Thursday, November 29, 2007

Mimpi

Sudah seminggu aku terbaring lesu di kamar. Aku tidak bisa menggerakkan tubuh. Sakit membuatku merasakan kekalahan yang kedua. Kekalahan pertama adalah saat aku ditinggalkan Padma. Padahal aku telah mengalahkannya dalam sebuah pertempuran. Dia telah menyerah dan berjanji akan menyerahkan segala yang ia miliki untukku. Tapi karena aku lengah, dia pun lari menuju ke arah yang keliru. Dia tiba di sebuah pertempuran lainnya. Di sanalah ia sampai kini terus bertahan. Dan kabar terakhir yang kudapatkan, dia akan segera melahirkan anak pertamanya dari lelaki_seorang panglima_ yang telah dipilihkan untuknya.
Sepi benar-benar menyiksaku. Tenagaku hilang, bahkan tak tersisa sekedar untuk membuka mata. Tidak hanya itu, aku pun kehilangan semangat untuk menatap dunia. Aku masih meratapi kekalahan itu saat keriangan terdengar dari derap kaki yang datang. Dua orang anak perempuan masuk dibimbing seorang perempuan separuh baya. “mereka telah datang,” kata mamaku.
“Siapa dia, Mama?” tanyaku.
“Boleh jadi dia parajinya”
“Jadi dia juga serta”
“Temui saja” mamaku memberi isyarat agar aku menemuinya di ruang tamu. Di sana kutemui dua bocah perempuan berseragam sekolah kuning-hitam duduk manis di atas sofa. Aku menyalami mereka. Kemudian kudapati Padma dalam ketegangan di dalam balutan kain sarung. Wajahnya pucat berpeluh dingin. Sayup-sayup kudengar hangatnya pembicaraan mama dengan paraji di ruang paling belakang. Padma akan melahirkan, dan mungkin inilah harinya.
Kupegang tangannya, dan dia meremas tanganku. Panas yang mengalir dari tangannya serasa membakar jiwaku. Tapi dengan penuh percaya diri aku menghadapkan wajahku pada wajahnya yang panik. Kenapa kamu datang kemari? Pertanyaan itu kuanggap tak perlu, jadi tak sempat kukatakan.
Dia menatapku. Di keningnya masih kubaca seluk-seluk harapan, dan tetesan kasih sayang. Saat itu aku tahu jiwanya juga terbakar. Sisa-sisa pertempuran batinnya mengepul ke angkasa. Panas menguap dan merembes lewat pori-pori kulit keningnya. Sesaat kemudian kudapati matanya yang sayu berteriak meminta pertolongan. Maaf, aku tak mampu menolongmu, Sayang.
Aku hanya bisa mengatakan: “semoga kamu selamat dalam proses pelahiran anakmu.” Kata-kata itu seakan tidak keluar dari hatiku, tidak juga dari mulutku. Akan tetapi mereka muncul dari tangan kananku. Seperti pisau yang mengkilap dan sangat tajam. Tanpa bisa kukendalikan pisau itu menusukku sendiri. Pedih.
Sejenak aku diam. Di wajahnya kudapati air kehidupan menyayat kedua pipinya. Aku menguatkan diriku untuk tak perduli. Padahal sudah beratus-ratus tahun lamanya aku merindukan air kehidupan itu. Ingin seperti dulu aku berenang di sana, lalu hanyut dalam sedih dan bahagianya. Aku yang membiarkan air matanya mengalir, aku juga yang kadang membuat air mata itu kering. Saat aku menjadi mataharinya. Ah, sudahlah, aku tak mau mati karena mencium wanginya kenangan itu.
“Dan semoga kamu...”
“Tolong, jangan cium keningku!” sergahnya dengan wajah yang tiba-tiba garang. Mungkin peperangan yang memnbuatnya seperi ini. Dia terlalu lama ditinggal sendiri di ladang perangnya. Ucapannya tadi memotong kata-kataku yang aku sendiri tak tahu apa yang akan kukatakan selanjutnya. Tindakannya itu menepuk api amarahku, panas mengumpul di kepala. Kubakar kau dengan apiku. Tetapi tidak juga kulakukan. Air kehidupan di wajahnya kembali memancar deras. Wajahnya kembali teduh dan dingin.
“Lihatlah di sini!” dia menyingkap kain yang menutupi perutnya yang buncit. Ada sesuatu yang sebenarnya tak ingin kulihat bergerak-gerak di sana. Aku tahu itu adalah buah dari peperangannya. Sesuatu yang menjadi simbol kekalahannya dalam perang itu. Sesuatu yang seharusnya tak pernah terjadi karena dalam perang sebelumnya dia telah menyerah padaku. Maka akulah yang seharusnya memberi simbol kekalahannya itu. Kemudian kami telah sepakat untuk sama-sama merawatnya, menjaganya, dan kemudian menjadi simbol kedamaian.
“Aku tak akan pernah menciummu lagi.” Aku berpaling darinya dan melangkah keluar. Apakah aku meninggalkannya? Tidak, aku tidak meninggalkannya. Dalam langkah-langkahku aku sadar, aku tidak meninggalkannya. Tetapi aku telah melemparkannya kembali ke ladang perangnya. Saat itulah aku kembali merasakan kekalahan.
Apa yang telah kuperbuat? Inilah harinya. Lalu aku membayangkan dia melahirkan dengan susah payah di perjalanan menuju perangnya. Paraji membantunya sendiri dengan penuh ketakutan. Sementara adik-adiknya berlarian mencari ayah si jabang bayi. Lelaki yang seharusnya berada di dekat istrinya saat dia melahirkan. Malaikat maut mengelilinginya. Mereka berusaha mengeluarkan dia dari kesakitan. Dia memegangi nyawanya yang terus berontak. Nyawanya terus berpegang pada urat nadi kehidupannya. Dia masih menikmati perangnya. Dia tak mau malaikat maut membawanya ke surga. Padahal surga adalah penantiannya. Janjinya hanyalah bahwa dia akan menantiku di surga. Lalu kenapa kamu menunda-nunda penantianmu? Kenapa?
***

Kriiing....telepon berbunyi lancang. “Halo, Sayang. Bagaimana keadaanmu? Masih sakit?” suara itu mengembalikanku ke pembaringan. Aku masih lesu dibalut pagi yang dingin.






Bandung, 17 Juli 2007

No comments: