Thursday, November 29, 2007

poeizie 1

Secangkir Kopi untuk Fione

Rinduku malam ini adalah keinginan untuk membunuh sajak-sajak sunyi
dan setangkup luka karena cipratan air mata yang terlalu biasa
Rinduku malam ini adalah keinginan untuk mengugurkan daun-daun beringin di partere mengisi kolam yang diam, semakin pekat kenangan larut.

Bulu-bulu mata ocehkan dongeng dan mitos cinta pada detak detik jam dinding yang menyeret mimpi. Sepasang kupu dihempas sayap kelelawar jatuh di atas kertas buram.
Ampas kopi Lampung melobang hitam di cangkir keramik bergambar bola
Titik-titik, angka-angka, jarum-jarum jam melompat ke dalam cangkir. Pun mimpi yang baru sedetik tadi belajar terbang kembali.

Waktu berhenti setelah malam dikebiri. Tapi obrolan kitalanjut saja.


25 Juli 2006




Embun Pertama Musim Kemarau

Embun pertama musim kemarau
sembunyi di sela-sela kelopak teratai.
Cinta menetes di atas telaga yang diam
Jatuhan daun di taman ini sejenak berhenti
Menjadi Abu Bakar saksi yang siddiq
Mendengarkan pengakuanmu yang puisi
Cinta yang sombong




Kemarau Bulan Juli

Akhirnya aku berbagi kenangan dengan kota ini
Catatan awal perjalanan kularut dalam pekat limbah kota
yang tersumbat di bawah jembatan tua
Epik panjang perjuangan berubah menjadi securah requiem
dan entah mengalir ke mana

Tinggallah sebait kata yang masih dapat kubaca
pada karat mihrab sebuah masjid
: Cinta adalah sepetak ladang jagung di tanah kelahiran
Kemarau yang fana
Sebuah Pertemuan

Berulang sudah kubacakan empat ayat Keroncong Motinggo*
Kucerap kembali setiap pesan singkatmu
yang kini tersangkut di pucuk-pucuk cemara
Kau masih lekat dengan penyaruan menjadi sufi
Akhirnya kutebus kembali setiap jengkal perjalanan kita
Dengan langkahku yang sendiri
Kau masih berpusar dalam tari suci bersama rintihan
Seruling dan tabuh gendang para santri
Kuhadapkan wajahku menentang wajahmu
Kau hanya mengernyitkan dahi
Tak kudapati lagi lengkung alismu yang dulu penuh cerita




* empat dari lima bagian salah satu puisi Subagio Sastrowardojo.








Perempuan yang Berjalan di Kota Hilang

Seorang perempuan gamis hitam berjalan dalam hujan
Malam jenuh menjelang. Berjajar etalase satu-satu ditutupi rollingdoor
Perempuan laju sendiri. Angkot laju, becak laju, malam laju
Hujan diam.

Sekali lagi kulihat perempuan gamis hitam berjalan dalam malam.
Sendiri menuju kedalaman sunyi. Sekali menoleh ke belakang.

Kutelanbulat kota yang malam. Lampu-lampu jalan patah tumbang.
Semakin larut, semakin sempit. Semakin sendiri, semakin sunyi.
Perempuan gamis hitam masih berjalan.


Agustus 2006





Epilog Mimpi

dari manakah kaupetik bunga tidur setiap malam?
dari rimba perasaan bersalah atau taman resah
mengapa kauhadirkan aku dalam setiap kelopak mimpimu?
jangan katakan ada rindu.
karena rindu adalah anak haram percintaan kau dan aku

September 2006





Perpisahan

Akutahu ada yang ingin kaukisahkan lebih
dari sembab matamu yang penuh cerita
tapi telingaku telah berakar kerelaan untuk
membiarkanmu di alam setengah nyata
setengah mimpi. Rasa iba hatiku adalah gamis
pada etalase toko yang dulu ingin kaubeli
dan kini
menyeret ku dan mu ke alam nyata yang berbeda
zarah pun tertawa saat aku melakukan dosa
karena diamku. Aku tak menagih utang yang tak sempat
kautunaikan untukku. Tak juga separuh janji
Astaghfirullah,
akupun berdosa saat ini. Menemanimu yang telah bersuami
dan bahwa kau masih mencintaiku adalah sebuah pengakuan
dari sisa-sisa keberanianmu untuk percayai aku.
sudah itu tinggalah kebingungan bersarang dalam sukma
setiap kebaikan yang kulakukan
adalah harapan yang mengganggu
jangan pula kaukatakan ingin bertemu denganku di surga
karena surga hanyalah mimpi bagi pendosa seperti kita


Oktober 2006







Sebuah Pertemuan Panjang

I

Selepas canda perjamuan buka puasa
Aroma kerinduanku pada saat seperti ini pekat dalam bumbu gulai
Ada semangat muncul dari pucuk-pucuk selada. Dan tawamu basah
Menempel pada kecap ayam bakar. Perkenalan kita pun lumer
Seruput es teh manis

Awal yang ringan untuk cinta yang masih meragukan.

Dalam langkah yang ringan kita pun telusuri malam
Ingin kugamit lengan kecilmu namun aku tak berani
Ingin kulingkarkan tanganku di pinggang kecilmu
Tapi terlalu lancang untuk pertemuan pertama
Mungkin suatu hari nanti.

Pertemuan pun terlalu sayang untuk kuakhiri
Bila saja keangkuhanku tak cepat kusadari:
Pantaskah kau untuk kumiliki?

Mungkin suatu hari nanti.


II

Hati kita bertemu di suatu tempat
Entah di mana mungkin mimpi
atau di pucukpucuk cemara
bersama SMS yang tertahan
ada rindu yang tertahan
dan entah mengalir ke mana
seperti angin terbang menuju takdir
yang isinya mungkin suatu hari nanti

III

Pertemuan kita kembali ke meja makan
Ada tawa dan cerita yang terlalu pagi sebelum matahari
Aku mencintaimu takut embun menguap ke udara
bersama geliat hari
Dan cerita pagi pun usai di muara tanya
Ke laut atau ke hulu takdir suatu hari nanti
Mungkin

IV

Hari keempat pertemuan kita telah sekian kali
lengkung alismu terkuak di antara tawa kanakmu
dan genggaman yang masih canda
Sebelum koyak mari tersenyum
setelah tawa dan lesung pipi berbagi mimpi
Adalah sebuah pengakuan yang berjinjit:
hatimu untukku entah sejak kapan
mungkin sejak tengah hari
Sebelum Ashar memanggil layung.
Atau sejak empat hari yang lalu
saat kepercayaan menjadi batu





Rumah Yang Indah

Kilat menjilat kaki langit. Petir getarkan kaca jendela
Gemericik air hujan pecah di pelataran
Sebuah film televisi yang menarik. Sengaja dimatikan.
Aku sendiri ketika tiba-tiba ponselku bergetar
Sebuah pesan pendek dari jauh
Kubalas dengan tawa yang kecil namun penuh arti
Hidupku di rumah ini jauh lebih sederhana dan lebih ringan
Tanpa keinginan membuat sajak tentang hujan
Dan pengertian kilat dan petir
Kusadari waktu yang membingkai hidup mengalir apa adanya
Sebagaimana air hujan mengalir ke selokan, ke sungai, ke muara.
Lalu laut
Dan tentang laut, tak perlu lagi kucari
Rumah ini telah kutemukan untuk istirah
sambil menanam cinta yang mungkin berbunga sejati.

No comments: