Thursday, November 29, 2007

GANDRING

Ini hari ke seratus perempuan itu tinggal di rumah barunya. Rumah itu milik ibunya, tapi perempuan itu tak pernah mau tinggal di sana. Sejak kecil ia memilih tinggal bersama bapaknya__yang telah bercerai degan ibunya__di kota yang lain. Bersama bapaknya ia tinggal dan mendapat kasih-sayang. Di bawah asuhannya pula ia menjadi dewasa, mandiri, hinga hampir menyelesaikan sarjana. Tapi apa daya, Tuhan menginginkan bapaknya kembali ke sisi-Nya setahun yang lalu.
Di rumah itu ia tidak tinggal sendiri. Ada juga ibunya, tiga adik tirinya, dan suami dari ibunya. Ya, ia tak lagi punya bapak. Lelaki yang seharusnya menjadi bapak (setidaknya bapak tiri) baginya tak lebih dari suami ibunya. Bahkan pada waktu tertentu lelaki itu menjelma menjadi sipir yang sering tega menyiksa tahanan di pejara. Lelaki itu pula yang telah menyeretnya ke dunia asing yang sunyi. Dunia sesempit penjara di mana jiwanya dikurung dan disiksa. Adalah ibunya yang menjadi cambuk yang kerap diderakan ke jiwanya yang rapuh. Sedang lelaki itu menjadi algojonya. Ibu, aku tak rela membiarkanmu menderita sendiri. Hanya kalimat itu yang membuatnya bertahan. Kedatangannya ke rumah itu telah meninggalkan setumpuk kenangan bersama lelaki pujaannya yang tidak direstui oleh suami ibunya itu. Sebuah kesalahan yang selalu ia sesali: pada pertemuan terakhir ia menghina habis-habisan lelaki pilihannya itu. Satu harapannya waktu itu, sang pencinta mau melupakannya. Namun, sejak itu ia terus diliputi ragu. Ia menyesal telah membiarkan suami ibunya mengusir lelaki pilihannya untuk meninggalkan dia selamanya. Kadang ia pun menyesal tak mengikutinya pergi, minggat dari rumah, atau sekalian kawin lari. Ia kalah karena sesungguhnya ia pun tak sanggup melupakan lelaki itu.
Angin darat yang bertiup dari masa lalu seolah menjemput jiwanya menuju laut di hadapannya. Lalu jiwa resah itu menunggang angin. Bermanuver ke pucuk-pucuk ilalang. Menelusup rimba bakau, membenturkan jiwa resah itu ke pokok dan akar bakau yang tunjang-menunjang. Lalu kebebasan. Jiwa itu telah sampai di laut yang luas. Namun, ingatan selalu menjadi episode lamunan.
Tiba-tiba bulu kuduknya berdiri. Darahnya mendesir, detak jantungnya cepat. Ada getaran dahsyat yang datang tiba-tiba. Ia merasakan kehadiran yang sangat dinantikan, tapi saat ini ia ragukan. Sebelum ia menerka siapa yang datang, ada yang memegang bahunya dengan tangan yang kekar. Sontak ia terkejut dan melompat dari tempat duduknya. Dalam ketegangan ia membalikkan badan. Sekejap ada senyum yang menusuk ragunya. Badannya memaku bumi yang asing. Kesadaran jiwanya belum kembali.
“Mas, kamu...?”
“Ya, ini aku.”
“Benarkah ini kamu? Perempuan itu menggigit bibir sendiri. Meyakinkan ini bukan mimpi. Jantungnya berdegup kencang. Darahnya berdesir di bawah kulitnya yang pucat. Tergesa ia menyergap tubuh lalaki yang dinantikannya dan saat ini tiba-tiba ada di hadapannya. Namun lelaki itu menolak.
“Tidak!” sambil menghindarkan tubuhnya.
“Mas!” perempuan itu kebingungan.
“Saat ini kau bukan lagi milikku. Kau harus buktikan bahwa kau masih menjaga cintaku. Dan untuk itulah aku datang.”
“Apa maksudmu, Mas? Aku tak mengerti.”
Laki-laki itu tak menjawab. Ia lalu merogoh sesuatu yang terselip di pinggangnya. Sesuatu yang dibungkus kain merah. Ia buka bungkusan itu. Sebilah belati memantulkan sinar matahari terakhir sebelum ditelan garis lengkung laut lepas. Sejenak, lalu ia kembali membalut belati dengan kain. Dengan tangan kanannya yang kekar ia menyerahkan belati itu.
“Untukmu!”
“Apa ini?”
“Terimalah, kelak kau akan membutuhkan ini. Bila nanti kau memakai belati ini, saat itulah kau akan mengerti. Saat itu pula semua tanya dalam hatimu akan terjawab. Jadi, terimalah”
Perempuan itu menerima belati dengan kebingungan yang semakin dalam. Ia semakin tak mengerti. Belum ia berpikir lebih jauh, ia kembali dikejutkan dengan lirih sang lelaki.
“Aku pamit.” Katanya sambil mundur dua-tiga langkah.
“Mau ke mana lagi, Mas?”
lelaki itu tak menjawab. Ia berpaling lalu berlari kencang sekali menuju pantai. Tubuhnya ditelan remang malam yang kelabu. Aneh, jalan pulang ada di arah sebaliknya.
Ingin perempuan itu mengejarnya. Kerinduan belum tersentuh, tapi kebingungan semakin erat mengikat kedua kakinya lekat dengan bumi. Ia hanya bisa menimang-nimang belati di tangannya. Setumpuk tanda tanya jalin-menjalin memenuhi benaknya.
***

Lelaki itu telah sampai di bibir pantai. Ada hasrat yang kuat untuk meneruskan langkahnya menuju laut lepas. Berenang seperti ikan, atau terbang seperti burung laut yang bermigrasi ke benua yang jauh. Namun ia hanya seorang lelaki yang kini merasakan lelah. Sejenak ia tertunduk sambil berlutut menghadap ombak yang mengusap kakinya. Memaki dirinya sendiri, memaki jalan hidupnya yang ia rasakan rumit.
Lalu ia berdiri dengan tangkas. “Aaaarrrgh!” berharap bebannya lepas bersama teriakkan yang beradu dengan desau angin dan deru ombak.
Ia kembali berjalan menyusuri garis pantai. Ujung kakinya menyentuh garis balik ombak yang kembali menuju laut. Satu-dua perahu laju. Ia terus berjalan pelan menuju sebuah dermaga kecil yang mulai sepi ditinggal para nelayan yang melaut. Di sana masih ada satu perahu motor. Seorang nelayan dengan kulit lebamnya sedang menghidupkan perahu motor itu, dua orang lainnya sedang merapikan jala dan petromak. Tampak lelaki itu terlibat perbincangan singkat dengan para nelayan. Sesaat kemudian ia sudah berada di atas perahu yang melaju pelan. Menuju laut yang ia kira kebebasan.
Di tengah laut ombak mendayu. Di satu sisi perahu, para nelayan sibuk menarik jala, di sisi lainnya lelaki itu melepas lamunannya ke laut lepas. Segala hasrat hidupnya telah mati. Semua keinginannya telah ia kubur sendiri. Perlahan-lahan ia menuruni perahu. Tubuhnya ia larutkan ke dalam laut hitam di malam hari. Ia menyelam meski sebenarnya tak pandai melakukannya. Di kedalaman laut ia bertemu dengan angan kekasihnya yang dibawa angin sore tadi.
***

Tiga hari kemudian, pagi-pagi sekali
Warga kampung nelayan itu geger. Jasad mati seorang lelaki bersimbah darah ditemukan di kamar anak tirinya. Dada dan perutnya rombeng dengan beberapa luka tusukan. Sebilah belati masih menancap di dada kirinya. Seorang gadis kurus layu menunduk bisu jauh dari pintu. Rambutnya kusut, beberapa kancing bajunya berserak di lantai. Ia masih menggigil ketakutan ketika satu persatu warga berdatangan.

***

No comments: