Thursday, November 29, 2007

MAKAM DI BAWAH KEMBANG KERTAS

Dulu, aku sering bermain ke bukit di balakang rumah, menyusuri deretan pohon cemara, menghirup uap embun yang menggeliat dari pucuk-pucuk daunan teh. Dari puncak bukit itu dapat kulihat lekuk-lekuk lembah dan punggung perbukitan memantulkan hijau perkebunan teh. Aku juga suka mengamati lekuk-lekuk pokok teh yang entah berapa puluh atau ratus tahun usianya. Kakekku pernah bercerita, pokok-pokok teh itu telah ada sejak zaman Belanda. Memang, tanah kelahiranku dulunya afdelling sebuah perkebunan yang mutunya bagus.
Kakek juga pernah bercerita tentang segala hal peninggalan Belanda yang dulunya ada di sini. Di tegalan yang kini ditanami singkong dan ubi oleh orang-orang dulunya lapangan tenis, pilar-pilar yang berserakan itu adalah bekas gedung seorang Belanda petinggi perkebunan, dan di atas tanah berbatu yang tak jelas milik siapa itu dulunya berderet gedung-gedung yang isinya nona-nona berambut pirang. Ceritanya, di halaman gedung itu biasa berlalu-lalang binatang hutan seperti rusa, menjangan dan kelinci. Tuan-tuan Belanda itu memberi mereka makan setiap hari. Singkatnya, tanah ini dulu begitu asri, indah, dan damai.
Tapi itu semua dulu, zaman Belanda. Sekarang suasananya telah berganti menjadi wajah perkampungan yang tak teratur. Tidak ada lagi pohon cemara yang berderet di pinggir jalan. Perkebunan pun tampak kusam, banyak pokok teh yang sengaja ditebang untuk kayu bakar, tanahnya ditanami palawija. Demikian juga gedung-gedung yang megah berdiri, kini tinggal tanah berpasir dan batu dengan beberapa sisa pilar yang berserakan. Apalagi binatang-binatang yang dulu sering berlalu-lalang di halaman, kini entah di mana, karena di hutan pun tak mudah ditemui. Perkebunan telah bangkrut sejak enam tahun lalu. Sejak itu masyarakat mengambil alih perkebunan yang terlantar. Sementara gedung-gedung yang berdiri kokoh itu akhirnya rubuh setelah bagian demi bagian dipreteli oleh warga.
Sebenarnya masih ada dua sisa kejayaan perkebunan Belanda yang masih berdiri. Satu jembatan di pinggir desa, dan satunya lagi sebentuk makam yang dinaungi pohon kembang kertas merah muda. Bila gedung-gedung dirubuhkan dengan alasan dianggap menjadi rumah hantu karena terpencil dan tidak berpenghuni, maka jembatan itu sengaja dibiarkan karena memang masih dibutuhkan untuk transportasi warga. Sedangkan makam di bawah kembang kertas itu tidak pernah diganggu karena dianggap terlalu angker sehingga tidak ada warga yang berani mengganggu.
Tentang makam itu kakek juga pernah bercerita. Katanya yang dikuburkan di sana sebenarnya adalah dua orang gadis Belanda yang meningal sekitar tahun 20-an. Di atasnya dipajang dua patung anak perempuan dari marmer kira-kira setinggi 50 cm. Kemudian di sisinya ditanamkan sebatang kembang kertas yang kini sulur-sulurnya telah menjalar ke segala arah. Jadilah makam itu teduh dan lembab, sehingga makam jadi berlumut, tidak bertuan, dan tidak terawat.
***
Tidak biasa orang itu bertandang ke rumah kakek. Bewok namanya. Ia dikenal sebagai orang pintar. Selain tubuhnya yang tinggi besar, ia juga tampak seram dengan kumis dan jenggot tebal serta jambang yang dibiarkan berjuntai di pipinya. Selain penampilannya yang sesuai dengan namanya, ia juga dianggap memiliki kekuatan supranatural, yaitu bisa berkomunikasi dengan mahluk gaib. Sebagian orang memercayai kekuatan yang dimilikinya, namun banyak pula yang menganggapnya sebagai pembohong belaka.
“Ada apa Jang? tak biasanya Ujang Bewok datang ke sini.” Tanya kakek setelah beberapa saat berbasa-basi.
“Begini Kek, saya ingin tahu cerita tentang makam di kembang kertas itu, Kek. Singkatnya, saya mau membandingkan temuan saya tentang makam itu denga Kakek yang tahu sejarah zaman dulu.” Katanya.
“Ah, saya tidak tahu apa-apa, lagi pula sudah tua begini mah sudah banyak lupa. Memangnya, Ujang Bewok teh punya temuan apa?” Kakek merendah.
“Begini, saya sudah tiga kali didatangi penunggu makam itu dalam mimpi. Terakhir dia menunjukkan pada saya bahwa di sana dikuburkan harta. Harta karun, Kek. yang saya lihat adalah sebuah peti yang penuh dengan perhiasan dan uang emas. Nah, saya ke sini untuk meyakinkan, apakah benar dulu di sana ada peti yang dikuburkan?” Bewok menjelaskan.
“Setahu kakek tidak ada apa-apa. Hanya dua mayat gadis kembar yang dimakamkan di sana. Kakek yakin, karena kakek ikut menggali tanah dan memakamkannya.” Kakek meyakinkan.
“Mengenai patungnya? Itu marmer, bukan?” Bewok semakin mendesak dengan pertanyaan.
“Itu juga kakek kurang tahu, kakek tidak bisa membedakan yang mana marmer, dan mana batu biasa, memangnya kenapa juga dengan patung itu?” Kakek mulai curiga.
“Tidak, Kek. Tidak ada apa-apa.”
Begitulah pertemuan Kakek dengan Bewok. Aku mendengarkan dengan seksama obrolan mereka. Sebenarnya, aku curiga ada rencana yang disembunyikan oleh Bewok tentang makam itu. Namun setelah kecurigaan itu kuungkapkan pada kakek, ia justru menasehatiku, “tak baik berprasangka buruk pada orang lain”, katanya.
***
Malam itu sepi, benar-benar sepi. Tak ada riuh orang lewat meronda. Ronda hanya ada setelah ada beberapa kali rumah warga dibobol maling. Tak ada juga suara orang yang mengaji di surau, pengajian hanya ada malam Jum’at. Tak ada suara anak-anak muda bermain gitar dalam tongkrongan di warung Bi Yati. Warung itu sudah tutup sejak dua bulan yang lalu. Tak ada modal. Sedangkan warga yang lain mungkin sudah terlelap dalam kelelahan setelah seharian kerja di ladang orang. Ya, mereka bekerja untuk orang lain, pendatang yang punya modal. Sementara orang desa yang asli sejak dulu hanya menjadi kuli. Bedanya, zaman belanda mereka bekerja dengan menghasilkan sedikit gaji bulanan dan rumah bedeng. Gaji itu mereka gunakan untuk makan sehari-hari, dan kalau sedikit menabung dapat beli baju setahun sekali. Di bedeng mereka sekeluarga lengkap berteduh sepanjang usia. Sementara sekarang mereka mendapat sedikit upah yang tak pasti. Rumah mereka pun tak jauh beda dengan bedeng zaman perkebunan. Di rumahnya sekarang mereka berteduh, namun tidak utuh. Anak-anak mereka pergi ke kota. Anak-anak perempuan menjadi pembantu rumah tangga, dan anak-anak laki-lakinya menjadi kuli bangunan. Jadi, apa yang beda?
Dalam lindap sunyi tengah malam aku masih terjaga. Pikiranku gelisah tak menentu, mata terpejam tapi hati benakku terus meracau tentang sesuatu yang tak jelas apa isinya. Tapi aku terlalu malas untuk mengenyahkan badan dari tempat tidur, lagipula malam terlalu sunyi untuk dinikmati. Tiba-tiba kudengar lamat-lamat suara mobil yang lewat. Rumahku hanya sekira 40 meter dari jalan desa yang tak beraspal itu, jadi meski ada mobil yang berjalan pelan, aku masih bisa mendengarnya. Siapa malam-malam begini lewat desaku? Tapi pikirku hanya sampai di situ. Tak ada prasangka apa-apa. Lagipula terlalu banyak kemungkinan positif tentang mobil yang lewat di malam hari. Ah sudahlah. Yang pasti perjuanganku untuk memetik bunga tidur hampir kesampaian. Kantuk sudah datang.
Berkas-berkas sinar matahari baru muncul di balik perbukitan. Awan putih masih menguning pada pagi yang ranum. Masih sedikit malas aku terbangun, buka jendela, lemparkan selimut ke sudut kasur, lalu aku beranjak ke pancuran di belakang rumah. Empang belakang rumah tampak menguapkan udara dingin. Aku ragu-ragu menyentuh air yang jatuh dari sebatang bambu tua. Namun sebelum tanganku menyentuh dinginnya air, aku dikejutkan oleh suara derap langkah yang tergesa. Beberapa orang desa setengah berlari menuju sesuatu.
“Wooi, ada apa? Kenapa terburu-buru seperti itu?” aku berteriak pada Usman, Amran, Agus dan Dade yang kulihat ikut dalam derap mereka.
”Ada mobil terperosok di jembatan tua?” Amran yang menjawab.
Kuurungkan niatku mencuci muka. Aku langsung mengikuti mereka menuju jembatan tua peninggalan Belanda di batas desa. Riuh sekali orang-orang mengerubungi jembatan itu. Aku menyelusup kerumunan untuk memastikan apa yang terjadi. Astaga, jembatan itu rubuh, tembok tuanya bergelimpangan di atas kali. Namun bukan itu yang membuatku merasa ngeri, sebuah colt bak terbuka tersungkur ke dasar kali. Darah mulai mengering pada kaca dan pintu mobil. Bewok dan seorang anak buahnya, Agun mati tak berdaya dengan nafasnya yang begitu berat. Selain mereka tampak seseorang yang tak kukenal juga tak bergerak di belakang kemudi. Tampaknya yang satu ini orang kota, pakaiannya terlihat mahal dan perlente, meski kini dipenuhi bercak darah. Mereka semua luka-luka sangat parah.
Colt itu mengangkut beberapa barang. Di bak belakangnya ada sebatang tunggul pohon dengan akarnya. Tak jelas pohon apa, sudah tak ada daunnya, tapi tunggul itu unik bentuknya seperti batang bonsai yang besar. Selain tunggul itu, tersungkur sebuah karung yang tampaknya berisi benda padat. Seseorang membukanya perlahan-lahan. Pecahan batuan berwarna putih kecoklatan sedikit gemerincing saat karung itu digerakkan. “patung euy! Ini, kepalanya ada dua” kata lelaki yang membuka karung sambil mengangkat dua kepala patung perempuan.
Segera aku teringat pada makam di bawah kembang kertas. Pikiranku juga terkait dengan pembicaraan Bewok dengan Kakek waktu itu. Jangan-jangan? Ah, aku tak menunggu waktu lagi, aku berlari menuju makam kembang kertas, dari tempat itu sekitar dua ratus meter jauhnya. Dalam nafas yang masih terengah-engah, aku mendapati rimbun ranting kembang kertas sudah layu menindih makam. Bunga dan guguran daunnya berserakan di atas rumput dan tanah merah. Aku singkapkan ranting dan dedaunan itu. Di bawahnya kulihat makam telah hancur. Bekas temboknya bergelimpangan, kedua patungnya hilang, tanahnya berlobang bekas galian.
Melihat kehancuran itu aku hanya termenung. Hanya inikah yang bisa dilakukan orang untuk desanya? Memperkaya diri, mencari keuntungan pribadi tanpa peduli pada kerusakan yang diakibatkan oleh usaha serakahnya itu.

No comments: