang ingkar dan bakhil, padahal Allah maha mengetahui. Guncangan bumi erat kaitannya dengan kejadian tanah tempat pengejaran menjadi embel yang labil, sedangkan kuda perang yang berlari kencang erat kaitannya dengan pengejaran itu sendiri.




4.5 Analisis Struktur Cerita 5 (C-5)
4.5.1 Teks Cerita 5 (C-5)
Tah ayeuna aya kapiderek cenah kitu ka Eyang Batuwangi, Eyang Sembah Ibu Purbakawasa nu aya di Ciwindu.
“Tah ayeuna maneh mapay wahangan Ciudian, jig mapay kaitu, di mana wae maneh mogokna.”
Indit weh caritana kitu tah malahan mah aya di dinya nu kasebut Leuwi Garasay. Datang ka dinya cenah ceuk paribasa tea mah eta teh Eyang Sembah Ibu teh kapiderek, putra saderek, euh jadi naon ari kitu halabhab.
“Cik, jang!”, da nyandak rencang cenah sabaraha hiji, tilu cenah rencangna teh. “Nyiar kadinya tah keur ubar lapar!”. Datang ka Leuwi Garasay. Jol teh mawa sangu poe, ti garasay teh.
“Ayeuna urang landi weh”, cenah, “ieu lembur urang landi Lembur Garasay”. Barangsay, Garasay.
Bet deui nepi ka itu, “meureun semet dieu urang teh. Ngan seret dieu urang teh”. Terus weh nuku umpamana ku halu. Ti dieu ka dieu satumbak, cle! pupus weh (TW 1).


4.5.2 Terjemahan C-5
Nah, ada juga yang punya ikatan saudara dengan Eyang Batuwangi, yaitu Eyang Sembah Ibu Purbakawasa yang berada di Ciwindu.
“nah, sekarang pergilah kamu menyusuri Sungai Ciudian. Pergilah menelusurinya, di mana pun kamu mogoknya.”
Pergilah mereka. Di sana (di perjalanan) ada yang disebut Leuwi Garasay. Datang ke sana dulunya Eyang Sembah Ibu yang merupakan saudara atau anak saudaranya itu kehausan.
“Coba, Nak!” waktu itu dia membawa beberapa anak buah, tiga orang anak buah. “coba cari ke sana untuk obat lapar!”. Datang (anak buahnya) ke Leuwi Garasay. Datanglah dia membawa nasi dingin sisa hari kemarin.
“Sekarang kita sebut saja” katanya, “kampung ini kita sebut Kampung Garasay”. Karena nasi ‘barangsay’ (kasar) jadi Garasay.
Pergi lagi sampai ke sana. “mungkin sampai di sinilah kita, kita hanya sampai di sini.” Kemudian dia ‘nuku’ (membuat petak tanah) misalnya dengan alu, dari sini ke sini setumbak (± 4 m2), cle! Lalu meninggal.

4.5.3 Latar
Latar tempat dalam C-5 terbentang di sepanjang sungai Ciudian, antara Ciudian sampai Ciwindu. Perjalanan tersebut rupa-rupanya menuju ke hulu karena sungai Ciudian mengalir dari arah Ciwindu. Sembah Ibu Purbakawasa berasal dari tanah Batuwangi di Ciudian. Di Tanah Batuwangi ia mendapat perintah untuk menyusuri sungai Ciudian ke hulu. Di perjalanan ia singgah di sebuah kampung dekat leuwi, yaitu lubuk yang cukup dalam di sungai. Kampung tersebut kini dikenal dengan nama kampung Garasay. Letak Garasay adalah di desa Bojong Kecamatan Banjarwangi atau kurang lebih 4 KM sebelah barat Ciudian. Sementara itu, Ciwindu yang menjadi akhir cerita, letaknya kurang lebih 6 KM sebelah barat Garasay. Jadi perjalanan yang dilakukan oleh Eyang Ibu Purbakawasa kira-kira sepanjang 10 KM ke arah barat.
Pada waktu berlangsungnya peristiwa C-5, Eyang Batuwangi masih hidup. Jadi C-5 masih berlangsung pada masa yang tidak jauh berbeda dengan cerita-cerita lainnya. Pada C-5 juga diceritakan bahwa waktu itu belum ada alat ukur yang digunakan secara khusus. Sembah Ibu mengukur tanah dengan halu (alu, batang kayu untuk menumbuk padi). Sedangkan satuan ukur yang dipakai adalah tumbak, bukannya meter atau sentimeter.

4.5.4 Tokoh
Tokoh-tokoh dalam C-5 di antaranya adalah:
a. Eyang Batuwangi
Eyang Batuwangi tinggal di Tanah Batuwangi, Ciudian. Eyang Batuwangi adalah saudara Eyang Sembah Ibu. Selain itu, ia juga mempunyai pengaruh yang sangat besar sebagai penyebar agama ataupun sebagai seorang tokoh masyarakat. buktinya ia memerintahkan Eyang Sembah Ibu untuk menyusuri sungai Ciudian ke arah hulu. Perintah ini dituruti oleh Eyang Sembah Ibu.

b. Eyang Sembah Ibu
Nama lengkapnya adalah Eyang Sembah Ibu Purbakwasa. Ia adalah seorang perempuan yang masih kerabat Eyang Batuwangi, namun penutur tidak mengetahui hubungan kekerabatan yang sebenarnya dengan Eyang Batuwangi. Eyang Sembah Ibu Purbakawasa dikenal oleh masyarakat sebagai orang keramat yang dimakamkan di Ciwindu. Sebenarnya makam yang dimaksudkan hanyalah sebuah ciri tempatnya menghilang (ngahiang). Sampai sekarang makam tersebut dikeramatkan oleh masyarakat.


c. Tiga orang pengawal Eyang Sembah Ibu
Dalam perjalanannya Eyang Sembah Ibu ditemani oleh tiga orang pengawal. Dari tuturan C-5 dapat diketahui bahwa pengawal tersebut laki-laki.

“Cik, jang!” da nyandak rencang cenah sabaraha hiji, tilu cenah rencangna teh. “Nyiar kadinya tah keur ubar lapar!” Datang ka Leuwi Garasay. Jol teh mawa sangu poe, ti garasay teh (paragraf 4).


4.5.5 Skema Aktan dan Model Fungsional
C-5 mengisahkan sebuah proses inisiasi yang dialami oleh Eyang Sembah Ibu. C-5 dapat digambarkan dalam skema aktan berikut.

pengirim objek penerima
Batuwangi kesejatian Eyang Sembah Ibu


pembantu subjek penentang
tiga orang pengawal Eyang Sembah Ibu rasa lapar dan haus

Bagan 4.11: skema aktan C-5

Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit, C-5 mengisahkan perjalanan menuju kesejatian. Hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah tahap akhir dari proses inisiasi yang dialami oleh Eyang Sembah Ibu Purbakawasa. Perjalanan yang dilakukan diakhiri dengan kejadian meninggalnya Eyang Sembah Ibu. Namun ia meninggal dengan cara yang istimewa, yaitu menciptakan kuburnya sendiri, meskipun ia tidak menggali tanah. Kematian yang seperti ini merupakan sebuah symbol dari pencapaian kesejatian. Oleh karena itu, objek dalam aktan C-5 adalah kesejatian.
Sebagai subjek, Eyang Sembah Ibu mencari kesejatian tersebut berdasarkan perintah dari Eyang Batuwangi (Pengirim). Eyang Sembah Ibu juga mendapatkan kesejatian tersebut untuk dirinya sendiri, jadi Eyang Sembah Ibu juga berfungsi sebagai penerima.
Selama perjalanannya, ia mengalami rasa haus dan lapar, yaitu ketika sampai di Leuwi Garasay. Rasa haus dan lapar (penentang) setidaknya menunda perjalanan Eyang Embah Ibu untuk beristirahat sejenak. Dalam mengatasi rasa haus dan laparnya ini, Eyang Sembah Ibu menyuruh anak buahnya untuk mencari makanan dan minuman ke sebuah kampung di dekat sungai. Anak buahnya ini bertindak sebagai pembantu.
Selanjutnya, struktur alur C-5 dapat diuraikan dalam model fungsional berikut.




I
Situasi awal
II
Transformasi

III
Situasi akhir
Tahap uji kecakapan
Tahap utama
Tahap kegemilangan
Sebuah perjalanan
Rasa haus dan lapar ketika Eyang Sembah Ibu sampai di Leuwi Garasay.

____

_____
Eyang Sembah Ibu berhasil mencapai kesejatian tersebut di Ciwindu.

Bagan 4.12: model fungsional C-5

Situasi awal cerita adalah perjalanan yang sedang dilakukan oleh Eyang Sembah Ibu Purbakawasa. Ia melakukan perjalanan ini atas perintah Eyang Batuwangi. Tahap uji kecakapan dialaminya ketika ia merasakan haus dan lapar di sekitar leuwi Garasay. Rasa haus dan lapar dapat diatasi dengan cara menyuruh anak buahnya mencari makanan dan minuman ke sebuah kampung di dekat sungai. Namun yang ia dapatkan adalah nasi barangsay, yaitu nasi yang mulai kering dan kasar. Peristiwa ini diabadikan oleh Eyang Sembah Ibu dengan menamai kampung tersebut Garasay. Setelah mengalami uji kecakapan, Eyang Sembah Ibu tidak lagi mendapatkan halangan di perjalanannya sampai di Ciwindu. Oleh karena itu dalam bagan fungsional C-5 tidak ada tahap utama dan tahap kegemilangan.

4. 6 Hasil Analsis Struktur dan Pembahasan
Dari lima cerita yang dianalisis, dapat ditemukan enam skema aktan dan lima bagan fungsional. Dalam skema aktan, Eyang Batuwangi menempati fungsi dan peran yang berbeda-beda dalam setiap cerita. Namun yang pasti Eyang Batuwangi selalu hadir dalam skema aktan dengan distribusi fungsi sebagai berikut:
a. sebagai pengirim sebanyak empat kali (pada C-1, C-2, C-4. dan C-5),
b. sebagai penerima sebanyak dua kali (pada C-1 dan C-4), dan
c. sebagai subjek sebanyak empat kali (pada aktan utama C-1, aktan bawahan C-1, C-2, C-3, dan C-4).
Didtribusi fungsi di atas menunjukkan bahwa Eyang Batuwangi telah banyak berjasa terhadap masyarakat Batuwangi. Dia lebih sering memberi karsa, ataupun menjadi pelaku aktif, daripada sebagai penerima. Selain itu, dalam fungsinya sebagai penerima Eyang Batuwangi gagal mendapatkan hak-haknya seperti pada C-1 ketika dia gagal menjadi pejabat tinggi sebagai imbalan keberhasilannya membunuh Dipati Ukur. Hal ini juga membentuk paradigma yang serba positif dari masyarakat tentang Eyang Batuwangi sebagai nenek moyang mereka.
Pada umumnya, struktur CCB tidak terlalu rumit karena memang cerita-ceritanya relatif pendek. C-1 merupakan cerita yang paling panjang di antara seluruhnya. Perlu diketahui bahwa C-1 mempunyai banyak kemiripan dengan salah satu analisis Ekajati dalam Ceritera Dipati Ukur Karya Sastra Sejarah Sunda (1982). Cerita yang mempunyai beberapa motif yang sama dengan C-1 dapat dilihat dalam analisis tentang Babad Sumedang yang ditulis oleh R.A.A Martanagara tahun 1920 berdasarkan tradisi lisan di Sumedang dan sukapura. Untuk menunjukan kemiripan dengan C-1 berikut adalah bagian yang dimaksud:
Dipati Ukur dianggap lari dari perang melawan Belanda di Jakarta. Kemudian Sultan Agung mengadakan sayembara melalui panembahan Sumedang untuk menangkap atau membunuh Dipati Ukur. Entol Wirawangsa, Umbul Sukakerta (nama lain Sukapura) memenangkan sayembara. Entol Wirawangsa mencari Dipati Ukur bersama Astamanggala, Kuwu Cihaur Beuti. Akhirnya Wirawangsa berhasil memenggal kepala Dipati Ukur di Gunung Lumbung. Keduanya menghadap Panembahan Sumedang kemudian pergi ke Mataram. Di perjalanan Wirawangsa menyerahkan kepala Dipati Ukur kepada Astamanggala. Astamanggala sampai di Mataram dan mengaku bahwa dia sendiri yang membunuh Dipati Ukur. Atas jasanya Astamanggala diangkat menjadi Bupati Ukur.
Merasa dirinya ditipu, Wirawangsa kembali menghadap panembahan Sumedang. Kemudian ia membawa surat dari Panembahan Sumedang menghadap Sultan Agung. Akhirnya Wirawangsa diangkat menjadi bupati Sukakerta dengan gelar Wira Dadaha (Ekajati, 1982: 181-182).

Wirawangsa mempunyai peran yang sama dengan Batuwangi. Akan tetapi bukan berarti Wirawangsa dan Batuwangi merupakan tokoh yang sama. Persamaannya adalah 1) Wirawangsa berasal dari Sukakerta yang tidak lain merupakan nama lain Sukapura. 2) Ia dibantu oleh seseorang (Astamanggala) yang kemudian mengkhianatinya. 3) Ia membunuh Dipati Ukur dengan cara memenggal kepalanya, dan 4) Ia juga menitipkan kepala Dipati Ukur kepada seseorang. Sedangkan perbedaaannya adalah 1) Wirawangsa membunuh Dipati Ukur di Gunung Lumbung, bukan di Bandung, 2) Batuwangi dibantu oleh seorang gandek, sedangkan Wirawangsa dibantu oleh seorang kuwu, 3) C-1 tidak menyebut-nyebut keterlibatan Panembahan Sumedang, sedangkan penggalan di atas menunjukkan pentingnya peran Panembahan. 4) Kepala Dipati Ukur diserahkan kepada Sultan Agung di Mataram, sedangkan dalam C-1 diceritakan raja berkedudukan di Sukapura, dan 5) Wirawangsa akhirnya diangkat menjadi Bupati dengan gelar Wira Dadaha, sedangkan dalam C-1 yang mendapatkan gelar dan jabatan ini justru gandek.
C-2 pernah dipublikasikan dalam Tjerita Rakjat Djilid IV (1968: 85-86) dengan judul Asal Mula Pantangan Wanita Makan Kepala Ajam (Tjerita Rakjat dari Garut Djawa Barat, Ditjeritakan Kembali oleh Soepanto). Struktur cerita dalam buku tersebut kurang-lebih sama dengan C-2. Perbedaannya adalah pada C-2, pengantin perempuan memiliki kakak laki-laki, sedangkan dalam buku tersebut laki-laki yang terbunuh ini adalah adik dari pengantin perempuan.
Sementara itu, C-3, C-4 dan C-5 hanya didapatkan dari penutur di lapangan. Dalam hal ini, C-1, C-2 dan C-3 lebih bersifat lokal, yaitu menceritakan kisah Batuwangi dalam latar termpat yang lebih sempit, yakni sebuah kampung atau sebuah desa.
Berdasarkan analisis struktur, CCB dapat diklasifikasikan sebagai legenda. Kesimpulan ini diambil berdasarkan karakteristik dasar sebuah legenda yang meliputi ciri-ciri latar, tokoh, dan jalannya cerita. Selanjutnya, berdasarkan tindakan-tindakan tokohnya, masing masing lagenda masih dapat dikategorikan ke dalam legenda pembangun masyarakat dan budaya, serta legenda penyebar agama Islam.

Cerita
Latar
Tokoh
Peristiwa
klasifikasi
Waktu
Tempat



C-1
±1625-1630 M
Tanah Batuwangi Gunung Lumbung, Sukapura, Bandung.
Eyang Batuwangi, Eyang Surapati, Dipati Ukur, Raja, Lurah dan Wira Dadaha
Eyang Batuwangi membunuh Dipati Ukur.
legenda pembangun masyarakat dan budaya






C-2
dalam masa hidup Eyang Batuwa-ngi





Tanah Batuwangi
Eyang Batuwangi, Pengantin wanita dan kakak laki-lakinya (anak Batuwangi), serta pengantin laki-laki (anak dalem Sukapura)
Batuwangi menikahkan puterinya. Dari kisah ini Eyang Batuwangi melarang keturunannya memakan kepala ayam
legenda pembangun masyarakat dan budaya



C-3
dalam masa hidup Eyang Batuwa-ngi
Di antara Tasik Malaya sampai tanah Batuwangi
Eyang Batuwangi, orang sakti dari Tasik Malaya, seorang pembawa berita
Munculnya Pasir Murungkut dan batu-batu bergelimpangan di Tanah Batuwangi
legenda pembangun masyarakat dan budaya







C-4
Pada waktu perang
Di Gagayunan Desa Ciudian
Eyang Batuwangi dan musuh yang mengejar
Tanah menjadi embel setelah Eyang Batuwangi membaca surat Al Zalzalah dan Al Adiat dalam shalat hajatnya.
Legenda penyebar agama Islam sekaligus legenda pembangun masyarakat dan budaya



C-5
dalam masa hidup Eyang Batuwa-ngi
Batuwangi, Garasay, dan Ciwindu
Eyang Batuwangi, Eyang Sembah Ibu Purbakawasa, dan tiga orang pengawal
Penamaan Kampung Garasay dan meninggalnya Eyang Sembah Ibu secara istimewa
legenda pembangun masyarakat dan budaya

Bagan 4.13: klasifikasi CCB berdasarkan strukturnya

Dalam analisis ini CCB dapat dikelompokkan ke dalam legenda pembangun masyarakat dan budaya. C-1 sampai C-5 menceritakan asal mula penamaan suatu tempat, menjelaskan kondisi geografis suatu tempat, pemberian gelar, dan pada akhirnya menciptakan aturan-aturan adat yang harus diikuti oleh keturunan Eyang Batuwangi.
Sementara itu, C-4 yang mengisahkan Eyang Batuwangi dikejar-kejar musuh dapat pula dikelompokkan sebagai legenda penyebar agama Islam. Dalam C-4 diceritakan Eyang Batuwangi melakukan shalat hajat dan membaca surat Al Zalzalah dan surat Al Adiat. Kemudian Eyang Batuwangi berdoa untuk meminta pertolongan kepada Allah. Artinya, C-4 mengandung ajaran agama untuk mendekatkan diri kepada Allah, meminta pertolongan hanya kepada-Nya, serta mengajarkan salah satu cara meminta pertolongan tersebut.
Bila dilihat dari jalannya isi cerita, Cerita-cerita Batuwangi menyajikan kejadian-kejadian yang luar biasa dan seringkali berada di luar batas nalar manusia. C-1 misalnya, cerita ini mengisahkan kehebatan Eyang Batuwangi yang dapat terbang serta Dipati Ukur yang dapat melemparkan kerbau. C-3 mengisahkan seseorang dari Tasik Malaya yang dapat mendorong gunung, dan Eyang Batuwangi dapat mengangkat batu-batu besar dalam jumlah yang banyak sekaligus. Sedangkan C-4 mengisahkan Eyang Batuwangi dapat mengubah tanah yang normal menjadi lembek dan menjadi rawa. Sementara itu, C-5 mengisahkan Eyang Sembah Ibu yang menghilang saat mengakhiri hidupnya di Ciwindu.
Demikianlah CCB mengungkapkan hal-hal yang luar biasa, tidak masuk akal, dan terkesan dilebih-lebihkan. Namun unsur-unsur cerita seperti itu semuanya masih dapat dipahami sebagai ciri sebuah legenda.