Thursday, November 29, 2007

Tuhan, Kaukah yang Miscall Aku?

Ponselku berdering tiga kali. Bunyi yang membosankan. Aku meraihnya dalam kantuk yang malas, “halo!” tak ada jawab. Ah cuma miscall. Siapa pagi begini sudah iseng? Nomor tak kukenal. Sambil menggamit selimut kulemparkan ponsel jebot itu ke atas kasur. Tidur yang terinterupsi tak pernah bisa aku lanjutkan.
Tiba-tiba anganku bangkit dan melayang. Terkenang suatu malam yang sebenarnya ingin kubuang dari ingatan. Sebuah kamar berdinding bata merah. Malam yang kabut, segelas cola, komputer yang nyala dan perempuan yang telanjang. Aku sedang menulis ketika tangan kecilnya merenggut perutku. Di balik kemeja tangan liar itu memeriksa detak jantungku, lekat di dada, lalu menjelajah hingga ke bawah pusar. Sebuah kecupan di telinga memaksaku meninggalkan komputer. Kulanjut menulis di bawah gamitan selimut. Aku tuliskan semua kata yang paling cinta di gelinjang tubuhnya. Penaku bergoyang mengaduk cola. Tulisanku itu selesai setelah getaran ponsel yang tertimpa miscall kurasakan dari tubuhnya. Malam pun berakhir dengan cola yang kehabisan desah, dan aku kehilangan soda.
Anganku yang sedang terbang dijaring oleh dering ponsel yang kembali miscall. Nomor yang tak dikenal tadi, kusimpan dalam buku telepon dengan nama ‘?’. Aku tak pernah mau membalas miscall atau balik menghubungi orang yang miscall. Kalau memang penting dia bisa menelpon atau mengirim pesan singkat saja. Meski begitu, aku memahami banyak makna dari miscall. Mulai dari iseng, salah sambung, sekedar menyapa, mengecek nomor, ingin dihubungi, menandakan kedatangan, persetujuan, sampai teror. Ah, sudahlah. Yang pasti tak akan ada tidur lagi hari ini. Aku memaksakan diri untuk bangun. Buang air kecil, cuci muka dan gosok gigi. Dua menit yang terpaksa di kamar mandi.
Kembali ke kamar aku menumpuk bantal, menggulung selimut, lalu aku hempaskan di sudut ranjang. Ponselku masih tergeletak di atas kasur. New message received.
From: Halim
Wah, rmhmu msh yg dl kan? Dah lama Qt tak sua, ntr sore Aq dtg.
Jgn kmna2 ya. coz.
Kawan lamaku Halim. Seorang Melayu yang lebih senang dipanggil seperti adik kecilnya melafalkan namanya /Haim/. Sebuah panggilan yang mengingatkanku pada kata dalam Bahasa Jerman yang berhomofon, Heim, Heimat, Heimweh. Sebaliknya dia pun memanggilku dengan “Wah”, bukan “Wahyu” atau lazimnya orang sering menyingkatnya “Yu”. Sudah setahun lebih kami tak bertemu. Sebelum dia pindah kerja ke luar kota, kami sering menghabiskan waktu berdua. Kawanku yang sok kritikus sastra itu sering mengajakku berdiskusi tentang karya-karya mutakhir yang dia update setiap hari.
OK, aku di rmh, dtg aj!
Message has been sent.
Hari ini ada tulisan yang harus aku selesaikan, jadi aku butuh waktu di depan komputer, mungkin seharian, mungkin juga beratus-ratus hari. Tidak, aku ingin menyelesaikan tulisan ini sebelum Haim datang. Jadi aku bisa merasa puas bila dia mengoceh tentang kelemahan tulisanku nanti.
Sehari telah berlalu. Senja rebah dalam hujan, kini sudah masuk seperempat malam. Dari kaca jendela kulihat kota yang tertidur pulas berselimut sembab sisa-sisa hujan. Pilar-pilar gedung yang biasanya kulihat angkuh kini merinding kedinginan. Aspal hitam melarutkan gerimis. Gemerisisk daun lengkeng di halaman tertiup nafas rimba kota ini. Titik-titik kabut mengendap lewati bingkai jendela. Ah dingin sekali.
Aku sontak melompat setelah kuketik tamat pada tulisanku. Bukan teriak “Eureka!” melainkan menutup jendela. Mencoba menyumbat dinginnya kota yang sepi supaya tidak masuk ke dalam kamarku. Kuselotkan kunci jendela. Dari balik kaca berembun kulihat sebuah skuter merah berhenti di luar pagar. Haim. Aku bergegas menuju teras depan.
“Apa kabar, sobat?” tawanya masih seperti biasa.
“Baik, baik. Wah banyak kesibukan rupanya kawanku ini. Kok baru nongol? Mari masuk!” kugandeng dia memasuki rumah yang dari tadi pintunya menganga.
“Minum apa? kopi, teh, jeruk panas?” tak perlu kupersilakan lagi dia sudah sudah rebah di sofa.
“Rokok!” dia terhenyak lalu membuka jaket kuyupnya. Membeberkannya di sandaran sofa.
“Ah, ya” aku merogoh atap rak. Di situ aku biasa menyimpan rokok kretekku. Kulempar ke atas meja. Aku ke dapur membuat minuman. Teh tubruk diseduh air mendidih ditambah seujung sendok gula kesukaan dia saat dingin seperti ini. Segelas untuknya, segelas yang lebih manis untukku.
Dia bersandar santai di sofa sambil mengepulkan asap rokok. Begitu nikmatnya. Dia menyambut segelas teh dari tangan kananku.
“Hm. Bagaimana kabar kotamu, ada kemajuan apa? Kau sendiri, masih kurus begini belum sempat korupsi rupanya pejabat satu ini” tanyaku.
“Hey,,, hey… ingat, aku ini kan cuma pejabat rendahan. Ya… korupsi juga kecil-kecilan lah. Kau sendiri, tambah kurus pula kau ini. Masih berkutat dengan diksi buat puisi-puisimu?”
“Yap!” aku menuding tanda setuju. “Aku ada setumpuk karya untuk kaugeledah lagi. Dan yang paling anyar baru saja aku selesaikan. Yang ini pasti dimuat di koran nasional. Untuk pertama kalinya tentu. Aku ambilkan ya.”
“Eit… eit… Tidak-tidak. Kali ini aku datang bukan untuk karya-karyamu. Kita akan senang-senang. Lagi pula aku sudah kenal dengan gaya menulismu. Jadi, sudah simpanlah dulu. Besok Kau kirim karyamu itu ke media.”
“Apa? senang-senang?”
“Ya, kita nikmati kota yang malam. Atau tepatnya malam yang kota.”
“Maksudmu?” aku heran, biasanya dia justru menghindari keramaian. Senangnya menikmati kesepian. Selama berkawan dia sering mengajakku ke gunung, ke tepi danau, atau ke pantai yang sepi. Bahkan dia tidak begitu menikmati teknologi. Punya ponsel saja setelah dia pindah ke luar kota. Itu pun jarang ia pakai. Menghubungiku saja paling sekitar tiga bulan sekali. Aku sampai sering mengatainya alien, manusia tragik, atau sufi burung. Sufi gagal. Sebelum aku kembali bertanya, dia melemparkan jaketku yang tergulung di sudut sofa tepat ke dadaku.
“Ayo pergi!” ajaknya singkat sambil memakai jaketnya kembali. Dia pun berlalu meninggalkan pintu dan tak menghiraukanku.
Sejenak aku terpana. Aku sudah terbiasa dengan ajakannya yang sering memaksa dan tiba-tiba. Tapi aku merasa asing dengan keinginannya untuk bersenang-senang dalam keramaian.
“Kita ke mana?” tanyaku sambil mengikutinya.
“Sudah ikut saja.” Jawabnya. Dia menghidupkan skuternya. Aku masih merapikan jaketku ketika naik di belakangnya.
Skuter melaju dengan kecepatan yang cukup di atas jalanan yang basah. Malam masih lengang, tapi semakin ke pedalaman rimba kota, malam semakin riuh dengan kendaraan dan kaki yang berjalan. Di dekat stasiun kereta kulihat ada kerumunan. Jalan sedikit macet, kendaraan merapat ke trotoar didesak ambulans yang meraung.
“Ada apa ini?”
“Ah, biasa kecelakaan lalu lintas.”
Kami terus melaju dalam tawa. Berkeliling kota dua-tiga putaran. Menggoda para pelacur yang mangkal di pinggir-pinggir jalan. Haim hampirkan skuternya ke tepi mereka, bunyikan klakson dan berhenti. Namun begitu salah satu atau salah dua dari mereka mendekat Haim langsung tancap gas. Lalu kami tertawa semakin puas. Begitulah yang kami lakukan hingga tengah malam tiba.
Setelah cukup lelah, kami putuskan untuk mencari kehangatan dalam sebuah kafe. Dari luar tampak kafe itu menempelkan lukisan-lukisan ukuran besar di dindingnya. Skuter Haim sandarkan di trotoar. Kami masuk masih dengan tawa yang tersisa. Seorang waitress menyambut dengan muka gembira. “Minuman terbaik untuk malam paling baik!” sumringah sekali Haim memesan minuman pada waitress tadi. Kami duduk di atas kursi yang tinggi, sebotol minuman datang. Entah merk apa, sepertinya bahasa Perancis. Dua gelas piala mengikuti. Haim menuangi kedua gelas itu. Ada desah dan sedikit busa keluar dari dalam gelas.
“Kau ceritalah. Kau masih dengan kekasihmu itu, Si Bulan… siapa namanya, Si Luna?”
Pertanyaan yang paling kubenci keluar dari mulut kawanku. Sebenarnya aku malas menjawab pertanyaan itu. Hatiku saja yang meracau, berbicara tentang segalanya. Anganku pun kembali mengembang. Terbang menuju tiga bulan silam. Terakhir aku dengannya bertengkar. Sudah itu Lunaku menghilang, entah kemana. Setiap malamku menjadi sepi. Tak ada yang mengintipku dari jendela saat malam, tak ada yang memberiku kecupan selamat malam saat aku bekerja sampai larut di depan komputer. Sudah seratus malam, bulan tak tampak bergantung di langit. Dalam rindu aku sering berusaha menelfon Luna. Tapi ia sudah berganti nomor. Bahkan ia menghilang dari rumahnya, menghilang pula dari hidupku.
“Hei… kok malah melamun?” Haim memecah lamunanku yang hampir bulat. ia mengangkat gelasnya, menyeruput minuman yang sejenak terabaikan. “jangan katakan kau sudah menikahi gadis itu tanpa sepengatahuanku. Ayo, ceritakan tentang hidup kalian!”
“Tidak. Kami…” Aku kikuk menjawabnya.
“Kalian… Ha…ha…ha” dia pandai sekali menebak. Dan tertawanya itu puas menggelegar di atas kejengahanku.
“Kenapa kamu tertawa begitu? Senang melihat kawanmu menderita, hah?”
Haim masih tertawa.
“Tenang, Kawan. Dibawa tenang sajalah. Jangan kira aku menertawakan penderitaanmu saja. Hal serupa juga menimpaku. Tapi aku tetap tertawa. Beginilah hidup, the unbearable lightness of being” katanya diakhiri kutipan judul novel dunia.
Mendengar Haim mengalami hal serupa, aku juga ikut tertawa puas. Dalam bulir air mata yang mendesak lewat pelupuk mata berkali-kali bayangan wajah Luna tertawa juga padaku. Akhirnya kami lewati waktu dengan penuh tawa. Tawa yang sangat ringan untuk sesuatu yang sangat berat. Pukul sepuluh kami turun kembali ke kota. Kabut sudah mengendap bersama tanah. Sebagian tersangkut di pucuk dedaunan yang masih dingin. Bulan tampak ragu-ragu mengibaskan mega hitam. Tak jelas bentuk bulan malam ini. Purnama, sabit, atau lonjong. Tapi aku tak peduli, aku masih larut dalam tawa yang disengaja.
Kami habiskan hari yang masih kuncup itu dengan tertawa. Kali ini tawa kami sudah serak. Pukul empat subuh kami baru keluar dari kafe. Haim yang minum lebih banyak tak sanggup mengantarku pulang. Sebenarnya dia mau, tapi aku yang tak mau direpotkan orang mabuk. Akhirnya aku pulang sendiri naik angkutan kota yang sudah berseliweran mengangkut orang-orang pasar.
Geliat pagi sudah tampak ketika aku sampai ke rumah. Fajar sudah menguning dan langit hanya sedikit berawan putih. Aku langsung menghempaskan badan ke atas kasur yang kesepian malam ini tanpaku. Aku merogoh bawah punggungku. Ponsel yang semalaman tertinggal mengganjal rebahku yang ingin kunikmati. Saat ingin kulempar ia, pada layarnya terbaca 24 miscall. Wah banyak sekali. Aku buka kunci tombolnya. Deretan titimangsa sejak malam tadi. Semua dari nomor yang sama, ‘?’. Masih dalam keherananku, ada dua pesan pendek yang menunggu untuk dibuka.
From: ?
Hnya skali ini sj. Tmui aq di stsiun sblm jm 10 atau qt tk prnh bertmu lg.
Itu yang pertama. Dan yang kedua semakin meyakinkanku untuk mengganti tanda tanya di buku telepon ponselku dengan sebuah nama yang pasti.
From: ?
Aq srhkn smua ksabaranku untkmu. Baiklh aq kmbl mngalah. Hnya krna cnta aq mnujumu.
“Luna! Kamu di sini?” aku teriak memanggil Lunaku sambil mencari-cari ke setiap sudut rumah. Tidak ada. Aku hampir putus asa ketika kuganti nama tanda tanya itu dengan LD, Luna Deswita. Inisial sama kusematkan pada namanya yang dulu kawan-kawanku sering berseloroh tentangnya. Lady Diana, Lady Die, tapi buatku tetap Luna Deswita. Akhirnya kuhempaskan tubuh lelah ini di atas sofa. Tapi layaknya tidur yang terinterupsi tak pernah aku lanjutkan lagi. Aku hanya rebah sambil memandang langit-langit rumah. Mataku menyorot putih langit-langit seperti lampu bioskop menerjang layar. Lalu sederet gambar kenangan perjalananku dengannya hidup. Sebuah film sedang diputar dengan alur yang tidak jelas. Aku tidak beranjak dari sofa yang beberapa jam menjadi kursi bioskop.
Matahari sudah sepenggalah ketika aku bangkit. Masih ada dua gelas teh dingin di meja. Aku habiskan segelas, lalu menuju teras depan. Koran lokal hari ini sudah tergolek di atas jejak sepatu berlumpur yang mengering. Halaman depan masih dipenuhi berita bencana flu burung dan kekeringan di tanah air. Aku bosan dengan berita-berita yang itu-itu juga. Mataku terperangkap di sudut halaman koran.
Seorang Wanita Muda Tewas Tertabrak Truk
Kecelakaan yang merenggut nyawa tersebut terjadi tak jauh dari stasiun kereta. Polisi mengidentifikasi korban bernama Luna Deswita (22), warga jalan Teratai, kelurahan Selasih, Kota Utara…
Tak sanggup aku lanjutkan membaca berita itu. Semua kenangan berkumpul di langit lalu begumul menjadi sebuah meteor sebesar rumah. Lalu jatuh menimpaku. Saat hampir aku terjatuh, ponselku berdering lagi. Tanganku gemetar ketika kuangkat ponselku.
LD calling
Tapi saat kulekatkan ponsel pada telingaku, tak ada jawab.

No comments: