Friday, November 30, 2007

bab 2

BAB II
LANDASAN TEORETIS

2.1 Folklor
Istilah folklore mulai dimunculkan pada tahun 1846 oleh William John Thoms untuk menggantikan istilah popular antiquities dan popular literature (Finnegan, 1992: 11). Dalam bahasa Inggris, istilah ini memiliki akar kata yang sederhananya berarti the lore of the people. Sebenarnya istilah ini sejajar dengan istilah bahasa Jerman, Volkskunde (Hutomo, 1991: 5). Sementara itu, UNESCO mendefinisikan Folklor sebagai berikut:

Folklore (or traditional or popular culture) is the totality of tradition-based creation of a cultural community, express by a group or individuals and recognized as reflecting the expectation of a community in so far as they reflect its cultural and social identity; its standards and values are transmitted orally, by imitation or by other mean. Its form include among others, language, literature, music, dance, games, mythology, rituals, customs, handicrafts, architecture and other arts (Finnegan, 1992: 12).

Definisi tersebut tidak jauh berbeda dengan definisi yang diberikan oleh Danandjaya (2002: 2), bahwa folkor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan secara turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu mengingat (mnemonic device).
Sebagai bagian dari kebudayaan, folklor memiliki ciri-ciri yang dapat membedakan dari ragam budaya yang lainnya. Ciri-ciri folklor menurut Danandjaya (2002: 3) adalah sebagai berikut.
a. Penyebaran dan pewarisannya biasanya secara lisan, yaitu disebarkan dari mulut ke mulut (atau dengan disertai gerak isyarat dan alat pembantu mengingat) dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
b. Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk yang relatif tetap atau standar di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama.
c. Membentuk versi atau varian yang berbeda-beda dikarenakan penyebarannya secara lisan.
d. Bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak dikenal lagi.
e. Biasanya mempunyai bentuk yang berumus atau berpola
f. Mempunyai kegunaan atau fungsi bagi kolektifnya.
g. Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.
h. Merupakan milik bersama suatu kolektif.
i. Pada umumnya bersifat polos dan lugu, bahkan sering berkesan kasar dan spontan.



Masih menurut Danandjaya (2002: 21-22), bentuk-bentuk folklor yang ada di masyarakat dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Folklor lisan, yaitu folklor yang bentuknya memang murni lisan. bentuk folklor lisan ini misalnya bahasa rakyat, ungkapan tradisional, teka-teki, puisi rakyat, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat.
b. Folklor setengah lisan, yaitu bentuk campuran folklor lisan dengan unsur-unsur yang bukan lisan. bentuk folklor ini misalnya permainan rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara, pesta rakyat, teater rakyat, dan sebagainya.
c. Folklor bukan lisan, yaitu folklor yang bentuknya bukan lisan meskipun diajarkan secara lisan. Folklor jenis ini dapat berbentuk materi seperti rumah adat, makanan tradisional, senjata tradisional, dan sebagainya; ataupun bentuk nonmateri seperti gerak isyarat, musik rakyat, bunyi sebagai tanda komunikasi, dan sebagainya.

Pendekatan folklor yang digunakan dalam menganalisis CCB adalah pendekatan folklor modern yang holistik, artinya selain unsur lore, juga dianalisis unsur folk sebagai kolektif pemiliknya. Jadi, analisis akan selalu dikaitkan dengan latar belakang atau konteks folklor dalam lingkungan folk yang menjadi objek penelitian (Danandjaya dalam Pudentia, 1998: 57).



2.2 Sastra Lisan
Sastra lisan atau dalam bahasa Inggris oral literature diartikan sebagai unwritten literature, yaitu bentuk-bentuk sastra yang hidup dan tersebar secara tidak tertulis (Finnegan, 1992: 9; Rusyana, 1978:1; Teeuw, 1984: 279). Banyak ahli sastra yang menghindari penggunaan kata literature yang dalam bahasa Indonesia diartikan sastra. Kata literature mengacu pada literary/literacy yang selalu berarti tertulis. Jadi istilah oral literature atau sastra lisan dianggap rancu karena sekaligus memuat dua unsur yang bertentangan, yaitu lisan dan tertulis.
Sebenarnya kerancuan tersebut tidak perlu terjadi bila sastra atau literature diterjemahkan secara luas. Maksudnya, sastra tidak selalu berarti tertulis atau dengan kata lain, sastra tidak identik dengan bahasa tulis. Lagipula, dalam perkembangannya, istilah literature sendiri pada saat ini tidak selalu mengacu kepada karya-karya sastra tertulis (Teeuw, 1988: 38). Sedangkan menurut Finnegan, sastra lisan akan dapat diterima dan berguna tergantung kapada materi yang dianalisis serta permasalahan yang diajukan dalam analisis (Finnegan, 1992: 9).
Sebagai akibat dari anggapan kerancuan istilah, sastra lisan sering dipertukarkan dengan istilah tradisi lisan. Tradisi merupakan budaya yang berguna, cara untuk melakukan suatu hal, unik, berproses dalam hal pekerjaan, ide, atau nilai, dan kadang-kadang berkonotasi kuno serta muncul secara alami. Jadi, tradisi lisan adalah tradisi yang bersifat verbal atau tidak tertulis, milik masyarakat (folk), dan memiliki nilai (Finnegan, 1992: 7). Sementara itu, Danandjaya justru menyamakan tradisi lisan dengan folklor lisan (Danandjaya dalam Pudentia, 1998: 54). Memang ada karakteristik yang menyamakan sastra lisan dengan tradisi lisan atau folklor lisan yaitu bahwa penyebaran dan pewarisannya terjadi secara lisan. Untuk lebih jelasnya, Hutomo (1991: 11) memberikan cakupan tradisi lisan sebagai berikut:
kesusastraan lisan,
teknologi tradisional,
pengetahuan folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan,
unsur-unsur religi dan kepercayaan folk di luar batas formal agama-agama besar,
kesenian folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan, dan
hukum adat.

Dari uraian di atas, jelas bahwa sastra lisan merupakan salah satu bagian dari tradisi lisan ataupun folklor lisan. jadi, sastra lisan adalah sastra yang mencakup ekspresi sastra suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan secara lisan (Hutomo, 1991: 60).
Adapun sastra lisan dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yaitu sastra lisan murni dan sastra lisan yang setengah lisan. Sastra lisan murni merupakan ragam sastra lisan yang penyampaiannya benar-benar secara lisan tanpa alat bantu lain. Sastra lisan murni pada umumnya berbentuk prosa rakyat, prosa liris dan bentuk-bentuk puisi rakyat. Sedangkan sastra lisan yang setengah lisan merupakan sastra lisan yang disampaikan dengan bantuan tingkah laku serta bentuk-bentuk seni yang lain. Sastra lisan jenis ini misalnya drama panggung dan drama arena, serta sastra lisan murni yang disampaikan dengan alat musik. Seperti kita ketahui, carita pantun (Sunda), kaba (Minangkabau), dan kentrung (Jawa) biasanya dipertunjukkan dengan alat musik tradisional (Hutomo, 1991: 62-64).
Dalam hal ini, cerita-cerita Batuwangi merupakan sastra lisan yang murni, yaitu prosa rakyat atau cerita rakyat. Jenis-jenis prosa rakyat di antaranya adalah mite, legenda, dongeng, dan bentuk-bentuk naratif lainnya (Finnegan, 1992: 146-148, Danandjaya, 2002: 50). Di dalam analisis perlu juga mengklasifikasikan cerita-cerita Batuwangi sesuai karakteristik yang dimiliki masing-masing cerita.

2.2.1 Mite
Mite adalah prosa naratif yang dalam masyarakat pemiliknya diyakini sebagai kejadian yang sungguh-sungguh terjadi di masa lampau, dianggap memiliki kekuatan untuk menjawab ketidaktahuan, keragu-raguan, atau ketidakpercayaan, sering diasosiasikan dengan kepercayaan dan ritual, mite biasanya dianggap suci, tokohnya bukan manusia, melainkan binatang, dewa, atau pahlawan kebudayaan yang terjadi di dunia yang belum seperti yang kita kenal sekarang (Sutarto,1997: 12-13).
Dalam khazanah sastra nusantara, Yus Rusyana menjelaskan bahwa mite menggambarkan peristiwa yang dibayangkan pada masa lalu yang sudah tidak diketahui lagi kapan terjadinya, ditokohi oleh manusia atas atau manusia suci yang mempunyai kekuatan supranatural, atau manusia yang berasal dari atau yang mempunyai hubungan dengan dunia atas, yaitu kedewaan atau kayangan. Mite dapat diklasifikasikan menjadi mite penciptaan dan mite yang menceritakan asal-usul terbentuknya sesuatu (Rusyana, 2000: 5-7).

2.2.2 Legenda
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Berbeda dengan mite, legenda bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia yang seperti kita kenal sekarang (Danandjaya, 2002: 66).
Dalam khasanah sastra Nusantara, legenda pun dapat diklasifikasikan sebagai 1) legenda penyebaran agama Islam, dan 2) legenda pembangun masyarakat dan budaya. Kelompok legenda penyebar agama Islam mengandung unsur penyebaran agama Islam di tempat tertentu di Indonesia oleh para pelaku yang memerankan tokoh ulama. Sementara itu, tokoh legenda pembangun masyarakat dan budaya misalnya melakukan berbagai kegiatan kemasyarakatan dan kebudayaan seperti membangun rumah, melakukan upacara tertentu, membuat senjata, menjadi raja dan sebagainya (Rusyana, 2000: 41-42).
Legenda merupakan jenis prosa rakyat yang paling mempunyai nilai sejarah, terutama sebagai sumber penyusunan sejarah lokal desa-desa di Indonesia dari masa yang belum begitu lampau. Namun demikian, untuk menggunakannya sebagai sumber sejarah, legenda harus dibersihkan dari unsur-unsur folklor yang pralogis dan memiliki formula sastra lisan, serta perlu juga mempelajari sejarah penyatuan desa-desa tersebut dan bentuk-bentuk folklor lain yang ada di masyarakat (Danandjaya dalam Sutrisno, 1991: 472-474).

2.2.3 Dongeng dan Bentuk Naratif Lainnya.
Dongeng adalah prosa naratif yang bersifat fiksi, tidak dipercayai sebagai dogma atau sejarah, mungkin terjadi ataupun tidak, tidak dianggap serius, dapat terjadi di mana saja dan kapan saja, dan biasanya merupakan pengalaman perjalanan binatang, kadang-kadang peri, atau tokoh manusia (Bascom dalam Finnegan, 1992: 148-149). Dongeng juga merupakan cerita pendek kolektif kesusastraan lisan. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan, walaupun ada juga yang melukiskan kebenaran, pelajaran (moral) atau bahkan sindiran (Danandjaya, 2002: 83).
Danadjaya membagi dongeng ke dalam empat kelompok, yaitu:
a. dongeng-dongeng binatang (animal tales),
b. dongeng-dongeng biasa (ordinary folktales),
c. lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes), dan
d. dongeng-dongeng berumus (formula tales).
Selain dongeng, bentuk naratif prosa rakyat di antaranya adalah memori atau memorat, yaitu kisah seseorang yang berisi pengalaman yang luar biasa. Cerita seperti ini tidak mempunyai struktur tertentu. Yang menarik dari memorat adalah hubungannya dengan kepercayaan penduduk setempat (Hutomo, 1991:65). Sementara itu, Finnegan memisahkan fabel dan sage sebagai bentuk naratif yang berbeda dengan dongeng ( Finnegan, 1992: 149).
2.3 Pendekatan Struktural terhadap Karya Sastra
Analisis struktur memperlakukan karya sastra sebagai satu kesatuan utuh di mana unsur-unsurnya berkaitan satu sama lainnya. Oleh karena itu, analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Namun demikian, karena bentuk dan sifat karya sastra itu berbeda-beda, maka setiap karya sastra memerlukan metode analisis yang sesuai dengan sifat dan strukturnya (Teeuw, 1988: 35-36).
Pendekatan struktural terhadap sastra lisan sudah banyak dilakukan, misalnya pendekatan formula-formulaik Albert Lord dan struktur mitos Levi-Strauss. Selain itu muncul juga teori-teori struktur karya sastra misalnya, structural model in folklore and transformational essays yang ditulis oleh Elly Kongas Maranda dan Pierre Maranda pada tahun 1971, the morfology of folktale yang ditulis oleh Vladimir Propp, dan penelitian-penelitian lain yang ditulis oleh para ahli seperti Ben Amos, Alan Dundes, Heda Jason dan sebagainya (Hutomo, 199123-28).

2.4 Struktur Cerita Rakyat
Sebagai sastra lisan yang berbentuk cerita narasi, cerita rakyat dibangun oleh unsur-unsur pembentuk karya narasi seperti pada sastra modern. Misalnya menurut Wellek dan Austin Warren (1990: 283), unsur-unsur pembentuk karya naratif, misal novel, terdiri atas alur, penokohan, dan latar.

2.4.1 Alur
Alur atau plot merupakan urutan yang temporal dan logis sebagai implikasi atau biasa disebut kausalitas (Todorov, 1985: 41). Menurut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2000: 113), alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab-akibat. Peristiwa yang satu menyebabkan atau disebabkan peristiwa yang lain. Sedangkan pengaluran merupakan kegiatan pengembangan alur supaya indah dan menarik.

2.4.2 Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita, sedangkan penokohan adalah cara menampilkan tokoh atau pelaku dalam cerita (Aminuddin, 1995:79). Mengenai penokohan, menurut Wellek dan Warren (diterjemahkan oleh Melani Budianta, 1990: 288), ada penokohan statis dan ada penokohan dinamis atau penokohan berkembang.

2.4.3 Latar
Latar menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2000: 216). Oleh karena itu, unsur latar terdiri atas unsur tempat atau lokasi, waktu, dan latar sosial.
Latar tempat berarti lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan. latar tempat dapat diketahui dari penamaan daerah secara faktual, inisial, deskripsi, atau secara implisit. Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa. Latar waktu dapat dijelaskan secara jelas maupun samara. Sementara itu, latar sosial berhubungan dengan prilaku masyarakat di suatu tempat yang diceritakan (Nurgiyantoro, 2000: 227-233).

2.5 Skema Aktan dan Model Fungsional A.J. Greimas
Analisis struktur akan lebih mengeksplorasi eksistensi tokoh dan keterlibatannya dalam berbagai peristiwa. Dengan demikian, perlu dianalisis hubungan antar tokoh dalam cerita. Oleh karena itu, penulis menggunakan teori aktan dan model fungsional yang dikembangkan oleh Greimas.
Algirdas Julien Greimas (A.J. Greimas) adalah penganut aliran strukturalis dari Prancis. Ia mengembangkan teori Propp menjadi dasar sebuah analisis naratif yang universal (Teeuw, 1988: 293). Sebelumnya, Propp telah memperkenalkan unsur naratif terkecil yang sifatnya tetap dalam sebuah karya sastra sebagai fungsi (Todorov, 1985: 48). Berdasarkan penelitiannya tentang dongeng Rusia, Propp membatasi fungsi cerita sebanyak 31 fungsi. Semua fungsi tersebut sifatnya tetap serta urutannya sama dalam setiap dongeng (Hutomo, 1991: 25). Berdasarkan teori Propp inilah Greimas mengemukakan teori aktan.
Menurut Greimas (dalam Jabrohim, 1996: 13) aktan adalah sesuatu yang abstrak, seperti cinta, kebebasan, atau sekelompok tokoh. Menurutnya juga, aktan adalah satuan naratif terkecil. Dikaitkan dengan satuan sintaksis naratif, aktan berarti unsur sintaksis yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu. Fungsi adalah satuan dasar cerita yang menerangkan tindakan logis dan bermakna yang membentuk narasi. Dengan kata lain, skema aktan tetap mementingkan alur sebagai energi terpenting yang menggerakkan cerita sehingga menjadi penceritaan, dengan episode terpenting yang terdiri atas permulaan, komplikasi dan penyelesaian (Ratna, 2004: 139)
Kemudian Greimas mengelompokkan aktan ke dalam tiga perangkat oposisi biner. Tiga pasangan oposisional fungsi aktan tersebut disusun dalam skema berikut.

pengirim objek penerima
Sender receiver


pembantu subjek penentang
helper opposant

Bagan 2.1: skema aktan

Menurut Ratna (2004: 139), di antara ketiga pasangan oposisi biner di atas yang terpenting adalah pasangan subjek-objek. Pada umumnya subjek terdiri atas pelaku sebagai manusia, sedangkan objek terdiri atas berbagai kehendak yang mesti dicapai, seperti kebebasa, keadilan, kekayaan dan sebagainya. Suatu perjuangan umumnya didalangi oleh kekuasaan (pengirim), tetapi bila berhasil maka pelaku (penerima) menerimanya sebagai hadiah. Kekuasaan dapat bersifat kongkret seperti raja, dan penguasa lain. Kekuasaan juga dapat bersifat abstrak seperti masyarakat, nasib, dan waktu.
Tanda panah dalam skema merupakan unsur penting yang menghubungkan fungsi sintaksis naratif masing-masing aktan. Tanda panah dari pengirim mengarah ke objek berarti ada keinginan dari pengirim untuk mendapatkan, menemukan, atau memiliki objek. Tanda panah dari objek ke penerima berarti objek yang diusahakan oleh subjek dan diinginkan oleh pengirim diserahkan atau ditujukan kepada penerima. Tanda panah dari pembantu menunjukkan bahwa pembantu memudahkan subjek untuk mendapatkan objek. Sebaliknya, tanda panah dari penentang menuju subjek berarti penentang mempunyai kedudukan untuk menentang, menghalangi, mengganggu, merusak atau menolak usaha subjek. Tanda panah dari subjek menuju objek berarti subjek bertugas menemukan atau mendapatkan objek yang dibebankan oleh pengirim. Adapun fungsi atau kedudukan masing-masing aktan adalah sebagai berikut.
a. Pengirim (sender) adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide dan penggerak cerita. Pengirim memberikan karsa kepada subjek untuk mencapai objek.
b. Objek adalah sesuatu yang dituju atau diinginkan oleh subjek.
c. Subjek adalah sesuatu atau seseorang yang ditugasi pengirim untuk mendapatkan objek.
d. Pembantu (helper) adalah sesuatau atau seseorang yang membantu atau mempermudah usaha subjek untuk mendapatkan objek.
e. Penerima (receiver) adalah sesuatu atau seseorang yang menerima objek yang diusahakan oleh subjek.
f. Penentang (opposant) adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi usaha subjek dalam mencapai objek.

Dengan demikian, di antara subjek dan objek ada tujuan, di antara pengirim dan penerima ada komunikasi, sedangkan di antara penolong dan penentang ada bantuan atau tentangan. Aktan jangan dikacaukan dengan aktor. Aktan merupakan peran-peran abstrak yang dimainkan oleh seorang atau sejumlah pelaku. Dengan kata lain, aktor merupakan manifestasi kongkret dari aktan (Ratna, 2004: 139).
Sebuah cerita dapat mempunyai beberapa aktan. Setiap aktan dalam sebuah skema dapat mempunyai fungsi ganda. Pengirim dapat berfungsi sekaligus sebagai subjek atau penerima. Seorang tokoh dapat menempati fungsi aktan yang berbeda. Jika tidak ada aktan yang tidak terisi oleh sebuah fungsi atau tokoh maka digunakan tanda Ø dan disebut fungsi zero dalam aktan.
Adapun model fungsional mengemukakan model cerita yang tetap sebagai alur. Model itu dinyatakan dalam berbagai tindakan yang disebut fungsi. (Jabrohim, 1996: 15). Model fungsional berfungsi untuk menguraikan peran subjek dalam rangka melaksanakan tugas dari pengirim yang terdapat dalam aktan. Model fungsional terbangun oleh berbagai peristiwa yang dinyatakan dalam kata benda misal, keberangkatan, perkawinan, kematian dan sebagainya.
Model fungsional yang digunakan adalah model fungsional Greimas yang dimodifikasi oleh Monod (dalam Zaimar: 1999). Model fungsional dibagi menjadi tiga bagian yaitu situasi awal (1), transformasi (2), dan situasi akhir (3). Situasi transformasi dibagi menjadi tiga tahapan yaitu, tahap uji kecakapan, cobaan utama, dan cobaan membawa kegemilangan. Model Fungsional dibentuk dalam bagan sebagai berikut:

I
II
transformasi
III
Situasi awal
Tahap uji kecakapan
Tahap utama
Tahap kegemilangan
Situasi akhir

Bagan 2.2: model fungsional

Situasi awal cerita menggambarkan keadaan sebelum ada suatu peristiwa yang menggangu keseimbangan (harmoni). Transformasi meliputi tiga tahap cobaan. Ketiga tahapan cobaan ini menunjukkan usaha subjek untuk mendapatkan objek. Dalam tahap cobaan awal, subjek mulai mencari objek. Terdapat berbagai rintangan, di situlah subjek mengalami uji kecakapan. Dalam tahap ini pula muncul pembantu dan penentang. Tahap cobaan utama berisi gambaran hasil usaha subjek dalam mendapatkan objek. Tahap cobaan membawa kegemilangan merupakan bagian subjek dalam menghadapi pahlawan palsu, misalnya musuh dalam selimut, atau seseorang yang berpura-pura baik padahal jahat. Tabir pahlawan palsu terbongkar, bila tidak ada pahlawan palsu maka subjek adalah pahlawan. Sedangkan situasi akhir berarti keseimbangan, situasi telah kembali ke keadaan semula. Semua konflik telah berakhir. Di sinilah cerita berakhir dengan subjek berhasil atau gagal mencapai objek.

2.6 Konteks Penceritaan
Konteks penceritaan meliputi lingkungan penceritaan serta situasi penceritaan. Lingkungan penceritaan, seperti dijelaskan oleh Yus Rusyana (1978: 8-12) merupakan pembahasan mengenai unsur-unsur berikut:
a. penutur cerita,
b. kesempatan bercerita,
c. tujuan bercerita, dan
d. hubungan cerita dengan lingkungannya.
Sementara itu, situasi penceritaan menggambarkan hubungan antara penutur dengan pendengar atau audience. Di dalam sebuah penuturan dan pertunjukan sastra lisan, terdapat enam bentuk hubungan sebagai berikut:


a. Terdapat batas yang jelas antara audience dengan penyaji. Batas ini ditandai secara fisik, misal adanya mimbar atau panggung yang tinggi untuk pembicara. Audience tidak terlibat sama sekali dalam proses pertunjukan atau penceritaan selain sebagai penonton atau pendengar saja.
b. Audience dan penyaji relatif dipisahkan dengan pembatas yang tidak jelas, audience tidak banyak terlibat dalam penyampaian teks.
c. Batas yang jelas antara audience dan penyaji, namun audience terlibat secara aktif dalam penyajian.
d. Penyaji dan audience bergiliran. Pada waktu seorang penyaji bukan gilirannya bercerita atau bermain, maka ia berperan sebagai audience.
e. Tidak ada batas antara audience dengan penyaji. Semua terlibat secara komunal sebagai audience sekaligus penyaji.
f. Penyajian tertutup tanpa kehadiran audience, misal seseorang yang bernyanyi sendiri. Pada konteks ini, si penyaji menganggap dirinya sendiri sebagai audience (Finnegan, 1991: 97-98).

2.7 Fungsi Sosial Sastra Lisan
Finnegan (1992: 128-129) mengungkapkan fungsi sastra lisan sebagai berikut:
a. fungsi untuk mendasari atau mengesahkan eksistensi suatu tatanan sosial,
b. membentuk atau mempertahankan identitas dan alat pengesahan pengalaman,
c. sebagai paradigma untuk memahami suatu komunitas dan menentukan serta membentuk pandangan dan kepribadian seseorang dalam komunitas tersebut,
d. fungsi untuk menghibur,
e. untuk memahami bentuk-bentuk ideologi yang berbeda pada satu subjek narasi yang bercerai berai namun tetap identik, dan
f. fungsi kognitif dan menyebarkan kaidah ritual dan pertunjukan.

Dalam analisis fungsi sosial akan dibahas bagaimana CCB menjalankan fungsi-fungsi di atas secara signifikan, langsung, maupun tak langsung dalam konteks masyarakat Batuwangi. Namun demikian, pengungkapan fungsi tersebut tidak bisa dilepaskan dari bentuk-bentuk folklor lainnya yang berkembang di masyarakat.

No comments: