Friday, November 30, 2007

bab 4

BAB V
KONTEKS PENCERITAAN DAN FUNGSI SOSIAL

5.1 Konteks Penceritaan
5.1.1 Lingkungan Penceritaan
5.1.1.1 Penutur Cerita
Tidak semua masyarakat Batuwangi bersedia untuk menuturkan cerita. Mereka yang usianya lebih muda pada suatu desa atau kampung akan menunjuk seseorang yang lebih tua di lingkungannya untuk diwawancarai. Orang yang sudah tua diyakini mengetahui CCB dengan baik. Selain mereka merupakan penduduk asli, mereka juga dianggap paling berwenang menuturkan cerita kepada orang lain. Semua cerita dikumpulkan melalui wawancara di tempat tinggal penutur sehingga hubungan cerita dengan lingkungannya dapat pula dirasakan. Penutur bertempat tinggal di kecamatan Banjarwangi dan kecamatan Singajaya Kabupaten Garut.
Tanpa rencana, semua penutur yang berhasil diwawancarai adalah laki-laki. Hal ini terjadi karena masyarakat yang menjadi subjek penelitian merupakan pewaris budaya patriarkal. Pada masyarakat Batuwangi, laki-laki dianggap mengetahui sejarah dan cerita-cerita tentang desanya sejak masa lampau.Umumnya penutur berusia antara 60 hingga 80 tahun. Bahkan seorang penutur telah berusia 104 tahun. Meskipun usia mereka terhitung sudah sangat tua, mereka masih dapat berkomunikasi dengan baik. Penutur pada usia seperti inilah yang diyakini masyarakat sebagai orang yang paling mengetahui keadaan desanya sejak masa lampau.
Penutur yang pernah mendapatkan pendidikan formal sebanyak 60 %. Sisanya, 40 % tidak pernah mendapatkan pendidikan formal di sekolah. Mereka yang mendapatkan pendidikan formal mengaku pernah bersekolah pada masa penjajahan Belanda. Hal ini dapat dibuktikan karena penutur tersebut dapat membaca tulisan latin. Sedangkan penutur yang tidak pernah bersekolah, mereka umumnya pernah belajar agama di pesantren atau pada guru mengaji. Buktinya, mereka dapat membaca Al-Quran dan tulisan Arab pegon.
Hampir semua penutur bekerja sebagai petani. Meskipun usia mereka telah lanjut, namun mereka masih sering melakukan pekerjaan sebagai petani. Tentu saja mereka melakukan pekerjaannya saat ini tidak lagi seperti masa mudanya. Selain petani, ada juga kuncen makam Batuwangi. Akan tetapi, pada kenyataannya kuncen pun melakukan pekerjaan sebagai petani.
Penutur mendapatkan cerita dari orang tua (ayah), kakek, paman, dan dari guru mengaji. Penutur mendapatkan cerita sejak masih kanak-kanak, namun ada juga yang mendapatkan cerita setelah ia dewasa. Memang, kebanyakan masyarakat Batuwangi tidak sembarangan menuturkan CCB. Cerita-cerita Batuawangi baru akan disampaikan kepada anak yang telah dianggap dewasa atau baligh. Jadi, bila dilihat dari penuturnya CCB memiliki nilai-nilai sakral bagi masyarakatnya. Selain itu, biasanya ada hubungan yang dekat antar penutur dengan pendengarnya, misalnya, kakek dengan cucunya, ayah dengan anaknya, atau guru mengaji dengan muridnya. Demikianlah CCB diturunkan dan disebarluaskan sehingga dikenal oleh masyarakatnya.

5.1.1.2 Kesempatan Bercerita
Masyarakat Batuwangi adalah masyarakat petani. Aktivitas sehari-hari mereka adalah bekerja dari pagi hingga siang hari di sawah atau di kebun. Sebagian waktu mereka digunakan untuk kegiatan keagamaan, membangun rumah, bergotong royong mengerjakan pembangunan kampungnya, dan kegiatan lainnya. Mereka, terutama yang tua-tua pada umumnya jarang bepergian ke luar desa, apalagi ke luar kota.
Mereka biasanya bercerita pada saat ada pertemuan, baik formal maupun tidak formal. Pada sela-sela acara musyawarah, pesta pernikahan, tahlilan, dan marhaba mereka biasanya terpancing untuk menuturkan cerita. Meskipun pertemuan tersebut bukan bertujuan untuk bercerita, tetapi bila mereka berkesempatan bercerita di tempat itu, maka mereka pun bertukar pengetahuan cerita. Pada pertemuan-pertemuan seperti ini, mereka yang terlibat biasanya orang yang sudah dewasa sampai orang lanjut usia. Selain itu, pertemuan-pertemuan tersebut bisanya dihadiri oleh sebagian besar laki-laki, dan jarang sekali wanita dan anak-anak. Adapun wanita dan anak-anak biasanya tidak ikut aktif bercerita, mereka biasanya menjadi pendengar saja. Oleh karena itu masyarakat Batuwangi menganggap laki-laki yang sudah tualah yang nyepeng sajarah (mengetahui sejarah atau cerita) di desanya.
Selain dalam sela-sela waktu pertemuan formal, penuturan cerita pun dapat terjadi dalam pertemuan yang santai seperti berjemur pada pagi hari, pada saat anak memijat orang tuanya menjelang tidur, saat keluarga berkumpul di dalam rumah, dan di dalam perjalanan atau sela-sela pekerjaan yang menjadi mata pencaharian mereka. Selain itu, penuturan CCB dapat terjadi pada saat ada orang yang bertanya mengenai cerita tersebut.
Contoh-contoh di atas merupakan kesempatan bercerita yang tidak menentu tempat dan waktunya. Penuturan cerita dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Ada pula kesempatan bercerita yang dibuat rutin dan pasti dilakukan, yaitu setiap tanggal 12 Rabbiul Awal di rumah kuncen. Pada saat itu, banyak orang yang berdatangan dari berbagai daerah untuk melakukan ziarah, serta mengikuti ritual penyiraman senjata Eyang Batuwangi. Mereka yang dating pada umumnya mengaku masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan Eyang Batuwangi, baik itu keturunan langsung, maupun keturunan dari kerabat Eyang Batuwangi yang lain. Dalam rangkaian acara ini biasanya muncul kesempatan bercerita. Para pengunjung yang hadir di rumah kuncen sebelum atau sesudah berziarah biasanya membahas keberadaan Eyang Batuwangi serta cerita-cerita tentangnya.
Pada tanggal 14 Rabbiul awal atau 14 Maulud ini dilakukan acara Hajat Maulud, rangkaian acaranya dimulai pada malam hari dengan tawasul di makam, kemudian kembali ke rumah kuncen untuk mendengarkan pembacaan silsilah dalam naskah yang berjudul Punika Ikilah Sajarah Batara Terusbawa. Naskah ini selalu dibacakan oleh kuncen hanya pada waktu yang sudah menjadi pakem ini. Selain itu, isi naskah tidak seluruhnya dibacakan karena dianggap sakral, tidak semua orang boleh mengetahui isinya.

5.1.1.3 Tujuan Bercerita
Seperti telah dibahas sebelumnya, CCB berbentuk legenda, tepatnya legenda pembangun masyarakat dan budaya. Di dalamnya diceritakan tentang Eyang Batuwangi, asal usul suatu daerah, asal-usul suatu aturan, dan sebagainya. Oleh karena itu, tujuan penuturan CCB berhubungan erat dengan bentuk, isi, dan sifat-sifat yang dikandung di dalam masing-masing cerita.
Adapun tujuan penuturan CCB di antaranya.
a. Memberikan informasi kepada orang yang lebih muda bahwa Eyang Batuwangi adalah karuhun (nenek moyang) masyarakat Batuwangi. Sebagai nenek moyang mereka, Eyang Batuwangi telah berjasa di masa lalu.
b. Menjelaskan alasan mengenai pantangan memakan kepala ayam bagi keturunan Batuwangi. Hal ini dijelaskan melalui C-2.
c. Memberikan informasi tentang asal mula suatu daerah. Misal, tentang asal mula tanah gagayunan di Ciudian, dan asal mula nama kampung Garasay.
d. Menjelaskan bentuk unik suatu benda. Misal, bentuk unik Batu Munding dapat dijelaskan dengan C-1, demikian juga mengapa banyak batu yang bergelimpangan di dekat makam Batuwangi dan bentuk unik Pasir Murungkut dapat dijelaskan dengan C-3.
e. Agar masyarakat mengetahui hubungan kekerabatan, bahwa mereka semua adalah keturunan Batuwangi. Dengan demikian terjadi hubungan emosi yang dekat, meskipun mereka tinggal berjauhan.
f. Menjelaskan asal usul senjata milik Eyang Batuwangi yang disimpan oleh kuncen, serta memberikan alasan tentang ziarah ke makam Eyang Batuwangi.
g. Menjelaskan hubungan antara makam Eyang Batuwangi dengan makam keramat di sekitarnya, misal dengan makam Sembah Ibu Purbakawasa di Ciwindu, dengan makam Eyang Surapati di Cigintung, dengan makam Padabeunghar di Sareupeun Padabeunghar, dan sebagainya.

5.1.1.4 Hubungan Cerita dengan Lingkungannya.
Keberadaan masyarakat Batuwangi pada saat ini sulit ditentukan berdasarkan tempat tinggalnya. Mereka kebanyakan bertempat tinggal di desa-desa di kecamatan Singajaya, dan Banjar Wangi. Selain itu, mereka juga sudah merambah ke beberapa kecamatan di sekitarnya hingga Cikajang, Cihurip dan Peundeuy. Sementara itu ada pula yang merantau ke luar daerah seperti Bandung, Jakarta, bahkan luar Jawa. Mereka hidup berbaur dengan masyarakat lainnya, sehingga identitas kebatuwangiannya baru akan diketahui setelah kita mengenal mereka.
CCB berhubungan erat dengan lingkungan masyarakatnya serta lingkungan alamnya. Hubungan tersebut sebenarnya telah tergambar melalui latar CCB. Dalam hal ini CCB dapat pula dikelompokkan sebagai legenda setempat, atau local legends (Danandjaya dalam Sutrisno, 1991: 469). Sebagai legenda setempat, latar dalam CCB tidak jauh dari lingkungan sekitar masyarakat Batuwangi.
Dalam hubungan antara cerita dengan lingkungan alamnya, latar tempat CCB pada umumnya dapat dilacak keberadaannya hingga saat ini. Akan tetapi dinamika sosial penduduk mungkin dapat mengubah keberadaannya. Misal, dalam C-1 diceritakan bahwa pada saat itu Tanah Batuwangi merupakan wilayah kekuasaan Sukapura, Tasik Malaya, sedangkan sekarang tempat tersebut berada di wilayah Kabupaten Garut. Tempat-tempat lain yang disebutkan dalam CCB seperti Gunung Lumbung, Kampung Garasay, Ciwindu, sungai Ciudian, dan sebagainya memang ada hingga sekarang.
Demikian pula benda-benda yang memiliki keunikan yang dapat dijelaskan dengan CCB, kini benda-benda tersebut masih ada di tempatnya. Dalam C-1 diceritakan adanya kerbau yang setelah dilemparkan oleh Batuwangi berubah menjadi batu. Pada saat ini batu tersebut masih ada di sekitar Limus Tilu, Singajaya.
Keberadaan benda dan tempat yang secara fisik dapat dibuktikan keberadaannya menjadikan CCB sangat diyakini kebenarannya. Selain itu, Eyang Batuwangi dipercaya sebagai nenek moyang yang menurunkan anak cucunya, yaitu masyarakat Batuwangi pada saat ini. Dengan dmikian apa yang telah diatur oleh Eyang Batuwangi berlaku pula bagi mereka. C-2 yang mengisahkan pernikahan putri Eyang Batuwangi telah mengakibatkan sumpah Eyang Batuwangi agar semua keturunannya kelak cadu atau pantang memakan kepala ayam. Aturan ini sekarang masih berlaku bagi masyarakat Batuwangi.
Keyakinan masyarakat terhadap kebenaran cerita dapat mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku mereka. Kepercayaan terhadap jasa-jasa Eyang Batuwangi pada masa hidupnya, serta keajaiban-keajaiban yang dimilikinya, menjadikan masyarakat merasa segan dan ingin memenziarahi makamnya. Selain itu, peninggalan Eyang Batuwangi yang masih tersisa kini disakralkan oleh masyarakat. sampai saat ini terdapat sebuah duhung, yaitu sejenis keris bermata dua, dan bertahta batu permata, dengan gagangnya berbentuk kepala burung garuda yang dijadikan pusaka Batuwangi.

5.1.2 Situasi Penceritaan
Berkaitan dengan situasi penceritaan seperti diungkapkan oleh Finnegan pada bab sebelumnya, situasi penceritaan CCB dapat terjadi dalam dua cara, yaitu, pertama, Audience dan penyaji relatif dipisahkan dengan pembatas yang tidak jelas, audience tidak banyak terlibat dalam penyampaian teks. Dan kedua, Penyaji dan audience bergiliran. Pada waktu seorang penyaji bukan gilirannya bercerita atau bermain, maka ia berperan sebagai audience.
Situasi pertama terjadi misalnya ketika ada anak atau orang yang lebih muda bertanya kepada orang tua yang benar-benar mengetahui CCB. Selain itu, ketika wawancara terjadi pun demikian. Pengumpul atau pewawancara yang awam dan ingin mengetahui cerita tidak banyak terlibat dalam penceritaan, kecuali mengajukan pertanyaan-pertanyaan, sebaliknya nara sumber yang menjadi pencerita berperan sebagai penyaji aktif.
Sementara itu, situasi kedua dapat terjadi apabila dalam sebuah penuturan CCB hadir lebih dari satu orang penutur. Apabila masing-masing pendengar mengetahui juga CCB, kadang-kadang mereka saling menambahkan atau mengklarifikasi penuturan yang dilakukan oleh yang lainnya. Hal ini misalnya terjadi pada wawancara 2 dan wawancara 3. Pada saat itu, wawancara dilakukan pada waktu bersamaan. Oleh karena itu, ketika narasumber kedua menyajikan ceritanya, kadang-kadang disela oleh narasumber ketiga, dan sebaliknya, saat narasumber ketiga bercerita, sekali-0sekali disela pula oleh narasumber kedua.
Situasi di atas dapat pula terjadi pada kesempatan bercerita yang lainnya. Misal, ketika pertemuan keluarga, pada sela-sela pekerjaan, atau pada saat berjemur di halaman. Pada kesempatan-kesempatan yang biasanya dihadiri oleh orang tua-tua yang sama-sama tahu mengenai CCB, penceritaan dapat dilakukan secara bergiliran oleh lebih dari seorang penutur.
Satu hal yang perlu diperhatikan dalam situasi penceritaan adalah bahwa penutur tidak begitu saja bercerita secara langsung. Rupanya ada hal-hal yang sedikit membatasi atau menjadi pertimbangan bagi penutur. Misal dalam wawancara dengan Aki Nana (nara sumber 1, 86 tahun) pada tanggal 19 Maret 2005. Sebelum bercerita, penutur meminta izin kepada seseorang yang dalam konteks ini adalah Eyang Batuwangi, serta kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam wawancara penutur berkata, “Lepat atuh. Mudah-mudahan aya dina panghampura anjeuna. Ageungna mah ka Gusti Nu Maha Suci.” (TW-1).

5.2 Fungsi Sosial
5.2.1 Membentuk Identitas dan Mendasari Tatanan Sosial Masyarakat Batuwangi.
Dalam berbagai hal, masyarakat Batuwangi tidak berbeda dengan masyarakat lain, terutama masyarakat Sunda pada umumnya. Mereka mengenal teknologi, politik, pendidikan, dan berbagai sisi kehidupan lainnya. Mereka juga membuka diri terhadap perubahan zaman dan perkembangan kebudayaan. Akan tetapi ada beberapa hal yang sifatnya tetap dan menjadi identitas masyarakat Batuwangi.
Eksistensi sosial masyarakat Batuwangi banyak didasari oleh CCB. Secara geografis, sekarang yang dimaksud dengan Batuwangi sebagai tempat adalah sebidang tanah yang luasnya tidak lebih dari satu Hektar. Tanah yang di sanalah Eyang Batuwangi dikuburkan ini terletak di tengah pesawahan di desa Ciudian Kecamatan Singajaya. Desa Ciudian sendiri merupakan sebuah lembah yang diapit oleh dua sungai yaitu Sungai Ciudian dan Sungai Cikaengan. Kedua sungai ini bertemu di sebelah timur desa dan akhirnya bermuara di pantai timur Tasik Malaya. Sedangkan Kecamatan Singajaya dulunya berada di wilayah Kabupaten Tasik Malaya dengan nama Batuwangi. Nama Singajaya adalah nama baru setelah bergabung dengan Kabupaten Garut. Kemudian Kecamatan Singajaya dimekarkan menjadi tiga kecamatan, yaitu Singajaya, Banjarwangi dan Peundeuy. Dengan demikian saat ini telah terjadi penyempitan makna Batuwangi sebagai nama tempat.
Sesuai tempatnya, maka yang seharusnya disebut masyarakat Batuwangi adalah mereka yang tinggal di tanah tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya di atas tanah tersebut hanya ada sebuah makam keramat yaitu makam Batuwangi. Selain itu ada juga sebuah bangunan tempat tawasul di depan makam, sebuah sumur, sebuah kamar mandi dan sebuah mushola. Sisanya hanya belantara yang ditumbuhi pepohonan tua dan rumpun-rumpun bambu yang tak terganggu. Hanya kuncen yang secara teratur datang ke tempat itu. Sementara itu pada bulan-bulan tertentu banyak juga peziarah yang datang setiap tahunnya.
Jadi perlu ditekankan di sini bahwa yang dimaksud dengan masyarakat Batuwangi adalah mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan Eyang Ragabaya Maragahiang Bayu Prabu Sangadipati Bin Guru Gantangan (Eyang Batuwangi). Menurut Koentjaraningrat (2002: 123-124) hubungan kekerabatan ditentukan oleh adanya hubungan darah (sebenarnya gen) yang dihubungkan baik dari pihak ayah maupun pihak ibu. Prinsip kekerabatan masyarakat Batuwangi diikat oleh kesadaran akan hubungan kekerabatan. Berdasarkan hubungan inilah mereka secara selektif memiliki hak dan kewajiban tertentu. Hak dan kewajiban tersebut pada masyarakat Batuwangi diwujudkan dengan adanya beberapa norma sosial yang harus diikuti oleh anggotanya. Norma-norma sosial tersebut tercermin dalam mitos-mitos yang berlaku di masyarakat berkenaan dengan CCB, larangan-larangan melakukan sesuatu, serta kegiatan-kegiatan ritual tertentu yang biasa dilakukan oleh masyarakat.
Kita juga tidak bisa mengabaikan peran sentral seorang kuncen pada masyarakat Batuwangi. Ia dianggap sebagai orang terpercaya sebagai keturunan asli Eyang Batuwangi. Tugas sebagai kuncen ini didapatkan secara turun temurun. Bila seorang kuncen tidak mempunyai keturunan, maka tugasnya diberikan kepada adik atau kakaknya, ataupun anak dari saudaranya tersebut. Sebagai juru kunci makam, ia tidak hanya bertanggungjawab untuk mengurus makam dan membantu orang yang akan berziarah. Ia juga yang merawat barang-barang peninggalan Batuwangi. Beberapa peninggalan berbentuk senjata pusaka. Ia juga menyimpan naskah Punika Ikilah Sajarah Batara Terus Bawa yang berisi silsilah dan kisah Batuwangi. Hanya kuncen yang boleh membaca naskah ini setiap tanggal 14 maulud pada acara Hajat Maulud.
Selain itu, kuncen bagi masyarakat Batuwangi juga berfungsi sebagai pemimpin spiritual mereka. Di samping ulama sebagai pemuka agama Islam, kuncen juga biasa memimpin doa, terutama yang berhubungan dengan ritual yang berhubungan dengan Batuwangi. Selain itu, kuncen juga sering kali berperan sebagai orang pintar yang menjadi tumpuan banyak orang. Kuncen sebagai satu-satunya orang yang memegang otoritas makam dipercaya mampu mengantarkan kehendak orang yang mempunyai maksud tertentu untuk mendapatkan karomah Eyang Batuwangi. Buktinya, sering ada masyarakat yang datang untuk berobat dari sakit, ingin naik jabatan, ingin sukses berdagang, dan lain-lain.
Singkatnya, masyarakat Batuwangi merupakan prototipe masyarakat Indonesia pada umumnya sebagai masyarakat tradisional, masyarakat religius atau menurut Finnegan, masyarakat primitif atau masyarakat nonindustri. masyarakat seperti ini memliliki ciri-ciri: hidup dalam skala kecil yang homogen, mengutamakan kelisanan daripada keberaksaraan, komunal, didominasi oleh religi dan nilai-nilai tradisi dan lebih dekat dengan alam, serta jauh dari sentuhan teknologi (Finnegan dalam Hutomo, 1991: 20). Ciri-ciri ketradisionalan mereka memang tidak dapat dilihat secara kontras dari tingkat ekonomi, teknologi yang dipakai, maupun tingkat pendidikan formal. Ciri-ciri ketradisionalan mereka merupakan manifestasi dari pola pikir sebagai masyarakat religius, sakral, bahkan animis.
Sebagai masyarakat religius, masyarakat Batuwangi memiliki identitas tersendiri yang khas dan sampai saat ini masih berlaku di masyarakat. Identitas tersebut tercermin dari berlakunya larangan larangan tertentu, ajaran-ajaran tertentu dan sebagainya. Namun demikian, pengaruh dari luar sedikit demi sedikit telah melunturkan beberapa norma tersebut. Sehingga saat ini ada beberapa norma yang berlaku sangat ketat dan menyeluruh, dan ada juga yang tidak begitu ketat atau hanya berlaku pada sebagian kecil dari mereka. Norma-norma yang dihasilkan oleh CCB tersebut adalah sebagai berikut.


5.2.1.1 Asihan Batuwangi
Asihan adalah bentuk mantra Sunda yang digunakan untuk menguasai sukma orang lain supaya menyayangi orang yang menggunakan asihan tersebut (Rusyana, 1970:11). Masyarakat Batuwangi mengenal sebuah asihan yang disebut Asihan Batuwangi. Sebenarnya masyarakat mengenal juga bentuk-bentuk asihan yang lainnya, namun hanya Asihan Batuwangi yang berkaitan dengan Batuwangi. Para orang tua akan mewariskan asihan ini kepada anak-anaknya yang telah baligh. Jadi asihan ini tidak bisa diturunkan kepada sembarang orang, dengan kata lain asihan Batuwangi hanya berlaku untuk masyarakat Batuwangi.
Masyarakat Batuawangi mengenal berbagai asihan. Asihan batuwangi adalah yang paling penting. Menurut mereka asihan ini merupakan bekal hidup yang sangat penting. Dengan menguasai asihan ini, mereka yakin akan selalu “dilindungi” dan akan mendapatkan kasih sayang dari orang lain. Dalam sebuah pembicaraan dengan nara sumber terungkap sebagai berikut.

…kapungkur tataros ka sepuh weh kitu, ka Uwa Kiyai Sepuh weh kitu ti Samping Hilir. Cepeng heula weh cenah elmuna Batuwangi, jung Maneh rek meuntas lautan oge. Da karaos: diturut ku jalema, kitu (TW-3).


Selain dipercaya memiliki fungsi magis, asihan ini pun tidak sembarangan diturunkan, serta tidak sembarangan boleh diketahui olrh seseorang. Dari konteks penuturan wawancara 3 dapat diambil kesimpulan bahwa asihan Batuwangi bagi pemiliknya bersifat sakral. “… kieu geura nya, tapi punten ah da sanes heureuy. Ieu mah putra ayeuna naroskeun bade diwartoskeun bae da moal hade disumputkeun. Mudah-mudahan ngijinkeu (TW 3). Pada saat itu penutur meminta izin kepada Eyang untuk membacakan asihanBatuwangi yang ia kuasai..
Akan tetapi, karena asihan ini diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi, maka timbul varian-varian yang berbeda. Jadi ada beberapa kata atau bagian asihan yang tidak persis sama dari tiap-tiap pemiliknya. Meskipun demikian masyarakat tidak mempersoalkan perbedaan bentuk asihan ini. Semuanya dikembalikan kepada individu yang menggunakannya. Terkadang muncul anggapan bahwa banyak di antara mereka telah kehilangan kebatuwangiannya karena jalan hidup yang ditempuhnya salah. Berikut adalah contoh asihan Batuwangi yang didapatkan dari Aki Nana (86 tahun) dan Aki Suha (78 tahun), keduanya adalah nara sumber.

a. Los leumpang tiheula
ear nu ceurik nuturkeun pandeuri
asupkeun ka bumi weuteuh
rancamaya payung buana
asihan Sangga Buana
mangka tumurun tumeka
maring seuweu putu
marajahyang ing Batruwangi
rahayu kinasihan

b tumika kinasihan Batuwangi
allohuma payung agung sanggabuana
asihan sangadipati
ingsun seuweu putu kangjeng
susunan Marajahiyang Bayu
nam lalo leumpang tiheula
ear nu ceurik nuturkeun pandeuri
antosan di bumi weuteuh
rancamaya nu gaduh asihan sanggabuana


5.2.1.2 Cadu Ngadahar Hulu Hayam
Cadu memakan kepala ayam merupakan dampak dari kejadian dalam C-2. Pantangan yang sekilas sangat sepele ini bagi masyarakat Batuwangi berlaku dengan ketat. Pada bulan Zulhijjah atau bulan haji misalnya, kita akan melihat fenomena di desa-desa sekitar Batuwangi. Pada bulan ini bisaanya banyak terjadi hajatan pernikahan maupun khitanan. Banyak ayam yang dipotong, maka kita bisa melihat kepala ayam bergelimpangan di kolam ikan. Mereka benar-benar tidak memakan kepala ayam, bahkan tidak pula menyertakannya dalam masakan. Dalam keadaan apapun mereka akan mengatakan “cadu” makan kepala ayam.
Kalangan ulama banyak yang mengeritik sikap masyarakat seperti ini. Menurut para ulama tidak baik mengharamkan sesuatu yang halal. Akan tetapi dengan tegas mereka membantah bahwa bagi mereka kepala ayam bukan haram melainkan hanya pantangan saja. “Janten sanes haram, tapi cadu. Cadu kana mastaka hayam, margi kapungkur nuju oleng panganten putrana…” (TW 4). Bila pantangan itu dilanggar, mereka percaya bahwa yang bersangkutan akan mendapat bencana atau bahaya. Kejadian tersebut bisa berupa datangnya penyakit, kecelakaan atau kesialan lainnya.
Di sisi lain, pantangan ini memiliki nilai simbolik yang sangat berarti bagi solidaritas masyarakat Batuwangi. Hal ini tampak pada kutipan wawancara dengan kuncen Batuwangi berikut.
Janten cadu kana hulu hayam teh ulah silih pacok sareng dulur, silih bintih sareng dulur, kudu rapih jeung dulur, nanging da eta, janten eta teh maknaaneun. Aya amanat ka abdi oge kitu. Ulah silih pacok jeung dulur, eureunan urang teh. Cadu kana hulu hayam sabab hayam mah sok silih pacok jeung dulur. Ari bangsa urang, dulur jeung dulur teh silih bintih (TW 4).
Jadi, larangan memakan kepala ayam bagi masyarakat Batuwangi merupakan sebuah mitos yang mempunyai makna. Dalam hal ini masyarakat Batuwangi mematuhi mitos dengan tidak memakan kepala ayam, sekaligus selalu mengusahakan tercapainya makna dari mitos tersebut. Oleh karena itu rasa persaudaraan masyarakat Batuwangi tetap solid meskipun mereka tinggal berjauhan dan tidak saling mengenal.

5.2.1.3 Cadu Beunghar
Sebagian orang beranggapan bahwa dulunya Eyang Batuwangi pernah bekerja sebagai kamasan (tukang membuat perhiasan emas). Dalam pembacaan naskah memang disebutkan “Lawas-lawas mulih ka Batuwangi. Embah Demang Genjreng Kamasan sumping ka Batuwangi” (TPN). Ia mempunyai banyak harta kekayaan. Karena kebaikannya, ia terbuka pada siapapun yang membutuhkan pertolongannya. Pada waktu itu banyak orang yang datang ke rumahnya untuk meminjam beras atau uang. Batuwangi memang memberikan pinjaman, tapi karena terlalu banyaknya orang yang bergantian meminta pinjaman dan banyak yang tidak membayar, ia menjadi jengkel, maka keluarlah serapah “cadu beunghar”
Akan tetapi kuncen mengklarifikasi anggapan sebagian masyarakat tersebut. Menurutnya kejadian seperti itu memang pernah terjadi tapi yang melakukannya bukan Batuwangi melainkan anaknya yang bernama Pada Beunghar. Jadi bila sumpah serapahnya itu berlaku, maka yang pantang kaya itu hanya keturunan Batuwangi dari anaknya yang bernama Pada Beunghar tersebut.

Eta teh kieu, sanes Batu Wangi eta mah. Cadu beunghar, cadu panjang rambut. Putrana teh Eyang Wira, anu dimakamkeun di Pada beunghar, karamat Pada beunghar: Wira Tanubaya. Di palih dinya, Pada Beunghar. Kumargi beunghar ku putra, beunghar ku harta, teu kaur meuneutkeun panto anu beunghar mah. Janten cape weh. Cadu! Cadu beunghar, sanes Batu Wangi (TW-4).


5.2.1.4 Cadu Panjang Buuk
Pantangan ini tidak berlaku secara ketat pada wanita Batuwangi saat ini. Pantangan ini didasarkan pada sebuah cerita tentang salah seorang anak perempuan Batuwangi. Batuwangi mempunyai seorang putri yang sangat cantik dan mempunyai rambut sangat panjang sampai tumit. “Cadu rambut panjang mah saurna nuju moe rambut.Muhun, putri. Kakojot ku kuda samparani. Kagusur dugi ka tewas” (TW-4). Putri tersebut pada suatu hari sedang menyisir rambutnya di halaman. Rambutnya yang terurai panjang tiba-tiba tersangkut pada kaki seekor kuda (ada juga yang mengatakan rusa) yang sedang berlari. Akhirnya sang putri terseret hingga tewas. Sejak saat itulah konon Eyang Batuwangi melarang keturunannya untuk berambut panjang.

5.2.1.5 Cadu Geulis
Pantang cantik ini diartikan sebagai larangan untuk bersolek (menggunakan make up) secara berlebihan bagi wanita Batuwangi. Namun karena batas-batas bersolek yang berlebihan ini tidak jelas, maka saat ini wanita Batuwangi sulit dibedakan dari masyarakat lainnya.

Identitas yang masih mencirikan masyarakat Batuwangi secara ketat di antaranya adalah Asihan Batuwangi dan larangan memakan kepala ayam. Sementara itu aturan lainnya yang berupa pantangan-pantangan di atas tidak berlaku secara ketat dan tidak menyeluruh di masyarakat Batuwangi. Hal ini diakibatkan dinamika perubahan sosial masyarakat. Selain itu, aturan yang lambat laun menjadi longgar tersebut memang tidak berdasarkan sebuah cerita, tetapi hanya berupa anggapan masyarakat saja.

5.2.3 Membentuk Pandangan dan Kepribadian Masyarakat Batuwangi
Dari uraian sebelumnya ditemukan beberapa norma yang menjadi identitas masyarakat Batuwangi. Mereka memiliki asihan Batuwangi, juga memiliki beberapa pantangan di antaranya pantang memakan kepala ayam, pantang kaya, pantang berambut panjang, dan pantang bersolek. Dengan identitas tersebut kita bisa sedikit memahami masyarakat Batuwangi. Identitas tersebut dapat menumbuhkan solidaritas dan rasa persaudaraan yang tinggi antar anggota masyarakat Batuwangi. Lebih jauh lagi ternyata identitas tersebut memberi pengaruh besar terhadap paradigma sosial masyarakat Batuwangi.
Menurut masyarakat Batuwangi pengamalan asihan akan mendatangkan perlindungan di dalam dan kejayaan di luar asalkan asihan ini dibawa dalam jalan kebenaran. Yang dimaksud dengan perlindungan di dalam adalah seseorang akan dilindungi dalam segala hal selama ia tinggal di wilayah dalam. Beberapa narasumber memberikan batas-batas wilayah luar dan wilayah dalam. Batas tersebut adalah tempat (desa atau kampung) yang bernama Pamegatan.

Malahan ceuk urang dieu, ah da ieu mah urang Pamegatan. Mun indit ka dieu, ari didieu mah ngan ukur dilindungi, tapi datang ka ditu bakal aya rahayu kinasihan. Lamun geus liwat Pamegatan ka ditu, geus weh tamplok kabeh kadeudeuhna, kanyaahna ka urang (TW 1).



Menurut mereka di setiap arah mata angin akan ditemukan nama Pamegatan. Memang penulis mengetahui beberapa tempat-tempat tersebut di antaranya di perbatasan Banjarwangi-Cikajang (ini berarti sebelah Barat), di sebelah utara Singajaya, dan sebelah selatan di Pameungpeuk. Anggapan seperti ini memberi pengaruh yang signifikan. Di dalam lingkungannya mereka sangat solid dan tampak kesetaraan dalam lingkungan sosial. Mereka menjalin persaudaraan dengan erat. Mereka juga saling mengenal satu sama lain meskipun jarak yang memisahkan tempat tinggal mereka cukup jauh.
Bila seseorang telah keluar dalam arti menetap di wilayah luar batas yang telah ditentukan, maka ia akan mendapat kejayaan atau menurut istilah mereka rahayu kinasihan. Di luar ia akan sejahtera dan mendapatkan kepercayaan dan kasih sayang dari setiap orang. Akibatnya banyak anggota masyarakat yang merantau ke wilayah luar untuk berdagang, kerja bangunan atau pekerjaan lainnya. Biasanya mereka pergi ke kota besar seperti Jakarta ataupun Bandung. Penghasilannya memang relatif, tetapi ada selalu cerita tentang kesuksesan atau keunggulan yang mereka bawa. Di rantau ia merasa dipercaya dan dikasihi oleh banyak orang, sementara keluarga yang ditinggalkan biasanya menceritakan kesuksesan-kesuksesan yang diraih oleh orang tersebut.
Sementara itu pantangan untuk menjadi kaya bagi sebagian orang tidak menjadikannya merasa nyaman. Pantang menjadi kaya tidak hanya diartikan sebagai suatu keadaan yang tidak boleh terjadi, tetapi juga tidak mungkin terjadi. Padahal kaya atau tidaknya seseorang ditentukan oleh Tuhan dan kesadarannya untuk berikhtiar. Kesadaran inilah yang melunturkan pantangan menjadi kaya sehingga sebagian besar masyarakat tidak lagi memercayai pantangan ini.
Perlu diperhatikan juga bahwa masyarakat Batuwangi tetap mempertahankan nilai-nilai Budaya yang memang tidak dilarang oleh Eyang Batuwangi. Misal tradisi pernikahan dengan acara huap lingkung. Meskipun acara ini telah menimbulkan prahara yang merenggut nyawa putra-putranya, Eyang Batuwangi tidak lantas melarang acara huap lingkung yang memang syarat nilai simbolik bagi kehidupan rumah tangga.
Di sisi lain CCB juga menolak nilai nilai budaya yang tidak relevan menurut ajaran agama maupun nilai-nilai kebenaran. Dalam hal ini dapat dicontohkan melalui kebijakan Eyang Batuwangi dalam C-2. ia mengixinkan anak perempuannya menikah lebih dulu daripada kakak laki-lakinya. Padahal masyarakat sering menganggap tindakan ngarunghal tersebut sebagi perbuatan yang negatif.


5.2.4 Menyebarkan Kaidah Ritual
Ritual merupakan kata sifat atau adjektiva yang merngandung makna berkenaan dengan ritus. Ritus dapat diartikan sebagai tata cara dalam ritual upacara keagamaan (Tarno dkk, 2000: 5). Lebih lanjut Sutarto memberikan pengertian bahwa ritual berarti kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang dan obsesif, dan seringkali merupakan dramatisasi simbolis dari kebutuhan masyarakat yang mendasar, apakah itu kebutuhan ekonomi, biologis, sosial, atau seksual (Sutarto, 1991: 16).
Sebuah ritual dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnya karena merupakan warisan dari leluhur, itu artinya otoritas yang memerintahkan ritual ini sama dengan otoritas yang dimiliki tradisi, yang tentu saja bersifat sosial. Ritus-ritus ini dilaksanakan demi memelihara hubungan dengan masa lalu dan melestarikan identitas moral kelompok, bukan karena ada tujuan atau dampak fisikal yang ingin dicapai (Durkheim, terjemahan Muzir, 2005: 533)
Masyarakat Batuwangi melakukan beberapa ritual yang rutin dilakukan. Ritual yang utama adalah ziarah kubur di makam Batuwangi, ritual pembacaan naskah Punika Ikilah Sajarah Batara Terus Bawa, serta ritual ngalungsur atau mencuci senjata pusaka Eyang Batuwangi. Ketiga ritual ini dilakukan dalam rangkaian acara Hajat Mulud secara rutin setiap tanggal 13-14 Rabbiul Awal atau bulan Mulud, kecuali ritual ziarah kubur yang sebenarnya dapat dilakukan kapan saja selain pada bulan Ramadhan dan bulan Shafar.

5.2.4.1 Ritual Ziarah Kubur di Makam Batuwangi
Makam keramat sering diziarahi oleh berbagai lapisan masyarakat karena makam tersebut dianggap tempat keramat. Tempat keramat adalah ruang yang suci, di mana ada ritual-ritual tertentu untuk dapat memasukinya. Sebagai tempat suci, makam keramat memiliki batas-batas keramat. Dalam hal ini istilah tempat keramat dapat disamakan dengan istilah tempat atau ruang sakral. Manusia religius memandang ruang tidak homogen. Ruang sakral mengalami interupsi, perubahan di dalamnya, serta ada beberapa ruang yang secara kualitatif berbeda dari yang lain (Eliade, 2002: 13).
Masyarakat pada umumnya berkeyakinan bahwa tak lama setelah orang meninggal, jiwanya akan berubah menjadi mahluk halus (roh) yang selanjutnya roh halus tersebut berada di sekitar ahli waris (Endraswara, 2004: 30). Anggapan seperti inilah yang melatar belakangi ritual ziarah kubur di makam Batuwangi. Eyang batuwangi dianggap sebagai penyebar Islam bahkan diyakini sebagai seorang wali oleh masyarakat. Dengan mendatangi makamnya, masyarakat percaya akan mendapatkan keramat. Dalam hal ini, istilah keramat sesuai dengan asal katanya (Arab: karomah), yang berarti berkah atau kasih sayang.
Masyarakat mengetahui berbagai hal tentang Eyang Batuwangi terutama berkaitan dengan makam yang mereka Ziarahi berdasarkan CCB. Kehidupan masa lalu Eyang Batuwangi yang tergambar dalam CCB menjadikan tokoh ini dikeramatkan. Ritual ziarah kubur yang dilakukan oleh masyarakat pada saat ini seakan mengaktualisasikan kembali kejadian-kejadian yang terjadi di masa lampau. Hal ini penting karena bagi masyarakat religius, seluruh ritual merupakan perayaan atau peringatan. Oleh karena itu memori yang direaktualisasikan memainkan sebuah peranan yang menentukan (Eliade, 2002: 102).
Salah satu dasar keyakinan masyarakat untuk melakukan ziarah kubur ke makam Eyang Batuwangi adalah peristiwa yang dikisahkan dalam C-4. sebagai seorang wali, Eyang Batuwangi telah ma’rifat atau dekat dengan Yang Maha Kuasa, sehingga doanya mudah dikabulkan. Oleh karena itu, ada baiknya berdoa pun dilaksanakan di tempat yang dirahmati oleh-Nya, yaitu makam Eyang Batuwangi. Hal ini diungkapkan sebagai berikut.

Mantena mah tos caket ka Allah. Ma’rifat ka Allah, waliyullah, kakasihna Gusti Allah, tiasa diizabah. Numawi dina ziarah oge ngadua di tempat anu dimulyakeun ku Allah (paragraf 2)

5.2.4.2 Ritual Pembacaan Naskah Punika Ikilah Sajarah Batara Terus Bawa
Menurut kuncen, naskah ini sekarang sudah tidak utuh lagi. Sebagian naskah telah hilang. Sementara itu, sepenggal naskah yang tersisa kini disimpan baik-baik di rumah kuncen.

Eta teh kieu, riwayat eta kapungkur teh, ku pun Bapa teh nu aslina disalin, taun 55 panginten waktos nyalin sajarah teh. Atuh anu aslina disimpen satoromol, sawadah kitu. Teu acan beres sadayana pun bapa teh nyalin, ti hiji dugi ka.. da acak-acakan ku pun bapa dibereskeun. Sami-sami sareng kieu nu aslina mah, acak-acakan. Koneng sapertos hanalam. Ari pun bapa pupus, ku pun Uwa dirawat. Abdi nuju alit keneh. Anu kenging nyalin mah dicandak ku abdi, anu aslina dicandak ku Uwa.Uwa Haji Syukur. Abi mah nyalametkeun anu kenging nyalin. Anu aslina mah dicandak ku Uwa di Cibogo. Wa Haji pupus, abdi sanes ninggal kana harta banda, abdi teh hak warisna, tapi eta nu diperyogikeun nu ditaroskeun. Teu aya. Duka kunu nyolong, duka ical… ah wallohu a’lam dasar sepuh (TW 4)

Naskah ini hanya dibaca satu kali dalam setahun, yakni pada dini hari.tanggal 14 Maulud. Ritual ini termasuk ke dalam rangkaian acara hajat maulud, tepatnya setelah ritual ziarah kubur selesai, barulah naskah ini dikeluarkan dan dibaca oleh kuncen di depan khalayak. Hanya kuncen yang boleh membaca naskah ini. Di dalamnya ada bagian-bagian yang dianggap papakem yang tidak boleh didengar oleh khalayak (lihat lampiran TPN).
Ternyata di dalam naskah yang berbahasa Sunda-Jawa (Cirebon) ini tidak tercantum CCB. Naskah ini hanya memuat silsilah Batuwangi serta beberapa ajian yang tidak boleh dibaca. Jadi penuturan dan pewarisan CCB hanya berlangsung secara lisan, bukan tulisan.
Pembacaan naskah ini merupakan sebuah ritual yang sangat sakral. Selain ada beberapa bagian naskah yang benar-benar tidak boleh diketahui oleh orang lain selain kuncen, naskah ini tidak boleh diambil gambarnya. Selain itu, pada saat pembacaan naskah berlangsung, berbagai makanan sebagai sesaji dihadirkan di depan khalayak. Makanan ini terdiri atas nasi rawon, opor ayam dan ayam bakar (tentunya tanpa kepala), telur ayam, telur bebek, dan sayur-sayuran. Selain itu terdapat juga opak, ranginang, dan wajit.





5.2.4.3 Ritual Ngalungsur
Ngalungsur berarti menurunkan, atau mengeluarkan. Maksudnya, sebuah duhung atau senjata pusaka peninggalan Eyang Batuwangi dikeluarkan dan dicuci pada tanggal 14 Rabiul awal, setelah ziarah kedua yang dilakukan pagi hari. Senjata ini berbentuk sebilah keris bermata dua dengan panjang sekitar 30 cm, bergagang kayu bentuk burung garuda, dan bertahtakan empat butir permata (sekarang tinggal satu). Namun sayang sekali senjata ini pun tidak boleh diambil gambarnya.
Sebelum dan sesudah dicuci tanggal 14 Maulud, keris ini dibungkus dengan kain putih lalu diikat dengan tujuh ikatan. Kemudian keris disimpan di dalam sebuah peti di dalam kamar sebuah rumah khusus milik kuncen. Selain pada saat pencucian, keris ini tidak boleh disentuh dan dibuka.
Seluruh ritual ini dilakukan oleh kuncen dengan dibantu oleh anak laki-lakinya. Keris dikeluarkan dari peti, dibuka dari bungkusan kain, kemudian dengan doa-doa tertentu keris dikeluarkan dari bungkusnya. Sementara itu telah tersedia satu nampan air berisi bunga tujuh rupa dan jeruk yang dibelah-belah. keris dicuci oleh kuncen dengan air kembang dan jeruk ini. Setelah cukup bersih, kemudian diseka dengan kapas lalu dikeringkan. Setelah kering keris dimasukkan kembali ke dalam bungkusnya, diselimuti kain putih, diikat, dan kembali dimasukkan ke dalam peti.
Ada dua hal yang memaknai ritual ini. Pertama, setiap keganjilan yang muncul dalam ritual dianggap pertanda yang menunjukkan kejadian yang akan menimpa bangsa ini. Misal, pada pencucian tahun ini. Sebelum keris dicuci, salah satu tali pengikat lawon pembungkus bagian bawah ada yang lepas. Hal ini segera diumumkan oleh kuncen bahwa keganjilan ini berarti akan ada banyak prahara menimpa masyarakat kalangan bawah. Begitulah masyarakat, khususnya kuncen memaknai segala keganjilan yang menimpa keris dikaitkan dengan keadaan bangsa ini setiap tahunnya.
Kedua, air sisa mencuci senjata ini dibagi-bagikan kepada masyarakat yang hadir dalam ritual. Sebagian menggunakannya langsung di tempat: ada yang mencuci wajahnya, membasahi kepalanya, mencuci matanya, dan ada pula yang meminumnya. Sisanya dibawa dengan menggunakan botol ke rumah masing-masing. Air yang tersisa kemudian digunakan untuk mencuci barang yang lain-lain. pada saat ritual, banyak masyarakat yang juga membawa barang-barang pusaka seperti keris, pedang, golok, batu ali, bahkan tusuk konde.
Ketiga ritual tersebut dilakukan dalam sebuah rangkaian acara hajat Maulud setiap tanggal 14 Rabbiul Awal. Selain berfungsi untuk mengaktualkan kembali peristiwa masa lalu, masyarakat meyakini akan adanya berkah yang akan mereka terima dengan melibatkan diri dalam berbagai ritual tersebut. Oleh karena itu, banyak kalangan masyarakat yang datang dan mengikuti ritual dengan mambawa maksud dan tujuan tertentu. Biasanya, pejabat yang ingin naik pangkat, pedagang yang ingin berkembang, orang yang sakit ingin sembuh, yang belum menikah ingin segera mendapatkan jodoh, dan sebagainya sering terlibat dalam berbagai ritual tersebut. Alasan mereka satu, yaitu dengan berdoa di tempat keramat, berarti mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa dengan media Eyang Batuwangi.

5.3 Hasil Analisis Konteks Penceritaan dan Fungsi Sosial
CCB sebagai sebuah sastra lisan yang berupa legenda tidak dapat dipisahkan dari masyarakat pemiliknya. CCB lahir, berkembang dan tetap dipertahankan oleh masyarakat Batuwangi. Oleh karena itu, CCB selalu mengungkapkan berbagai hal yang tidak jauh dari kehidupan mereka. Hal ini tampak dari konteks penceritaan CCB yang meliputi lingkungan penceritaan dan situasi penceritaan. Apabila kita melihat lingkungan penceritaannya maka CCB pun dapat dikategorikan sebagai legenda perseorangan yang selalu menampilkan seorang tokoh yang sama, yaitu Eyang Batuwangi. Di sisi lain, dapat juga dikategorikan sebagai legenda lokal yang selalu mengungkapkan setting daerah asli sekitar Batuwangi.
Dalam keterkaitan yang erat antara cerita dengan pemiliknya ini, CCB juga mempunyai fungsi yang signifikan yang tampak dalam kehidupan masyarakatnya. CCB telah membentuk identitas dan mendasari tatanan sosial masyarakat Batuwangi, membentuk pandangan dan kepribadian masyarakat, terutama berkaitan dengan asihan Batuwangi dan aturan-aturan adat, serta pengaruh aturan-aturan tersebut bagi kehidupan masyarakat. Terakhir, CCB pun mendasari serta menyebarkan kaidah ritual ziarah kubur, pembacaan naskah Punika Ikilah Sajarah Batara Terus Bawa, serta ritual pencucian duhung ­atau keris pusaka peninggalan Eyang Batuwangi.

1 comment:

Panji T. B. said...
This comment has been removed by the author.