Thursday, November 29, 2007

PERTEMUAN TERAKHIR

Aku berjalan menyusuri riuh alun-alun sore. Menikmati perjalanan ini semacam balas dendam, napak tilas, atau penebusan dosa. Dulu aku sering menjelajah banyak tempat di kota ini bersama Padma. Terlalu banyak kenangan di setiap jengkal wajah kota. Setiap ruas jalan kami jejaki seolah membuat tanda-tanda kekuasaan dari kebersamaan. Setiap sudut kami singgahi seolah membuat batas wilayah. Luas sekali wilayah kekuasaan kami, hingga tak habis kukenang saat ini. Memang, semua perjalanan itu kini hanya pantas untuk dikenang dan pantas untuk dilupakan. Padma telah pergi. Tapi sungguh, tak mudah bagiku untuk melupakannya bersama semua langkah yang kami gariskan di kota ini. Hanya ada satu cara untuk melupakan semua kenangan yang kini sering menggangu, aku harus menebus semua perjalanan itu dengan langkahku sendiri.
Langkahku yang sendiri kubuat bergegas di antara rimba manusia, kantong belanjaan, dan deretan etalase yang angkuh. Ada gejolak dalam dada yang mendidihkan adrenalin. Entah dari mana asal perasaan ini, aku ingin merasakan kekerasan. Ingin dipukuli, ingin memukuli seseorang yang tak pernah jelas siapa. Maka aku berjalan tak menghiraukan orang yang berpapasan. Aku senggolkan bahuku pada setiap laki-laki yang berpapasan. Berharap ada reaksi untuk menghardik, atau memukuliku, lalu bersama baladnya mengeroyok tubuhku, mencabik-cabiknya hingga bermuncratan di atas aspal berdebu. Namun aneh, tak ada reaksi dari mereka, damai. Sebaliknya, pada waktu yang sama, aku pun ingin merasakan kasih sayang dan belaian lembut yang lama kurindukan. Maka aku pun tancapkan pandangan pada setiap wajah perempuan yang berpapasan. Sesekali aku senggolkan bahuku pada tubuh mereka. Berharap jadi cinta, begitu dalam kisah sinetron.
Aku tiba di depan sebuah gedung pusat perbelanjaan. Gedung yang tampak megah dan angkuh dengan tempat parkirnya sampai lantai sepuluh. Segerombol orang turun dari eskalator dan beberapa naik. Aku tertarik juga ikut naik. Di atas eskalator aku memandang sekeliling. Ah, tempat ini tak asing bagiku. Ada kios permen, toko baju, fast food, dan bioskop. Dulu, bersama Padma aku sering ke tempat ini. Aku lanjutkan langkahku menuju eskalator yang kedua, ketiga, keempat, kelima. Aku berhenti setelah sampai di lantai enam gedung. Kususuri sebuah lorong menuju gedung parkir. Lorong beratap fiber, dinding tembok setinggi dada, dan ram kawat di atasnya. Debit angin cukup banyak mangalir ke dalam pertokoan dari gedung parkir yang terbuka.
Aku berdiri di belakang Kijang yang terparkir membelakangi tembok. Dari sini terlihat panorama kota yang berdebu. Gedung-gedung rendah terhimpit gedung-gedung yang tinggi-tinggi. Jalanan sesak dengan manusia dan hampar dagangan kaki lima. Angin menderu-deru menerbangkan rambutku. Dingin di atas ketinggian kurasa sepi. Tanganku menyilang di atas tembok border. Lalu mataku melihat-lihat badan tembok yang sebagian cat kelabunya mengelupas itu. Ada namaku dan Padma dalam kurungan kurva berbentuk hampir daun eceng, hampir buah apel. Aku ingat, Padma yang membuat prasasti ini setahun yang lalu, seolah cinta kami abadi. Aku heran dan terkejut. Kukira tulisan yang ditoreh dengan pisau cutter ini telah lekang dimakan waktu.
Riuh kota tak kurasakan lagi. Angin menerbangkan kenanganku ke udara kota yang kering berdebu. Sejenak aku lupa di mana aku berpijak. Tapi, ah, sudahlah ini semua hanya pekerjaan orang iseng. Aku menolak bahwa aku merupakan bagian yang terlibat dalam prasasti yang sekarang ingin kulupakan. Pokoknya tidak. Bukan aku, bukan Padma.
Aku menarik nafas panjang sambil tengadah ke langit. Sekira burung gereja melintas ke puncak gedung. Di balik menara masjid, matahari sudah memerah. Ada keinginan yang tiba-tiba muncul untuk pergi ke tempat yang jauh dari kota yang jenuh ini. Mataku menerawang panorama. Hei, di seberang sana seperti ada yang kukenal. Seorang perempuan yang tak asing dalam hidupku. Padma, hatiku berteriak.
Aku bergegas menujunya, setengah berlari melewati eskalator turun. Kuterobos kerumunan manusia yang memenuhi badan jalan dan trotoar. Berkali berbenturan dengan tubuh orang tak kupedulikan.
“Padma!” kupanggil namanya saat mendekat. Ia terus berlalu.
“Padma!” kupanggil sekali lagi. Ia menoleh. Menyadari kehadiranku ia malah balik badan dan melanjutkan jalan. Dalam langkahnya yang semakin tergesa. Aku meengejarnya.
“Padma, tunggu Padma, ini aku.” Kataku sambil menangkap lengannya. Akhirnya dia berhenti. Kepalanya tunduk tak berani menatapku. Aku sadar ada suatu beban yang ia sembunyikan. Dari matanya yang mulai sembab aku tahu ada cerita yang telah lama ia tahan.
“Kamu...?” masih memegang pergelangan tangannya, aku lupa mau berkata apa.
“Sudahlah, Mas. Biarkan aku pergi, ini bukan waktu yang tepat untuk kita bertemu. Maafkan aku, Mas! maaf!” lirih bicaranya diiringi derai air mata. Air mata yag seharusnya biasa menetes di pundakku, sekarang jatuh di atas trotoar yang berdebu. Sia-sia.
Tiba-tiba ada tangan yang merenggut Padma dariku. Menyeretnya menuju keriuhan manusia. Kulihat seorang lelaki paruh baya dengan penampilan rapi. Mereka berlalu. Padma berkali-kali menoleh ke arahku. Ada kalimat yang tak terucap, semacam ucapan selamat tinggal, atau kata-kata maaf. Tapi aku tak mendengarnya.

No comments: